orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya (Pramoedya Ananta Toer)

About Me

My photo
seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki

Anda pengunjung ke:

Thursday, March 22, 2012

Diam-diam


Seseorang sembunyikan sesuatu
padahal aku tahu

Seseorang seperti menabur benih di atas ladangku
entah
akan tumbuh mawar atau benalu
andai aku tahu

Seseorang menyelipkan senyum dalam lamunanku
diam-diam akupun mulai merayu

Friday, March 9, 2012

Ku Pandangi kota itu, kota milikmu: Malang

akhirnya,
sampai juga langkah kita
pada 'suatu ketika'
suatu ketika yang tak pernah kita nantikan
suatu ketika yang telah ku duga
beginilah adanya:

kau gembalakan waktu
sedang aku tetap menghimpun kata

gerimis perlahan reda
surau-surau di kaki gunung bershalawat
dan anak-anak bertafakur
~sebentar lagi kabut turun,
jadi semacam tradisi menyambut sang gelap

disaat seperti ini,
seperti biasa, kita dapat pandangi
reranting-dahan yang basah
sambil menghirupi tanda kehadiran malam

ingin sekali aku menyendiri
diam mengawasi mentari yang enggan tenggelam
sedang jalanan kotamu bersiap dalam pesta cahaya
demikian, kebiasaan yang ada di kotamu
kita sama tahu
kotamu yang diam menyimpan banyak kisah
tentang kita,
tentang deru jalanan
tentang kibaran bendera
tentang perjuangan hidup
tentang desingan peluru dan gelegar meriam
sejarah, kotamu diam

inilah 'suatu ketika'
dimana kita tak lagi memiliki
tiap-tiap harapan yang pernah kita impikan
beginilah adanya,
mungkin juga yang terbaik

tiada kata yang dapat kuucap
tidak ada alasan dapat kuungkap
hanya aku harus ikhlas

biar kucerita sebaris sejarah,
di depan sana
kotamu yang diam
pernah jadi wilayah perebutan,
benteng terakhir dari kedaulatan selembar bendera
yang baru dikibarkan
senantiasa kubaca pergolakan dalam sejarah

didepan itu kotamu
tempat sejarah bergolak

kota itu milikmu
kusaksikan dari lereng gunung,
dari setapak
bekas lintasan gerilya
(kubayang senyummu
bukan tatapan tajam penuh permusuhan)
gelap segera datang menghimpun bintang
~masih kunanti pijar merah di utara,
dimana rindu masih mengapung di angkasa
kotamu, awal kisah bermula


Wednesday, March 7, 2012

Mewah belum tentu istimewa

Memang bukan semangat saya untuk selalu berfoya-foya, tapi terkadang ada juga keinginan untuk mencoba, minimal menikmati beberapa hal mewah, semisal rokok Dji Sam Soe premium yang lebih dikenal dengan istilah 'reffil' atau 'nyruput' kopi luwak yang konon katanya punya kelas tersendiri di Eropa sana~jangankan di Eropa, di tanah air saja seakan jadi minuman khas para raja dengan harga yang seperti itu.

Meskipun pikiran saya memberontak dengan gagasan "tidak hanya para raja saja yang dapat menikmati keistimewaan dalam alam demokrasi" tapi kenyataan toh punya cerita lain, dan saya harus bersepakat dengan kenyataan. Jelata dalam sejarahnya selalu saja berada dalam bentuknya yang susah tanpa keistimewaan.

Kopi luwak per 100 gramnya bisa didapat dengan ongkos dua ratus ribu, sedang untuk Dji Sam Soe 'reffil' dengan harga sekitaran tiga belas ribu perbungkus, hal semacam ini sudah terlanjur mewah buat orang seperti saya yang biasanya juga menikmati segalanya dengan 'ala kadarnya'. Toh saya pun harus selalu berusaha menjadi orang yang beriman, saya dapati dari buku "Ikhlas Tanpa Batas" terbitan Zaman bahwasannya iman itu terdiri dari "separonya itu sabar dan separo yang lain adalah syukur".

Beruntung atau mungkin kebetulan saya dapat menikmati keduanya secara bersamaan, jadi semacam obat rindu untuk menikmati kemewahan ditengah kesempatan yang semakin sempit ini. Bahagia juga rasanya, sembari berharap dalam hati semoga kelak dapat terulang kembali hal yang sedemikian.

Ceritanya begini, karena kadung pinginnya menikmati hidup saya beli saja rokok Dji Sam Soe premium dengan sedikit uang honor bulan ketiga ditahun 2012 ini, ya sepulang kerja saya langsung menuju kios rokok dengan harapan yang berlebih untuk segera menikmati, setelah itu saya langsung pulang, waktu itu lagi "nggak pingin yang lain" hanya ingin bersantai di rumah dengan menghisap 'reffil'.

Belum sempat membuka bungkusnya sudah ditawari satu sasetan kopi bubuk oleh adik saya, bungkusnya dari kertas karton bergambar biji kopi dan seekor "luwak!", terkejut juga hati ini mendapatinya, terbayang pula sedap aromanya.

Sambil nunggu air mendidih saya sulut sebatang sam soe reffil, khas sensasinya meruang dalam sanubari para penikmat kretek seperti saya. Berselang kemudian setelah saya racik kopi luwak, saya duduk menyendiri di kamar, sedikit mencicipi kopi luwak yang sebelumnya 'menggeber' aroma khas dari cangkir saya. Nikmat, serasa menghadirkan surga kedalam kamar saya, inilah raja sehari pikir saya.

Ada keinginan untuk coba menikmati secara bersamaan, tidak akan saya sia-siakan hak istimewa yang kali ini saya dapatkan, hisap sam soe reffilnya bersambung dengan 'nyruput' kopi luwak. Rusak, sensasi kretek sekaligus aroma kopi hilang, tidak ada yang istimewa jadinya. Lewat begitu saja.

Saya coba lagi, tetap saja tidak ada yang istimewa. Selanjutnya saya pikir lebih baik dilakukan dengan cara bergantian, sensasi kenikmatan juga belum kembali, tetap sama, tidak ada yang istimewa.

Sadar saya seketika, percobaan pesta demokrasi telah menemui kegagalan dalam diri saya, sensasi kenikmatan kretek yang diwakili sam soe reffil dengan sensasi kenikmatan kopi luwak saling bertabrakan, tidak ada kesepakatan, masing-masing pihak berusaha untuk mendominasi tanpa ada rasa gotong royong dan asas musyawarah mufakat. Pun saya pikir memang~jika kembali pada keseharusan, demokrasi itu dibangun dengan kegotong royongan, bukan dengan upaya saling mendominasi dan saling jegal, jika itu terjadi maka rusaklah bangunan demokrasi itu.

Demikian dari pengalaman menikmati sensasi rokok kretek dan kopi luwak saya temukan bahwasannya segala yang mewah itu belum tentu istimewa, bisa jadi malah merusak nikmat keistimewaan itu sendiri. Salam.

Tuesday, March 6, 2012

ingatlah, nanti kau akan ceritakan

gerimis
turun perlahan
mengiring sang kelam untuk datang

ada nyanyian tak sanggup ku dengar
alunannya tersendat oleh keraguan

ada suasana
tak ingin 'tuk kau lupa:

ingat-ingatlah segala perlakuan
segala yang tak ingin kukenang
ingat-ingatlah
bagaimana kuterjemahkan pedih

ingat-ingatlah,
dimana dapat kutemukan kembali
rangkai peristiwa sebagai sejarah
sedang kau tengah bersandiwara

ingatlah
hingga nanti,
nanti, ketika kau sematkan kembali
tiap jengkal peristiwa
lewat serangkai bunga,
serangkai bunga yang kau hiaskan
pada makam dimana jasadku tertanam

ingat-ingatlah segala perlakuan
hingga dapat kau ceritakan
di hadapan nisan

sedang hidup mengajariku:
tiada keadilan
semata permainan