orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya (Pramoedya Ananta Toer)

About Me

My photo
seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki

Anda pengunjung ke:

Monday, November 28, 2011

aku katakan

aku katakan:
kau adalah kata-kata
sehangat cahaya matahari
membimbing dahan-ranting
tumbuh berkembang
sehangat cahaya matahari
merawat bunga hingga rekah

kau adalah kata-kata
seteduh mendung
dimana segala bergantung

(satu senyum untukmu, entah kau terima atau tidak, salam merdeka)

Thursday, November 24, 2011

bersahabat dengan sajak

kita bercanda pada kerling waktu yang jenaka
lalu terjebak dalam riang perdebatan:
lempar wacana-berbalas komentar
hingga waktu berjalan lebih ringan

nafas jadi perlahan
~ini sajak terusan dari do'a yang lepas melayang,
tadi pagi, sebelum cahaya fajar datang menjelang

ada rasa mengambang disampaikan
sebelum dua pasang sepatu sempat disemir
lalu tersimpan diam-dibiarkan tanpa nada
akan kubaca, nanti, setelah hujan puas menderas

(didedikasikan kepada rekan-rekan anggota grup 'Bersajak dan melawan':
http://www.facebook.com/groups/bersajakdanmelawan/)

Wednesday, November 23, 2011

jumpa lewat pisah

salam jumpa untukmu
sebelum langkah mengalir pisah

cukuplah sekejap
buat ukir sebaris nama dalam sejarah
sebuah nama yang jadi sajak indah

nanti
masih kutunggu sekali lagi
jemari menyentuh tenangnya hati
lalu
kuucap sekali lagi:

salam jumpa untukmu
lewat baris-baris aksara
dimana kita tinggalkan jejak
jadi sejarah yang terbaca lewat sajak

(ditulis ketika Timnas Indonesia tertinggal 3-0 dari Timnas Iran, menit ke 40)

sebuah pengakuan

hanya sebuah keinginan

siapa menyangka
mendengar irama ketegaran do'a,
sosok rapuh dihujam sepi,
makin ku nikmati

ketika aku merasa lelah,
ingin sekali
kembali terlelap dirahim bunda
disana bermanja
tanpa keluh-kesah

baru sekali ini rintik tangis terdengar
gerimis menyayat!

sajak nyanyian gadis kecil

sepi
gadis kecilku terkurung ruang yang hening

piring kering
meja makan yang kosong
didinding
hanya gambar potret kenangan

gadis kecilku bernyanyi
lagunya kebebasan jiwa
syairnya do'a dan tanya
bernyanyi pada ruang cahaya: hati

hanya ada gambar potret kenangan
gambar, lepas dari bidik senapan
sepi, gadis kecilku bernyanyi
kakinya berayun
menggantung
nafasnya lafal-lafal kebebasan
tangannya menggenggam candu

sajak sebuah keinginan

ingin sekali berlari
menjauh dari jahatmu
menapaki daun reranting mengering

bebas
mengarungi cakrawala
hinggap dimana aku bersuka
lalu, lantunkan do'a

aku ingin lari menjauh dari jahatmu
untuk kemudian merindui hadirmu

sekedar draft yang terpublikasikan

adalah debu
akrab denganku

adalah aku
yang berkejaran dengan angan
diatas bumimu yang angkuh

seperti sampan
melaju limbung
ketika gelombang bergolak
inilah: aku
mencari tepian bersandar
atau kembali terhempas hilang

hingga kini tak juga (ku)mengerti
kenapa (kau) ingin sekali
lebur dalam takdirku

Tuesday, November 22, 2011

bingung

ya aku,
bingung

bagaimana cerita?
Apa kisah?
Sementara dari awal sudah sadar
tak ada tempat untukku bersandar
tak ada ruang yang tersisa
bagi diri yang berbusana hina

dari aksara-aksara yang menggelepar
kubaca dengan setia
jadi semacam kabar
padahal telah kupilih bungkam
tak berlarut-larut dalam retorika
sebab
kupikir itulah yang diingin untuk dimengerti

tapi
apa benar?
Sungguh
ya aku
kebingungan

suatu percakapan

percakapan, pada suatu sore
cangkir-cangkir diam mendengar
rintik hujan ramah perlahan
belum tengah malam
sebelum dewa-dewi tidur
masih terdengar symphoni anak jalanan
tidak sedang menuang arak-anggur
masih sore, seperti biasa, percakapan
pada suatu sore
melepas segenap kontemplasi
lalu menghardik kenyataan
sekedar melarut pada keseharusan
belum tengah malam
sebelum dewi-dewi tertidur
symphoni anak jalanan
dalam keremangan jaman
cangkir masih terpekur diam
rintik gerimis
ya tangis
hati yang menangis
jadi bahan percakapan, pada suatu sore
belum tengah malam, kawan
percakapan jadi hidangan

Indonesia Raya dalam etalase

Indonesia Raya dalam etalase
dijual semacam negeri tak bertuan
dan
masih juga kita sebut sebagai peradaban
sedang ternyata kemanusiaan seharga uang

ditanah feodal ini
anak bangsa menangis-mengemis
ditanah feodal ini
anak bangsa diwakili makelar-borjuasi
ditanah feodal ini
anak negeri bernyanyi
terpekur ngeri
mendapati transaksi:
tanah merdeka segera terbeli
tak(kan) lagi ikut memiliki

Indonesia raya
tanah pusaka
negeri elok yang kucinta
terpasung bening etalase

penantian

mbulan
cahayanya pasrah perlahan
malam jadi setengah terang
angin berhembus tenang

gerimis
rintiknya terdengar pasrah
sedang mendung bergelayut manja diangkasa

kelopak bunga pertama mekar
menyambut musim yang basah

angin berhembus mesrah-pasrah
aku sambut dengan hati yang terbuka

tak perlu resah
ada waktu
segala datang
dengan tenang

sadar diri: ya, aku undur diri

cinta,
jika memang tiada
ya tak mengapa

dari awal memang telah menjadi kesadaran
tak kan mungkin ada ruang untukku (dihatimu)
hingga tak kan (pernah) bisa (ku) merasa

tapi
haruskah dengan menghina
(kau) pinta diri tuk melupa?

tiada mengapa
diri tiada dihati(mu)

(ke)sadar(an) diri begini adanya
bukan tiada apa
diri kan tetap mengembara dalam aksara

Wednesday, November 9, 2011

dari sudut sebuah dusun

jembatan kayu

air sungai tak jernih mengalir
pucuk-pucuk pinus dihembus angin sejuk
aku gambarkan sebentuk dusun

ada surau
anak-anak riang mengisi ruang,
tanah basah sehabis hujan,
hidup masih berayun laju

bersandar gubug rapuh
memandangi hijau kebun
kebun yang entah milik siapa

tanah basah sehabis hujan
jadikan persemaian:
kuncup-kuncup bunga bangsa,
taburilah
taburi dengan pengabdian

ada bendera
sang saka masih berkibar gagah
barisan bocah nyanyikan:
"bendera merah-putih, bendera bangsaku"

ada selendang
turut melenggang
bayang-bayang ditimang
diiring kecapi~mari berdendang, sayang