orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya (Pramoedya Ananta Toer)

About Me

My photo
seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki

Anda pengunjung ke:

Thursday, December 29, 2011

Saya dapat dari Chairil Anwar


Sajak-sajak itu berbicara, bukan dengan suara, selalu saja ada yang membaca.
Sajak-sajak itu berbicara, seakan ingin segala jadi terlihat akrab dengan siapa saja. Meraung di udara kota yang penuh dengan polusi, merayap disetiap dinding dan menggedor tiap-tiap jendela-pintu yang tertutup.
Chairil, membacanya seperti sedang berhadap-hadapan dengan sosok bebas yang tidak mudah ditebak. Para pelajar mengenalnya lewat “Kerawang-Bekasi” yang bercerita tentang jasad-jasad pejuang, atau melalui “Aku” yang nekad bagai binatang jalang~tak peduli lagi dengan koloninya, menerjang batas-batas dengan tingkah liar. Ya “Aku”, nama lainnya “Semangat”.
Chairil menuang kata-kata untuk mengungkap segala yang samar atau melecutkan hasrat yang ia temukan dalam sunyi, menurut Benazir Nafilah adalah salah satu politik remang-remang ketika ia membahas ke’Sia-sia’an yang dituang oleh Chairil, ke’Sia-sia’an yang membicarakan lain waktu yang ditunggu oleh Chairil Anwar:
Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mampu memberi
mampus kau dikoyak-koyak sepi (sajak “sia-sia” versi “Deru campur debu”)
teks-teks yang membiak menyelami rimba dan menjadikan dirinya harimau yang siap menerkam otak kita. Tiba-tiba aku melihat citraan yang memaksaku untuk berada disana dan melihat peristiwa yang menciptakan ombak dalam kesepian. Kesepian sepanjang aku mengagumimu, dan esok teks akan bergerak dan berlari seperti sembrani, tapi apalah hebatnya jika aku perkarakan semua ini. Aku hanya menafsiri kembang berkarang yang kau bawa setiap kali kau datang.1
Sajak-sajak itu coba mengenali segala yang terekam, entah gagal atau menjumpai bentuk-bentuk samar yang sama sekali baru. Tidak satupun tebakan mampu menjawab tanya, malah semakin terdesak oleh penasaran ataupun keraguan. Sebagaimana tentang “Diponegoro” yang fenomenal lewat tuangan aksara Chairil, seakan tidak bisa dibaca begitu saja tanpa harus mengetahui latar belakang ia tulis sajak itu, yang oleh Hadzarmawit dikatakan bukan hanya sekedar pengungkapan rasa kagum terhadap sosok Diponegoro yang menjadi legenda tanah air, tapi juga adanya situasi yang kurang lebih sama. Tentu, situasi yang menyeret masyarakat dalam ketertindasan.
Sajak Diponegoro bukan sekadar merupakan suatu pengungkapan rasa takjub seorang pemuda Chairil Anwar terhadap sang pahlawan legendaris Pangeran Diponegoro. Melainkan dengan sajak tersebut Chairil mau melukiskan kebangkitan semangat dan tekad perjuangan generasi zamannya dalam melawan penindasan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.2
Bagaimana merangkum yang bebal-sabar dengan sikap yang binal dalam satu sosok? Ada kemungkinan seorang aktor memiliki keduanya dalam suatu waktu yang bersamaan, dan bukankah menulis butuh kesabaran (kebebalan) sekaligus bergerak liar?:
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulang yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
Sajak “Kesabaran” yang sempat popular lewat film ‘Ada Apa Dengan Cinta’, dalam film itu, Cinta, karakter yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo sempat membacanya sekilas. Penerimaan seorang pembaca terhadap sajak seorang Chairil adalah semacam ‘review’ terhadap ‘slide-slide’ sejarah. Bukan sekedar mempelajari suatu tehnik penyederhanaan kata yang memberi efek ‘dramatis’ ditiap sajaknya, tapi bahkan suatu tampilan situasi yang direkam oleh Chairil lewat kata-kata yang ia tanam dalam sajaknya.
Suatu pengungkapan akan suatu penantian yang sekaligus ditawarkan, seakan sekali waktu pernah dikhianati:
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Ketegasan dalam mempertanyakan status dalam masyarakat, ya ketegasan memang diperlukan agar tersisa ruang untuk senantiasa saling mengenal, sekali ditinggal, biar hilang, tanpa penyesalan dan hidup berjalan sebagaimana mestinya hidup berjalan, tanpa penindasan. Tegas harus senantiasa menolak segala yang menindas, segala yang tertindas hanyalah keadaan asing yang tak kenal ampun, keadaan yang tidak dikenal:
Aku berkaca
Bukan buat ke pesta

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru-menderu
-dalam hatiku?-
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah…!!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal…

Selamat tinggal…!!! (Sajak “Selamat Tinggal” versi ‘kerikil tajam dan yang terampas dan yang putus’)



(1)    Benazir Nafilah, Bermula dari sia-sia hingga semangat membakar hampa, dalam Kumpulan essai: Politik Budaya dan Tendensi Konsumtif (Kantor Arsip dan Perpustakaan Pemerintahan Kabupaten Sumenep, 2009) hlm. 65
(2)    A.G. Handzarmawit Netti, Sajak-sajak Chairil Anwar dalam kontemplasi (Surabaya: B You Publishing, 2011) hlm. 45

Wednesday, December 21, 2011

pagi ini

pagi ini garis garis langit terbentang begitu resah
ada pijar melambung perlahan
menghias kibaran panji juang
dan orang-orang berkejaran dengan bayang
pagi ini, jalanan masih diisi oleh kesibukan-ketidak pedulian
atau keterasingan?
Ada yang terselip diantara hiruk-pikuk:
Tuhan datang berwajah-wajah
pagi ini do'a-do'a terlepas pasrah

Saturday, December 17, 2011

tentang ibu

diantara tumpukkan buku itu ada ibu
diam-tenang memainkan bidak-bidak catur
ada pijar lilin
bikin ruang setengah terang
cahanya menari nari, berkerdipan oleh semilir
semacam kepasrahan atas waktu yang terus berlalu
ada lantunan doa, terlepas tenang
harap kesantunan mengiring juang
meski malam datang bertangisan

Friday, December 16, 2011

Lamunan tanah merdeka

ada semacam harap
perjumpaan dalam kibaran semangat dan juang

pada selembar kota yang senantiasa terselimut kabut
senyummu senantiasa ku tunggu,
harapku: diujung sana mampu kutemukan senyum itu,
akan kutunggu, perjumpaan itu

nanti, kita juga akan saling berbagi,
kau ceritakan segala kembara
dan ku tulis sajak untukmu
sembari kita nikmati
hangat asmara yang tertuang dalam cangkir

adalah bayang diawang-awang
sayang, tetaplah dibarisan terdepan

kuncup bunga revolusi

Aku katakan
kepadamu kuncup bunga revolusi

jika nanti terwariskan tanah merdeka
subur dan makmur
tempat bersemi kuncup-kuncup bunga bangsa,
janganlah terlalu bersuka diawang-awang,
membumilah, ibu Pertiwi menanti

membumilah dengan wajah berseri-seri
taburkanlah semerbak wangi revolusi
diatas tanah merdeka, rakyat menanti

Wednesday, December 14, 2011

antara kita dan Indonesia

sejak kulihat jemarimu
sepertinya ada yang kau bawa dariku

ketika mencintaimu adalah mengakhiri kembaraku
maka~aku harus gantung sepatu, mereka lelah
atau, ketika ada kekaguman yang diam
antara kita, asmara berkibaran diatas tanah merdeka

Tuesday, December 13, 2011

membayang senyum


ada senyum terbayang
~tak terpikir sebelumnya,
kita sedekat itu tadi siang


ini malam
jadi hening-diam
senyummu mampir
dalam cangkir
dimana nikmat senantiasa menggenang

tentang pembicaraan kita sore itu

antara bir dan kopi
ada nyanyi
atau semacam tragedi
pada ketiadaan, juang dialamatkan
harapan jadi semacam do'a yang dilantunkan

hisap lagi kretekmu kawan
dan protes kita panjatkan
entah, kepada siapa?
Mungkin pada perut masing-masing
atau pada kesendirian

kita angkat cangkir
pikiran melompat lintasi batas kedaulatan
menerabas aksara sejarah
sembari kusadari:
baru kali ini kulihat bir dituang dalam cangkir

persetan,
kunikmati yang ada padaku
kini atau nanti
sambil menunggu kau mabuk
nanti, malam juga pasti datang
bikin jangkrik mendengkur
lalu kita pun kembali bertafakur

"tersalamkan persahabatan penuh kedamaian diatas tanah merdeka, dalam gerilya aku menunggu, juangmu bersambut, sekedar kunyatakan, kawan, aku tetap dikiri. Atau, masing-masing kita ucapkan: persetan"

Thursday, December 8, 2011

senyummu

dua kupu-kupu berkejaran
riang saat kulihat senyummu
ada semilir menampar lamunan:
kau tak juga takluk dalam rayu,
senyummu, kuakrabi dari jauh

Monday, November 28, 2011

aku katakan

aku katakan:
kau adalah kata-kata
sehangat cahaya matahari
membimbing dahan-ranting
tumbuh berkembang
sehangat cahaya matahari
merawat bunga hingga rekah

kau adalah kata-kata
seteduh mendung
dimana segala bergantung

(satu senyum untukmu, entah kau terima atau tidak, salam merdeka)

Thursday, November 24, 2011

bersahabat dengan sajak

kita bercanda pada kerling waktu yang jenaka
lalu terjebak dalam riang perdebatan:
lempar wacana-berbalas komentar
hingga waktu berjalan lebih ringan

nafas jadi perlahan
~ini sajak terusan dari do'a yang lepas melayang,
tadi pagi, sebelum cahaya fajar datang menjelang

ada rasa mengambang disampaikan
sebelum dua pasang sepatu sempat disemir
lalu tersimpan diam-dibiarkan tanpa nada
akan kubaca, nanti, setelah hujan puas menderas

(didedikasikan kepada rekan-rekan anggota grup 'Bersajak dan melawan':
http://www.facebook.com/groups/bersajakdanmelawan/)

Wednesday, November 23, 2011

jumpa lewat pisah

salam jumpa untukmu
sebelum langkah mengalir pisah

cukuplah sekejap
buat ukir sebaris nama dalam sejarah
sebuah nama yang jadi sajak indah

nanti
masih kutunggu sekali lagi
jemari menyentuh tenangnya hati
lalu
kuucap sekali lagi:

salam jumpa untukmu
lewat baris-baris aksara
dimana kita tinggalkan jejak
jadi sejarah yang terbaca lewat sajak

(ditulis ketika Timnas Indonesia tertinggal 3-0 dari Timnas Iran, menit ke 40)

sebuah pengakuan

hanya sebuah keinginan

siapa menyangka
mendengar irama ketegaran do'a,
sosok rapuh dihujam sepi,
makin ku nikmati

ketika aku merasa lelah,
ingin sekali
kembali terlelap dirahim bunda
disana bermanja
tanpa keluh-kesah

baru sekali ini rintik tangis terdengar
gerimis menyayat!

sajak nyanyian gadis kecil

sepi
gadis kecilku terkurung ruang yang hening

piring kering
meja makan yang kosong
didinding
hanya gambar potret kenangan

gadis kecilku bernyanyi
lagunya kebebasan jiwa
syairnya do'a dan tanya
bernyanyi pada ruang cahaya: hati

hanya ada gambar potret kenangan
gambar, lepas dari bidik senapan
sepi, gadis kecilku bernyanyi
kakinya berayun
menggantung
nafasnya lafal-lafal kebebasan
tangannya menggenggam candu

sajak sebuah keinginan

ingin sekali berlari
menjauh dari jahatmu
menapaki daun reranting mengering

bebas
mengarungi cakrawala
hinggap dimana aku bersuka
lalu, lantunkan do'a

aku ingin lari menjauh dari jahatmu
untuk kemudian merindui hadirmu

sekedar draft yang terpublikasikan

adalah debu
akrab denganku

adalah aku
yang berkejaran dengan angan
diatas bumimu yang angkuh

seperti sampan
melaju limbung
ketika gelombang bergolak
inilah: aku
mencari tepian bersandar
atau kembali terhempas hilang

hingga kini tak juga (ku)mengerti
kenapa (kau) ingin sekali
lebur dalam takdirku

Tuesday, November 22, 2011

bingung

ya aku,
bingung

bagaimana cerita?
Apa kisah?
Sementara dari awal sudah sadar
tak ada tempat untukku bersandar
tak ada ruang yang tersisa
bagi diri yang berbusana hina

dari aksara-aksara yang menggelepar
kubaca dengan setia
jadi semacam kabar
padahal telah kupilih bungkam
tak berlarut-larut dalam retorika
sebab
kupikir itulah yang diingin untuk dimengerti

tapi
apa benar?
Sungguh
ya aku
kebingungan

suatu percakapan

percakapan, pada suatu sore
cangkir-cangkir diam mendengar
rintik hujan ramah perlahan
belum tengah malam
sebelum dewa-dewi tidur
masih terdengar symphoni anak jalanan
tidak sedang menuang arak-anggur
masih sore, seperti biasa, percakapan
pada suatu sore
melepas segenap kontemplasi
lalu menghardik kenyataan
sekedar melarut pada keseharusan
belum tengah malam
sebelum dewi-dewi tertidur
symphoni anak jalanan
dalam keremangan jaman
cangkir masih terpekur diam
rintik gerimis
ya tangis
hati yang menangis
jadi bahan percakapan, pada suatu sore
belum tengah malam, kawan
percakapan jadi hidangan

Indonesia Raya dalam etalase

Indonesia Raya dalam etalase
dijual semacam negeri tak bertuan
dan
masih juga kita sebut sebagai peradaban
sedang ternyata kemanusiaan seharga uang

ditanah feodal ini
anak bangsa menangis-mengemis
ditanah feodal ini
anak bangsa diwakili makelar-borjuasi
ditanah feodal ini
anak negeri bernyanyi
terpekur ngeri
mendapati transaksi:
tanah merdeka segera terbeli
tak(kan) lagi ikut memiliki

Indonesia raya
tanah pusaka
negeri elok yang kucinta
terpasung bening etalase

penantian

mbulan
cahayanya pasrah perlahan
malam jadi setengah terang
angin berhembus tenang

gerimis
rintiknya terdengar pasrah
sedang mendung bergelayut manja diangkasa

kelopak bunga pertama mekar
menyambut musim yang basah

angin berhembus mesrah-pasrah
aku sambut dengan hati yang terbuka

tak perlu resah
ada waktu
segala datang
dengan tenang

sadar diri: ya, aku undur diri

cinta,
jika memang tiada
ya tak mengapa

dari awal memang telah menjadi kesadaran
tak kan mungkin ada ruang untukku (dihatimu)
hingga tak kan (pernah) bisa (ku) merasa

tapi
haruskah dengan menghina
(kau) pinta diri tuk melupa?

tiada mengapa
diri tiada dihati(mu)

(ke)sadar(an) diri begini adanya
bukan tiada apa
diri kan tetap mengembara dalam aksara

Wednesday, November 9, 2011

dari sudut sebuah dusun

jembatan kayu

air sungai tak jernih mengalir
pucuk-pucuk pinus dihembus angin sejuk
aku gambarkan sebentuk dusun

ada surau
anak-anak riang mengisi ruang,
tanah basah sehabis hujan,
hidup masih berayun laju

bersandar gubug rapuh
memandangi hijau kebun
kebun yang entah milik siapa

tanah basah sehabis hujan
jadikan persemaian:
kuncup-kuncup bunga bangsa,
taburilah
taburi dengan pengabdian

ada bendera
sang saka masih berkibar gagah
barisan bocah nyanyikan:
"bendera merah-putih, bendera bangsaku"

ada selendang
turut melenggang
bayang-bayang ditimang
diiring kecapi~mari berdendang, sayang

Monday, October 24, 2011

sajak dua hari yang lalu

dua hari yang lalu
seorang penyair mati
tiada suara dari mulut yang terkatub membeku
tidak pula haru

ada kata
melekat akrab pada lembar pualam,
jadi nisan
itu kata adalah kuncup yang bertunas diketiak waktu,
nanti, musim kembang, do'a berhambur datang

rindu itu kangen

rindu adalah jeda untuk kita lebih khusyuk lagi berdo'a, agar kita mengerti apa yang sedang perlu 'tuk jadi mimpi, rindu adalah irama dalam asmara, menjadikan cinta mengalun tak bisu dan rindu adalah waktu untuk kita menunggu. Semoga rindu, bukan suatu permainan asmara darimu.

Saturday, October 22, 2011

realitas (dari) kontemplasi sunyi, baiklah aku mengerti

ada ragam isyarat
memaksa untuk setia terbaca dalam pengertian
terurai pada batas-batas realitas,
isyarat, terungkap ketiadaan

baiklah,
yang kumengerti, kini,
adalah diam

memang tak patut untuk larut
atau bahkan untuk bertanya,
cinta memang bukan kepadaku ia mengarah,
aku, sungguh hina

baiklah,
aku diam, sekarang
menyerah penuh
pada ruang kontemplasi
sepi
milikku sendiri
~aku telah mengerti:

isyarat, tiada kesempatan dan tempat
aku harus kuat
sebab tiada antara,
hanya kita, satu yang sama
baiklah, aku diam dalam ruang yang sepi

realitas

ada realitas dari realitas
segalanya ditampilkan secara samar
dan terartikulasi dengan sadar

esok pagi
'tika aras kembang tak lagi bersemi
adalah antara aku dan Tuhanku
segaris lurus
membongkar kenyataan yang terbungkam
dengan tangan atau hanya pedang

ini wajah kena ludah, siapa sangka
sedang hinaan-hinaan kemarin belum juga terlupa
ancaman jadi hidangan nyata

bukan suatu pilihan untuk jadi pahlawan
sangat mungkin (malah) untuk dikorbankan
sebab segalanya tampil samar
dan terartikulasi secara sadar
ada realitas dari realitas
musim kian meranggas

Friday, October 21, 2011

hati perih

ada hati
dikoyak-koyak sepi
tanpa jerit
sekedar merintih

"ahai, betapa perih!"

Wednesday, October 19, 2011

Bayang senyum

setengah dari cangkir kopi
ada yang tersisa dikota milikmu
selain debu kesibukan dan keangkuhan
lembar-lembar sejarah belum selesai ditafsirkan,
kita tambah sebaris aksara~jadi lebih meriah

sadar, tiada tempat tuk sekedar berteduh
bagi lelaki yang terasing dalam ruang yang bising
selain pada aksara, dimana jerit rindu kualamatkan

setengah lagi dari cangkir kopi
[kuangkat dengan telunjuk~sekedar (beri) hormat:
bayang senyum yang senantiasa menemani]
deru kota milikmu, belum juga kumengerti
sedang suratan nasib harus rela dihadapi
dan halusinasi bersamaku, kini

setengah,
mbulan setengah bercahaya
setengahnya lagi, entah

senyummu cair,
lelah dalam penantian
malam telah tiba
yang kurindu bercadar doa

Friday, October 14, 2011

sajak untuk Nur

semacam pandoora kau hadiahkan cinta
atau sekedar basa basi mitologi yang kita pelajari
untuk turut dalam perdebatan-perdebatan
tentang segala yang basi?

Nur,
kabar darimu
isyaratkanku untuk selalu tegar

(selamat Nurul, semoga bahagia selalu hidupmu, amien)

Thursday, October 13, 2011

sajak kesaksian

sebentar saja melepas penat
lalu kembali pada peran penuh sekat

ku tulis sajak ini di area parkir
diseberang sana
dapat kulihat tuan-nona berpesta
borjuis muda beraksi
sajak ini sekedar saksi

dipisah lalu lalang malam
aku bersama mereka yang terpinggirkan
menjadi bagian dari mereka yang terpinggirkan

angkat gelas, bersulang

mbulan melambung diangkasa hitam
"ku dengar ini negeri sedang bekerja begitu kerasnya
deru pembangunan terasa hingga relung sukma"
bangun, membangun mental-moral kebangsaan:
dari kepribadian anti korupsi
hingga standar hidup konsumerisme tanpa pengaduan

diseberang sana kulihat dansa-dansi
tuan-nona dan banci

angkat gelas, bersulang

mengulang lagi transaksi antara otak dan hati
ingin sekali dianggap 'wajar'
sebagaimana mereka yang kurang ajar
ups...
ya, dibilang salah itu wajar
tiap salah pasti bisa dicari (pem)benarnya
tak perlu risau
atau bisa juga dilupakan tanpa ada usaha untuk menjelaskan
wajar bukan?

aku tulis sajak ini di area parkir
sekedar tumpahkan kesaksian

angin berhembus
diseberang sana aku melihat
pengamen kecil bersenda gurau dengan lamunannya yang entah apa

angkat gelas, kopi tinggal setengah
nikmat juga
kembali bersulang
sementara terdengar canda kawan
aku tenggelam dalam penyaksian

Sunday, October 2, 2011

sekedar ingin ucap-ungkap

tiada yang lebih bijak diantara guyuran cahaya mentari, dibiarkannya segala jadi lugas terlihat~ada kerinduan yang diam kusimpan, biar.
Tiada yang lebih arif dari rintik gerimis, tangis langit basahi belantara raya, segaris perih kuungkap dalam kata~kutelantarkan hatiku yang letih, biar.
Sedang ku cari kata yang paling rindu, sekedar ingin ucapkan cinta~aku pasrah, berserah dalam do'a: rinduku tiada hilang arah

sajak perjuangan

bersabar menjalani peran kehidupan
sesederhana bumi mengasuh alam
hadir tanpa perisai-pedang
keyakinan mengiring aku datang
iman dan ketakwaan jadilah mata pedang

sajak Puntadewa untuk Drupadi

kesetiaan yang luhur
jadilah cahaya kembara
ku temukan kau dalam do'a
wahai Drupadi
dari api suci kau terlahir
mengemban kesetiaan hingga akhir
kesetiaan yang dipertaruhkan
dalam sayembara dan dadu

demi langit dan bumi
demi harkatmu sebagai putri agni
kau bersumpah:
kau tiada akan mengikat rambut
sebelum mencucinya dengan darah Dursasana

Tuhan menjaga hijabmu karena kesetiaanmu
karena hijabmu
kesetiaanmu senantiasa terjaga

Saturday, October 1, 2011

sajak cinta mendaki

mendaki yang lebih tinggi
langkah tiada ingin terhenti
masih terjal ditapaki

kau cahaya hati
cinta merupa wanita
kehadiranmu sungguh
harapku
beriring menuju surga

mendaki lebih tinggi
bersama cinta aku lantunkan do'a

Friday, September 30, 2011

(ber)kawan sepi

bilakah kawan sengaja pergi

menghindar

tiada mengapa
diri nikmati sepi yang kawan beri

sadar (rindu) ku

sebaris kenangan menghampar diujung rindu
kelopak asmara gugur
jatuh menghujam
tanah jadi subur

ada senyuman datang membayang
hiasi cakrawala malam
hingga kusadar: aku sendirian
nikmati kerinduan
sadar
kehadiranmu masih kuharapkan

sebaris kenangan
padamu rindu kualamatkan

Wednesday, September 28, 2011

dialektika dan shalawat

dialektika tiga hentakan
antinomi Kant jadi melebar
Newton menemukan hukum sosialnya
bagi Hegel semua ini adalah proses yang mati
proses mati yang mereduksi setiap batas
menerabas-mempertanyakan batas rasio

dialektika tiga hentakan
Tan Malaka menerjemahkannya dalam madilog:
waktu
pertentangan
timbal balik
dan pertalian

dialektika tiga hentakan
komunikasi dua arah yang mencari jawab
dicarinya lewat tiga hentakan
Marx mereduksinya-mencerabutnya
menyumbangkan sejarah kedalamnya
menjadikannya sebagai hukum antar keterkaitan
dan
kita temui tiga hukum berlaku:
perubahan
oposisi
dan negasi dari negasi

lain waktu,
KH Bisri Mustofa berkata pada anaknya:
"apalagi shalawat, begitu nama Kanjeng Nabi (Muhammad)
kamu sebut
kesulitan yang kamu tidak bisa memecahkannya
akan terbuka makhraj yang kamu inginkan"

antara dialektika tiga hentakan dan shalawat
aku mengapung dilautan sepi

Tuesday, September 27, 2011

sajak anak kembara

merangkum rasa dalam bait kata
menyimak tiap inci luka
berkatalah sang anak kembara:

nyanyiku sumbang
tercecer bersama debu
disetiap ruas trotoar dan emperan
titik-titik nada duka
menggema dalam simponi tanya
"hadirkah warna-warna tabah
disetiap langkah?"

daun pertama gugur
tiada berpayung mendung
anak kembara melangkah
cari sebait cinta

Monday, September 26, 2011

aku ini (itu)

orang Jawa bilang
aku
"grudag grudug, sludar sludur"
orang Madura juga bilang
aku
"taretan dalem se kerras, paakerres"
tapi apalah
ini hanya aku
sebagaimana matamu menerjemahkan
itulah aku
sebaris nama warisan bapakku

[lokana daghing bisa ejhai, lokana ate' tada' tambhana kajabhana ngero' dara... nanging sumarah mawon nggih...(cultural confus)]

Friday, September 23, 2011

menerima segala

seperti rumput
sekedar pasrah
diguncang cuaca

ada angin lewat
tetap saja
hanya diam
mengadu rasa
siang menghujamkan terik
tiada mengapa
esok
pastilah embun datang
membawa kesegaran

nista busanaku

jika kata
tiada cukup untuk menghina,
senantiasa
diri persilahkan
tanamkan belati diulu hati

diri pasrah menerima segala ucap hina
tiada mengapa
digerbang ajal kita akan saling bertegur sapa

Thursday, September 22, 2011

pesan

kotamu hening tertutup kabut
kabut yang diam merambat
kabut yang rapuh

cahaya terakhir menggeliat
dan gugur
tak lagi di langit
matahari lelap menyambut malam
sayang,
pasrahkan segala dalam do'a

ranting-ranting cuaca masih mengering
rindu hujan datang menyiram

betapa parah
cinta-asmara kita
melambung mabuk
terasing dilembar sejarahnya

cinta
yang kupungut dibalik sibuknya jaman
sayang,
pasrahkan segala dalam do'a
~sementara kau menanti dalam hening:
biarlah cinta ini menantang jaman

Monday, September 19, 2011

bersiap

gali lebih dalam lagi
sumur sinaba
agar terpuaskan dahaga diujung pancaroba

rawatlah dengan tabah
aras kembang yang bersemi
agar tiada redup melayu
lalu
bolehlah kita mulai lagi dialog
dipermukaan cangkir kopi
sekedar mencari makna cinta kasih
dalam kedamaian

Thursday, September 15, 2011

redup-marah, hilang arah

sekedar menangis
mengais yang entah
tak ada gairah
diri tiada rasa merdeka

mendung melintas berarak
rumput-lumpur diam
pada cakrawala
jerit kualamatkan:

ini aku!
Bidiklah
dan
sehabis hujan
akan kau temukan
jasad kaku diatas tanah basah

sajak antara (kau dan aku)

baru sekali ini ingin kutulis
sajak antara kau dan aku

maaf aku marah
bukan ingin
hanya sekedar resah:
aku tiada jua mampir dihatimu (ya ampun)

lupakan saja
kita coba mulai yang baru

tapi
tetap saja
kata tersedak oleh amarah
bukan asmara~astaga!

Baiklah
kita kembali pada yang mula
namun kita tiada jumpa
biarlah
akan selalu kucoba
meski sajak ini tiada mungkin sempat kau baca

akan selalu kucoba
menulis sajak antara kau dan aku
hingga ku temukan kata
tempat kita berjumpa

Tuesday, September 13, 2011

sajak pendek untuk anak merdeka

senyummu adalah tanda
tapi apa?
Ingin sekali kudengar suara
maka teriaklah sekali lagi
wahai anak merdeka

Makam seorang pejuang

Pada sepetak makam tempat kesunyian dilahirkan

itu semangat berkibaran
ditimpuk serapah

debu kesibukan bertebar
tiada mata sepasang sudi memandang

nisan
sekedar pengingat bahwa mereka pernah berjuang
hingga jaman kembali mengancam

kesunyian ini tuan
adalah irama perjalanan

Saturday, September 10, 2011

dari sajakmu

malam
kurasakan penuh kedaulatan
kau, bacalah sajak yang kau tulis perlahan
akan kuiring dengan nyanyian
sajak yang kau tulis:
pelan-perlahan
seakan sadarkan aku dari igauan

kabut merayap pelan
sajak kau baca perlahan
aku petik nada dari dawai gitar
malam,
kurasakan penuh kedaulatan
kau catatkan segala kenangan
dalam sajak yang kau baca perlahan
aku iringi dengan nyanyian
rayakan malam penuh kedaulatan

ranting-ranting mengering rindu hujan
kau, bacalah sajakmu perlahan
kuiringi dengan nyanyian

aku hancur tapi hidup

aku hancur memang
tapi
aku sedang bertahan untuk hidup
aku bertahan agar kau puas
hancurkan aku berkali-kali
dan
hidup adalah sekumpulan ironi:
aku hancur tapi tak mati

Wednesday, September 7, 2011

sekedar kubalas pesan dari sajakmu

ku sambut kehadiranmu dengan penuh luka
lewat aksara yang ku eja
pelan
perlahan
padamu hatiku mulai tertahan

sajak untuk sebuah nama

pada selembar dinding,
tempat senantiasa kita mengembara
kuhamburkan aksara
sekedar luapkan rasa
dan kau tiada,
kau tak segera membaca
ini rasa ingin kuteriakkan
pada awan hitam berarak

aksara
untuk sebuah nama
kau tetaplah membaca

sajak sebuah penerimaan

seperti yang kau harap:
iklasku menyambut hadirmu
dan hatiku ini masih sepi

menyendiri
tunggui hadirmu

masihkah aku kau paksa
menulis sajak cinta?
Sedang kau pun mengerti benar:
kau telah ku terima
dengan hati yang terbuka

Friday, September 2, 2011

sajak kecil tentang perjalanan

kita masing-masing berlayar
mengarungi samudera sepi

seakan mencari titik mula kita berjumpa

Saturday, August 27, 2011

Sajak sepanjang Agustus 2011 (hampir-hampir tanpa judul)

Menghadap

sementara terdengar kabar berkumandang
kita hentikan sejenak segala hasut-dengki
kembali pada titah ilahi


kesadaran

diantara pepohonan yang lelah

ada semacam ketakjuban mengharap kehadiran
segala hanya milik-Nya
segala akan kembali kepadaNya
pemilik segala sirna

hening
membaca pesan alam

"ya ayyuhalladzina amanu
ittiqallahu wab tagaul ilaihilwasilah"

dan nafas ini
adalah kemurahan dariNya
hanyalah untukNya


sebentuk kenangan

kala itu, kukenakan kemeja sekenanya
warna sepatu tiada lagi jadi pilihan
~seingatku warna hijau, segala yang ada saja
dan rambutku terurai
berkibaran ku bawa berlari
otak ini diserbu beribu pengetahuan
hampir-hampir tak ku kenal
hanya seperti ilalang
ah, sekedar kukenang
dimana aku sempat menghilang
tetaplah sama kini dan nanti
aku lebih suka menyendiri

Kepada(mu) disana
gumintang genit berkedipan
matamu berbinar seakan menatap ajal
seruling mengalun sunyi
kepercayaan jadi kedamaian dihati
hari segera berganti
kau, masihkah akan terus menepi dalam sepi?


Tentang perjuangan (mimpi dan harapan)

sedang saksikan tragedi
ataukah parodi?
sungguh sulit untuk dimengerti
untuk selalu dipahami
tiada ingin berlari untuk tak peduli
semoga tetap dalam kesadaran:
kita bertarung-juang untuk apa
kita mati untuk apa

satu hati dalam warna pelangi
kita takkan membiarkan mimpi jadi punah mati
dan harapan masih bertebaran
belum juga kita genggam


Sajak kecil buat Ibu

ibu,
akulah anak panah dari do'a yang kau rentang
yang kau bidikkan penuh keridhaan


Bendera kemerdekaan

ada bendera dalam genggamanmu
tak berkibar bebas
sementara hujan badai belum reda
masih juga kau genggam
kenapa tak kau biarkan ia menari
dipuncak tiang perahu kemerdekaan?

Kerinduan
malam,
dia kembali menerkam
seram-mencekam:
kerinduan


Belum berjudul

segala fana
segala sirna
segala berpendaran bagai cahaya
entah,
akan kemana rindu mengarah
jika segala sirna
jika segala tak lagi berwarna
dan hanya terdengar do'a-do'a menghibah
mengharap kemurahan
dari Yang sering terlupa


sajak kecil tentang kebenaran

kebenaran memang butuh nyali
tak selalu harus ditutupi
jika kata tak lagi mampu dipahami
biar belati yang mengganti


Sajak sepatu

sepasang sepatu sedang berbincang pada suatu ketika yang telah biasa untuk dipahami... tiada menghujat, tiada mengumpat... hanya berbincang sepanjang yang telah dijalani


Sajak yang resah

selebrasi merah putih... sementara berhias merdeka
harus kemana kita akan mencari filsafat kebangsaan, sedangkan nasionalisme harus selalu dipertentangkan dengan agama
~refleksi masa lalu kawan, jangan tersinggung
sementara telah kutemukan:
seorang nasionalis dinegeri ini adalah juga seorang agamis
dan kita tak seharusnya pusing-gundah akan hal ini
(aku ini nulis apa sih?) sebab tanah ini amanat dari Yang Maha kuasa
bukan milik sementara manusia
tapi untuk semua
ow ya, jiwa yang merdeka
aku sedang gelisah
bukan lantaran memandangi ajal diantara kita
tapi karena jalan keadilan kian terjal
sementara hati kita berhias nasionalisme
hanya sementara
dan selanjutnya kembali tertelan dalam individualisme
-aku ini sedang menulis apa?
Untuk apa?
sementara sajakah kita teriak merdeka sembari sementara meneladankan kesetiaan kepada tanah air tercinta (dan sedang kita singkirkan semangat berbangsa)
aku tiada mengerti: aku sedang menulis apa?
Sekedar mengalir begitu saja
dan tangis ibuku mengiringinya
ow ya, jiwa yang merdeka
yang kuterima hanya sumpah serapah


Sajak yang bercerita tentang kata salah satu Pamanku

kata pamanku "jikalau tidak mampu memberi kebahagiaan kepada orang lain, janganlah menambah dukanya"
lalu kami memandangi barisan manusia yang merias diri sebagai pejuang
terkekang dalam simbol-simbol
badut jadi mirip pejuang
bandit juga berbusana pejuang
semua seakan mengatakan: akulah pejuang!
Terkekang dalam simbol-simbol kebanggaan

aku dan pamanku
berjalan seriring
tiada ingin ikut jadi badut
sebab:

jikalau tidak mampu memberi kebahagiaan kepada orang lain,
janganlah menambah dukanya
kami tertawa melihat badut dan bandit bertingkah

Dengan kata atau darah?!
luruskan segala yang kusut

bagaimana bisa melupa
jika dendam telah tertanam

atau
hanyakah dengan pedang
segala jadi lurus
dan darah tumpah percuma


Hitam busanaku untuk Merah-Putih panji juangku

hitam
tanda duka teramat dalam
'tika semangat redup hilang
semoga
panji juang
tetap riang berkibar:

"MERDEKA!!!"


Luka

adalah kau
sebilah luka
menyayat direlung jiwa


Sajak saat malas

sehari ini aku tak ingin mandi
terlalu banyak sayatan
segala jadi perih
dan sepasang sepatu
sedang letih untuk selalu berlari

Saturday, August 20, 2011

hari ini: sejarah masa depan

akhirnya kita menemui suatu ketika yang telah lama kita cumbui, kita pahami dalam kegelisahan masa silam: kau diam dalam romantika kehidupan dan aku akan tetap sunyi mengembara, masih akankah kau sematkan wangi parfum dikemejaku~seperti dulu, 'tika kelopak-kelopak bunga mulai bermekaran? Dan jemari kasih lembut membelai kerinduan. Akankah ku temu dirimu yang dulu: bersemangat mengibarkan warna bendera yang sama sembari kita kenang lembar demi lembar sejarah yang kita baca? Kabut perlahan turun menutup rimbun hutan, masih tetap kutuang nikmat yang sama dalam cangkirku (sadar) senyummu segera jadi rinduku.

Monday, August 15, 2011

merdeka

cintaku punah dihantam serapah
tinggal gundah berjejalan dimalam buta
lelaki ini berserakan dihujat hidup tanpa keadilan

sudahlah!

tiada mengapa diri ditikam hingga berdarah
atau sekedar termangu berteman purnama
dihadap unggun menyala-nyala:

merdeka!

Friday, August 12, 2011

Blues in Tenggong

suatu waktu kita pernah ketemu
dulu, saat mendung tak lagi jadi payung

kenangan kembali datang mengulang
tentang bukit yang kubayang
semacam tumpukan debu
tandus-gersang
kita disana
disapa angin Agustus dibukit yang tandus

pada pertemuan itu
kau berucap untukku:
selagi bisa, selagi bersama,
lalu kita panjati tanah-tanah kering
sekedar mendengar angin berhembus

kini ia tetap datang
dengan hembusannya yang sama
angin Agustus nyanyikan 'blues'
selagi bisa, selagi bersama
bukit itu masih terlihat tandus

Monday, August 1, 2011

melawan arus

tiada turut-patuh
diri tak tunduk

silahkan bersepakat akan segala yang memikat
diri tak sudi terikat
atau, ketika telah datang waktu untuk kau hujat
diri tiadakan balas melaknat

mengalir diarus sungaimu yang penuh limbah
seperti turut dalam sebuah pesta ketiadaan makna
- sedangkan diri harus mengerti, harus segera menyadari:
hakikat cinta dan kemanusiaan
ya, cinta dan kemanusiaan
dan bukankah cinta itu sendiri adalah hal yang manusiawi
cinta tak harus selalu ikut arus (mengalir katamu)
bahkan diri menyadari penuh:
cinta jadi tidak manusiawi ketika kita terasing dari kemanusiaan
"aku cinta diriku sebagai manusia,
dimana sedang kurasakan-akrab sebagai manusia
akupun cinta kalian sebagai manusia,
sepanjang kita rasakan-akrab mengenal manusia
aku cinta kepada Tuhan semesta alam
dimana diri sadar bahwa diri diciptakan tunduk-patuh kepadaNya"

bukankah tidak ada kemanusiaan dalam arus tempat kau mengalir?:
"hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup"
seputar itu saja yang kalian bingungkan

menyerah pada keterasingan
diri tiada sudi
lebih baik berbalik
meski harus selalu menggelepar diterjang arus liberal

Sunday, July 31, 2011

sajakku

akulah debu
sia-sia bertabur
atau hinggap dimatamu
bikin perih-gersang

tiada mudah juga beri maaf
sebab hina diri dinista
mereka, entah mengapa
pasti
sajakku bertabur aksara

pagiku - rindu hadirmu

pagi
masih seperti biasa
matahari membagi cahaya
asing warnanya

dingin

ada rindu mengalir dalam urat nadi
ketika engkau kuinginkan kembali menyapa
kau, yang entah dimana
seperti lirih berbisik dalam sunyi
kau ada dimana

entah
berapa pagi lagi akan kulalui
sekedar merindui

dingin
warna matahari semakin asing
ramah-ceria sapamu terngiang:
aku merindui kekasih orang

Saturday, July 30, 2011

Indonesiaku (dari permukaan cangkir)

ada aroma
tersaji dalam secangkir nikmat
mengisi bincang kedaulatan,
irama juang berkisah:

tinggi gunung menjulang indah
warna-warna bunga bertebar
diantara hijau rumput
dan riak-riak gelombang telaga,
sampan mengalir tenang

rimbun belantara seakan pusaka
inilah nusantara
samudera amanat Sang Pencipta

senyum ceria bocah-bocah disekolah
bersambut kibaran sang saka

kabut merayap lambat
-hening,
aku melihat Indonesia mengapung
di permukaan cangkir kopiku

ngobrol

belum separuh malam berjalan
ada tanya menyeruak dalam keheningan:
kenapa pula kita masih bertahan disini?
Seakan mencampuri perang
dimana tak ada siapapun peduli,
ah, kawan
hidup ini beriring dalam satu simponi
kita disini sebab ada yang kita cintai

*obrolan ini terjadi disebuah warung kopi, sekali lagi mencoba membuka garis batas antara mimpi dan yang nyata demi kepedulian anak-anak negeri, siapa yang peduli...

Friday, July 29, 2011

tiada kata

semalam saja tak kuingin

ada semacam kebisuan dihati
dan bintang gumintang bercadar mendung
pikiran tiada dapat terjemahkan rasa
serasa hampa
dingin
hanya semalam saja
cukup semalam
selanjutnya ingin kutemukan kata
kugoreskan dengan terbuka
meski harus bertintakan darah

sajak untuk esok

bukankah kita sedang tak mengerti:
satu persatu kita datang mengisi
dunia ini jadi tak sepi,
lalu kita tunggui
sangkakala berbunyi

(esok pagi, masihkah akan kita lalui?)

tentang kita

sia-sia kau pahami aku dengan kata-kata yang menghujat
disela kenangan ini masih lebat akan ilalang
senyummu tiada hilang, sayang
menjelma dalam sajakku

lalu kita hanya diam
memandangi arah yang sama:
dimana matahari selalu lelap terbenam

cakrawala jadi bertabur cahaya
sementara kabut mulai merambat turun jadi tirai
kita menelantarkan hati yang pernah kita miliki
tiada bersuara
sekedar berpasrah dalam do'a

Thursday, July 28, 2011

Sang sutradara

lelaki ini mengawasimu dari kesunyian
membaca setiap gerik tingkah dan bibirmu
seakan menanti suatu saat
suatu saat yang dikata 'kemenangan':

"hati ini seumpama pedang
siap hadang-melawan"

menyimak tiap-tiap adegan
perlahan-pelan
tenang
kau-mereka ada di depan
sedang kemenangan telah tergenggam

sang sutradara kembali ke permukaan
kesadaran-juang
harus selalu ada gerakan
sebab dengan diam
matipun datang menjelang

Tuesday, July 26, 2011

beberapa kata untukmu

kulayangkan beberapa patah kata
semoga mudah untuk kau pahami
baru sekali ini aku mampu sadari:
heningku mengusik khusukmu
kupikir pula, itu telah lama runtuh
~kau tak lagi khusuk berdo'a, bukan?

ini kata hanya barisan aksara
sekedar ungkapkan rasa
semoga mudah untuk kau pahami,
setahuku: kau tiada pernah peduli,
selalu saja menatapku yang penuh hina
tapi,
inilah aku
sebagaimana aku pernah datang dulu

tiada patut rasanya mengumpat pada mendung
dia datang bergumpal-gumpal dengan tenangnya
bagaimana dapat kau pahami mendung
dimana senantiasa kau berpayung
memahaminya yang diam-tenang
sementara kita menunggui dia menyiram
tiada ingin kering menggersang

beberapa patah kata
sekedar terjemahkan hati yang bersuara:
kepadamu kuharapkan segenap cinta
janganlah diri senantiasa kau hina

Friday, July 22, 2011

apalah

sekedar sajak cinta:
kukejar kau hingga batas luka
 

sajak seorang abdi kepada Tuhannya

Tuhanku,
ijinkanlah aku hamburkan aksara:
sekedar ungkapkan resah
atau untuk pertanyakan gundah
Tuhanku,
ijinkanlah aku mengurai makna dengan kata
sekedar mengumpat pada para penguasa

merokok

cukup dalam terhisap nikmat melekat asap pekat
bersandar kedaulatan yang tiada kan terjamah oleh siapa
lewat sebatang, angan menyala-nyala
sepi terusik sunyi

coba hisap lagi
~buruh turun kejalan, menentang
diujung tinggal abu
petani terganggu RUU

dari selembar daun kering
ada rasa
menggeliat
berontak
ini kretek serasa nikmat