di batas kota kupalingkan wajah
dalam sana ada (juga) yang belum kujamah
~langit senja hampir memerah~
dalam sana, kota mu menyimpan kisah
kita (jadi) peran utama: drama asmara
ku sisakan penuh selembar
agar kisah tiada diam
semua perlu dicatat
semua dapat tempat
hadirmu
menjadi wewangi drama hidup
yang kurekam dalam sajak
harum tiada (pula) terlepas getir kesedihan
seperti sekuntum mawar yang menghias meja makan
tempat kita tuangkan segala kesadaran
atau,
seperti melati
yang menjadi pilihan
bagi sepasang pengantin di hari bahagia
indah,
‘laksa anggrek yang penyendiri
menghimpun hidup dirindang hutan
kau hadir menghimpun rindu di hati
semua perlu dicatat
semua dapat tempat
tentang gunung tempat daun tumbuh menghijau
dan dimana sungai-sungai mengalir
tentu, itu kota milikmu
tempat yang selalu kita kunjungi
hanya untuk sekedar melengkapi hidup
dengan kenangan
dalam sana
aku selalu menunggu
sembari lantunkan shalawat
ku nantikan sejuk senyuman
milikmu
dalam sana, kota berselimut kabut
tempat terlantun segenap do’a
mengiring asmara
lalu kita diam dalam jumpa
seakan tidak sedang bersama
pisah tercerai oleh rasa
kau diam
aku blingsatan
tapi
semua harus dicatat
semua harus dapat tempat
tentang kendaraan yang berlalu lalang
pertontonkan rumitnya hidup (dalam) keterasingan
~sementara kita diam~
gersang oleh kebekuan dan bimbang
lalu kau putuskan untuk hilang
sedang rindu terus menghujam
tentang mendung
dimana kota mu (selalu) berpayung
kotamu, hamparan tanah subur
tempat padi tumbuh dan jasad terkubur
tentang moncong-moncong senapan
(yang) perkasa menghadang kata-kata
di dalam sana, kota mu
tempat sang saka berkibar semestinya
sedang perut-perut (yang) lapar
terdiam (dalam) geram
tentang panji-panji kemunafikan
yang berkibar diantara bayi-bayi terbuang
diantara jiwa yang terlepas dari harapan
antara kau dan aku:
ada cinta yang diam
tentang riuh pesta
serta gemerlap tabur warna
adakah kita (selalu) bersama?
berdansa dalam canda
menimang-nimang angan
lalu saling pergi sebelum saling tikam
tiada perlu (kau) risau ‘tika membaca kisah
yang ku rangkum dalam sajak
(inipun kutulis di wilayah tiada bernama)
di batas kota kupalingkan wajah
dalam sana ada (juga) yang belum ku jamah:
hatimu yang dulu pernah jatuh merindu
kau dan aku (jadi) peran utama
(dalam) drama asmara
terselip dalam lipatan sejarah
~langit senja jadilah merah~
beriring shalawat do’a kupanjat
penuh harap: hati (yang) tabah tetap merekat
di sini masih (juga) kunanti
hatimu datang menepi
About Me
- Yoehan Rianto Prasetyo
- seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki
Anda pengunjung ke:
Saturday, October 23, 2010
Sunday, October 17, 2010
ku bayang ujung akhir
tak terkira
betapa tempat paling nyaman
adalah ruang di rumah
aku hilang
lenyap terlelap dalam sajak
_______________________________________
mendung berkumpul
kenyal mengental
mentari hilang belum waktu
mendung terlalu
gelap terlalu
sedang siang belum berlalu
_______________________________________
bisu menghantam
runtuh beku
penyair dan penanya mati
beralas lembar kertas putih
tiada suatu yang tersembunyi
betapa tempat paling nyaman
adalah ruang di rumah
aku hilang
lenyap terlelap dalam sajak
_______________________________________
mendung berkumpul
kenyal mengental
mentari hilang belum waktu
mendung terlalu
gelap terlalu
sedang siang belum berlalu
_______________________________________
bisu menghantam
runtuh beku
penyair dan penanya mati
beralas lembar kertas putih
tiada suatu yang tersembunyi
Friday, October 8, 2010
Sampan berdayung pada riak gelombang
Subscribe to:
Posts (Atom)