orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya (Pramoedya Ananta Toer)

About Me

My photo
seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki

Anda pengunjung ke:

Sunday, March 28, 2010

Bila kau bertanya tentang senyumku

Bila kau bertanya tentang senyumku

ia bersembunyi didalam lubuk hati

Jangan menatap mataku yang beku

dengarlah dari tuturku

bacalah sajakku dengan sunyimu

bukan dengan resahmu

Bila kau bertanya tentang senyumku

ia bersembunyi di lubuk hati

mendekam sepi

tiada sanggup lagi untuk bernyanyi

Ada angan yang nikmat

diam dan keras terpendam

hingga berat untuk kutinggalkan

ada harapan yang kusut

membuat mataku selalu berkabut

kaku dan beku dalam tatapku

Bila masih saja kau tanya,

dalam hati senyumku terkubur

oleh: Y. R. Prasetyo

Tuesday, March 16, 2010

Yono, mencari apa?

Cerpen: Y.R. Prasetyo

Yono, sikecil alim yang berpeci, berlari lalu sembunyi di kolong ranjang. Bapak Usman ngamuk lantaran Yono, anaknya sudah seminggu tidak hadir disekolah. Yono jadi suka bolos bukan karena tidak ingin sekolah, tapi takut tidak dapat kerja, esok kalau sudah besar. Jadi ia harus pandai-pandai mengatur waktu, seminggu untuk sekolah dan seminggu untuk cari uang.

“Dasar anak nggak tahu di untung…pemalas sialan, keluar kau!” Bapak Usman bengis setelah mendengar kabar dari mulut Bu guru, lalu ia geram, mencak-mencak, tidak ketinggalan sumpah serapah “jancuk!” untuk Yono, anaknya.

Bag!...bug!...ceplak!

“Ampun pak! Ampun…” Yono kecil memohon kepada ayahnya, setelah tertangkap dan diseret dari kolong ranjang. Menangis? Itu sudah pasti. Segenap jiwa raga Yono kecil memelas, memohon “ampun, ampun pak… ampun!” lalu lirih, suaranya tersedak oleh tangis dan takut.

***

Yono, sikecil alim yang berpeci, pendiam, pemalu dan perenung jempolan. Yono kecil terlahi ditengah carut-marut ketidak pastian dan ketidak adilan. Tidak seperti Joshua yang terkenal dan beruntung dapat berjabat tangan dengan B.J. Habibie. Tapi otak Yono tidak kalah dengan otak seorang Habibie, ataupun mulut seorang Ira Koesno, penyiar cantik di Tipi. Oleh karena Yono, sikecil alim yang berpeci adalah perenung, pemikir dan harus menerima jalan hidupnya sendiri dan menjalaninya sendiri.

Seperti ketika ia ditanyai gurunya “apa cita-citamu Yono?” kontan, Yono menjawab apa adanya, yang penting dapat hidup makmur. Tidak usah pusing-pusing mikir cita-cita karena uang, harta dan kerja selalu membayang. Setiap kali ditanya soal cita-cita, Yono selalu mengarang tidak pasti, dari presiden sampai pilot yang terbang dengan gagah dan semua itu membuat Yono kecil berfikir, merenung dan mempertimbangkan.

Sepengetahuan Yono “presiden itu adalah orang kaya yang menjadi pemimpin Negara, sedangkan aku ini bukan orang kaya, mana bisa jadi presiden kalau nggak kaya dahulu” lalu jadilah Yono sebagai pekerja, mengoleksi rupiah sebagai bekal menjadi presiden.

Beban dan angan-angan Yono tidak hanya berhenti pada persoalan uang, kaya dan menjadi presiden. Tapi bagaimana untuk dapat segara bekerja dalam masa kanak-kanaknya. Begitu pula dengan kehadiran Sontol temannya yang memiliki mulut yang tidak kalah lincah dengan Dr. Boyke, dan selalu mengolok-olok Yono dari perjodohan Yono dengan Menik, hingga guyonan tujuhbelas tahun keatas, porno.

Entah, Yono selalu mendengar, diam saja dan malah senyum-senyum antara tidak mengerti dan pengen tahu ketika Sontol berkata “Yon, itu si Menik nyari kamu, katanya pengen dibikinin anak” jadinya, Yono yang empat eSDe ini harus dewasa sebelum waktunya.

Lain pengetahuan, lain pula kedewasaan Yono dalam menerima, seperti ketika ibunya bertanya “pingin jadi apa kalau kamu sudah besar Yon?”.

“Pengen jadi tukang becak” mantab, sebab Yono waktu itu melihat Pak Dar, tukang becak yang sedang menghitung uang hasil kerja seharian.

Dilain hari, tidak puas dengan jawaban anaknya, ibu si Yono bertanya lagi “pingin kerja apa Yon? Nanti, kalau sudah besar” waktu itu lewat Pak Mar, penjual bakso yang lelah sumringah, beristirahat sambil menghitung uang. Jadilah Yono menjawab “Tukang bakso”.

Masih juga belum puas, ibunda Yono yang mengharapkan anaknya berprofesi seperti almarhum kakek saat masih muda yang berpangkat kopral dan sukses menjadi ‘centeng’ seorang pemborong berkebangsaan Cina.

Dan waktu itu Yono sedang asyik nonton film ‘Dukun Kaya’ menjawab “jadi dukun Bu” sopan, kalem bikin jengkel sang ibu.

Sekali lagi, dengan rasa sesak yang membahana didalam dada, ibunda Yono kembali bertanya “cita-citamu itu lho apa? Yono…” membuat dunia terharu. Tapi Yono yang plin-plan jadi bingung.

Yono sikecil alim yang berpeci gemar menabung, rupiah sisa jajan dan hasil kerja masuk mengisi celengan ayam, dan sering pula puasa jajan. Kikir, pelit sama teman, juga pelit kepada dirinya sendiri. Hingga ia pun lupa dengan ambisinya untuk menjadi presiden, sebab ia asyik memburu rupiah. Gawatnya, Yono juga mulai tertarik untuk membeli mainan, mobil-mobilan canggih yang bisa jalan sendiri seperti di film kartun minggu pagi. Lebih gawat lagi, Bapak dan Ibu nya kadung sumringah mengetahui anaknya, Yono sikecil alim yang berpeci ingin jadi presiden.

Saking gawatnya situasi, Bapak Usman yang lagi semangat dan gencar-gencarnya membakar ambisi Yono untuk giat belajar dan menjadi presiden, harus rela kerja keras, banting tulang dan tidak lupa mendakwa anaknya sepulang kerja.

Yono, sikecil alim yang berpeci, jadi acuh, masa bodo ketika Bapak Usman berkata “sekolah yang rajin, Bapak mau lihat waktu kamu lulus kuliah nanti” karena Yono harus mengejar cita-citanya yang baru, mobil-mobilan canggih yang bisa jalan sendiri, seperti yang dimiliki Rohim anak tentara pangkat Mayor, tetangganya. Yono tidak lagi rajin hadir disekolah, sebab ia harus mengumpulkan uang dari hasil menyapu mikrolet diterminal. Tidak lupa belajar merokok.

Belajar merokok? Sambil sembunyi dirumah kosong disamping sekolah bersama Rohim yang mendadak jadi sohib, Yono belajar menghisap asap, mengenal berbagai macam bentuk dan merk rokok, dari yang mahal sampai yang paling kacangan. Dari sini Yono tidak lagi berangan-angantentang presiden ataupun mobil-mobilan oleh karena Rohim sombong “rokok ginian sih, ya setiap hari ada dikamar. Malah sekarang jarang ada, soalnya murah sih, rasanya nggak begitu istimewa, kacangan” pamer, sok dewasa kepada Yono “itu lho Yon, kamu coba yang merk letter M atau letter S dijamin deh, ngangkat” Rohim, sebenarnya tidak mengerti dengan kata-katanya sendiri. Soalnya niru omongan kakaknya, mahasiswa pemadat. Dan Yono, sikecil alim yang berpeci hanya mantuk-mantuk, skeptis, menjelajah dan mencoba-coba merk rokok. Kecanduan. Tidak ada secuilpun pikiran untuk rajin sekolah, seperti petuah Bapak Usman.

Sampai ketika Bu Guru Getty yang patriotis, sok pahlawan yang lulus kuliah dengan IPK tinggi karena pandai menjilat dosen, bertindak tanpa sempat berfikir. Karena mendapati Yono sikecil alim yang ketua kelas tidak pernah hadir di kelas dan teman-teman sekelas Yono mulai jengah lalu demonstrasi menuntut Yono segera mundur dari jabatannya.

Yono, sikecil alim yang berpeci dijemput Ibu Guru Getty, teman-teman kritis berteriak “Revolusi! Revolusi turunkan Yono” Bu guru jadi cemas. Bapak Usman cemberut, geram menanti dirumah, sedangkan Yono, sikecil alim yang berpeci diam terpekur karena tidak mengerti dan berteriak “Revolusi matamu! Nggak jadi ketua kelas, nggak pathe’en” dan diamlah seluruh teman kelas Yono mendapati Yono yang tiba-tiba menangis.

Dirumah, Bapak Usman yang telah mendapati kejujuran yang menyakitkan hati dari Bu Guru Getty, bukan lantaran Bu guru menolak cinta Bapak Usman, tapi tentang kelakuan anaknya yang konyol hingga membuat Ibunda Yono tiba-tiba terserang demam, dan Bapak Usman terus berpuisi “keparat sialan, f**k!” dirumah.

“Bagaimana bisa jadi presiden, lha wong disekolahan saja didemo sama teman-temannya, brengsek! Nggak mungkin bisa jadi presiden kalau nggak punya jiwa pemimpin seperti itu” celoteh Bapak Usman melampiaskan kekecewaan.

Setelah bertemu rekan-rekan sekelas, Yono jadi insaf dan pulang. Dirumah Bapak Usman menunggu dengan rotan panjang ditangan, sangar menanti didepan pintu. Sedangkan Yono jadi tidak berani pulang. Bapak Usman lari mengejar Yono yang lari, takut dan nangis, lalu menyelinap masuk ke dalam kolong ranjang. Disaksikan Ibunda dan adik Bayi, Yono nyungsep kedalam kolong ranjang.

***

Yono, sikecil alim lugu yang berpeci bersepeda di pagi hari, menghibur diri setelah dihajar kungfu Bapak Usman. Naik sepeda kayuh milik Bapak Usman yang pengrajin rotan yang sudah tenang pagi itu. Mengayuh, melamun, dan menyanyikan lagu ‘Creep’nya Radio Head. Disepanjang jalan, Yono melamun membawa keinsafan “sekolah yang rajin biar nggak dimarahi bapak dan bu guru, sekolah yang rajin biar nggak dibenci teman. Tapi, gimana caranya biar dapat uang yang banyak” begitu pikirnya, kembali pada ambisi memiliki uang, sedangkan ia bingung, ia harus rajin sekolah. Bagaimana caranya agar jadi kaya? Mencuri, takut sama guru ngaji, belum lagi sama polisi.

Menjelang sore, Yono belum pulang. Dirumah Ibunda menangis khawatir, Bapak Usman bingung mencari-cari Yono, anaknya. Bapak Usman menyesal karena mengajak Yono bermain Smack Down kemarin siang, dan ia terus mencari.

Malam menjelang, burung malam bernyanyi kelam menyambut kehadiran sang rembulan dan lautan bintang. Yono, sikecil alim yang berpeci ditemukan menangis karena tersesat dijalan. Ditemukan oleh bu guru kita yang berwibawa dan diantar pulang. Sesampainya dirumah, haru menunggu. Yono sikecil alim yang cengeng dipeluk oleh Ibunda. Bapak Usman mengundangi para tetangga untuk mengadakan selamatan bagi kepulangan Yono, anaknya, malam itu juga.

Jangan bertanya kepada Yono tentang kerja dan cita-cita, karena masa depannya telah diberi sket-sket kelas, tanyakan saja pada Bu guru, ingin dijadikan apa Yono kelak. Maukah masyarakat menyediakan bangku didalam kelas kepada Yono tanpa harus membedakannya dengan siswa yang lain karena masalah biaya? Atau bahkan memisahkannya dengan memberinya sekolah diluar sekolah-sekolah mentereng? Tanyakan saja.

Malang, 22 Juli 2002

Simponi rindu kotamu

(i)

Mendung di langit kotamu

angin datang dan bayangmu menghilang

terlihat murung kini

wajah kotamu

Tentu

tidak ada lagi tempat untuk berbagi kisah

semua tersimpan dalam bisu kesibukannya

akupun hanya sanggup untuk diam dan tegar

menanti hujan

karena udara terasa gersang tanpa sejuk senyummu

Sepertinya baru kemarin

aku mengikuti langkahmu yang ceria

mencoba untuk selalu dekat dengan hatimu

selalu mendengar suara hatimu

kemudian kita menari di antara semerbak mawar

meski kita tetap diam

hingga waktu menghempaskan aku

mencuri senyummu dari ceriaku

kini aku melangkah diam didalam lorong

tempat dulu kutemukan senyumu

Mendung di langit kotamu

semakin murung wajah kotamu

dengan kehadiranku yang resah

Aku masih berjalan

mencari setapak langkahmu

mencoba temukan cara

untuk mempersempit jarak

rinduku dan kehadiranmu

(ii)

Seperti yang kukenal dulu

dingin dan berkabut

Langit membentang biru

pertanda rindu masih berlabuh

Kota milikmu diam menyimpan kisah

tentang ceriamu

tentang tangismu

tentang sepimu

segala tentangmu di hatiku

yang pasti aku merindu


Oleh: Yoehan Rianto P.

Kota milikmu

(I) Malang

Udara mengalir hening dikotamu
diantara dinding – dinding diam yang menyimpan kisah
seperti bentangan siluet
yang menghadirkan bayang –bayang ceriamu
tersenyum anggun menabur kerinduan
kota milikmu semakin ramah oleh bayang senyum itu


(II)Batu

Duduk memandang hilir keramaian
menjelang malam dikota milikmu

Ada setangkup rindu tersaji diatas piring kenangan
walau sudah lama kau buang

Orang ramai datang dan pergi
seperti rangkaian cerita
ada remaja berseragam lupa dengan rumah
ada yang melenggang ringan
habis tebar uang
ada yang berdua mesra bercengkrama
serasa dunia milik berdua
yang laki mengalungkan syal pada leher perempuan
dijawab dengan sipu tanda malu

Menjelang malam
kota milikmu berselimut kabut


(III) Malang

Ada segaris awan di langit kotamu
tipis memudar putih di bentangan biru
seperti bentangan rindu hatiku

Udara mengalir lembut
dingin mengusap wajahku
bercampur sapa ramah matahari
hangat sudah rasa musim dikota milikmu
memeluk erat kuncup-kuncup bunga yang bermekaran
merah muda di pucuk-pucuk hijau dahan
anak-anak terlihat riang mengisi hari
bermain dan berkelahi
yang tua masih lincah menjaga semangat
dan aku diam dalam hidangan alam

Kota milikmu tidak lengkap
tanpa kehadiran senyum ramahmu

(IV)
Angin mengalir
sertakan rindu
yang dulu ku titipkan
mengapung bersama bayangmu

di luar hujan turun dengan malas
aku berteduh pada atap angan
dimana seharusnya mampu ku genggam
hangat cintamu

Malang,
meski berganti nama
rindu ku takkan hilang arah

oleh: Yoehan Rianto P

Monday, March 15, 2010

Kopi

(I)

Secangkir kopi nikmat kiriman malaikat


seperti seribu tahun yang lalu

ketika ia tanam sebutir bibit dari surga

sebagai hadiah nikmat untuk manusia

yang penuh rasa dan cinta


kini, kuseduh nikmat yang hangat

dan tak lupa ucap syukur kepada Yang Maha Esa


pekatnya tak menghalangiku untuk mereguk

dan benarlah kata orang

secangkir kopi nikmat kiriman malaikat

mengajak untuk selalu mengingat

akan rasa dan cinta


mungkin untuk itulah malaikat

menanam sebutir bibit di tanah Ethiopia

selalu ingatlah akan cinta

bukan angkara


(II)

hadir di tepi malam

beralas tikar dalam temaram lentera

bersama sahabat

seabad segelas kopi


duduk disini

serasa sedang menjelajah

menerabas batas ruang dan waktu

kembali ke masa lalu

keluar dari batas wilayah kedaulatan

negriku


hingga kembali jatuh berkeluh kesah

akan lelah hati yang mengembara

dalam sejarah


disini nyata kutemukan

bingkai-bingkai nada dalam do’a

nyata kulihat

wajah-wajah pekerja menggurat tegas

datang melepas lelah

nyata kudengar

suara-suara penyapa malam

membahana dalam dahaga dan gelisah

tidak sedang bersama sastrawan dan wartawan

dalam tradisi Naguib

bukan pula sedang bercengkrama

dengan cendekiawan

melontarkan teori-teori filsafat

dan rumitnya politik

disini, bukanlah Kiva Han

Konstantinopel pada 1475

dengan segala gebalaunya


bukan pula di kafe-kafe pelataran kotamu

dengan segala kemilaunya


disini bersama petani dan anak-anak mimpi

bertukar kisah yang kian resah

inilah gubug warung kaki bukit

tempat kutemukan sahabat

seabad segelas kopi


(III)

panjang sejarah melarut

dalam hirup nikmat yang terkecap

ada rasa ada cinta

karena inilah seseorang menjadi manusia

oleh rasa, bangsa ingin berubah

dan berani menantang maut demi cinta


bagaimana gempita perlawanan

berawal dari secangkir nikmat?

tentu, hangatnya mengajak untuk selalu ingat:

hanyalah rasa dan cinta

yang menggugah kesadaran

manusia


dari tanah Mesir hingga warung pesisir

tempat pengembara menuliskan syair


(IV)

hanyalah karena rasa

yang dibiarkan mengendap

tertuang bahagia mengusir resah


inilah cinta


mengendap dalam hangat dan semerbak rindu

biarkanlah rasa mengalir tanpa ragu

karena nikmatnya hanyalah untukmu


(V)

berada disebuah meja

sudut malam kotamu


cangkir putih cantik

menyendiri suguhkan harum

didepan ada sepasang muda

berdua menjalin cinta

saling bertukar senyum dan manja

ada dua kuntum mawar

merekah merah

kedua-duanya tautkan kisah

akan rasa

yang pernah tumbuh

oleh asmara


ada dua lilin

dua – duanya diam membisu

berpijar tenang

menyerah pada alam

angin melintas bisu

aku hanyut dalam rindu


(VI)

kembali langkahku harus terhenti

bukan letih atau dahaga yang menyiksa

tapi aroma yang menggoda

kedai – kedai tempat bersinggah

selalu tawarkan nikmat pengusir resah


ada selembar menu yang harus dibaca

sajian dari seluruh belahan dunia

aku bak seorang raja

menerima upeti panen kopi

dari negeri – negeri terjajah

ramuan nikmat dari beragam bangsa:

Arabica, robusta, canephora, liberica

dan astaga!

Ini harga memang pantas untuk raja

bukan untuk pengembara


(VII)

hajo

kamoe melajoe

tak poenja kata temoe saat koe djamoe

lihatlah ramoe nikmat poenja bangsa jang sekarat


dalam gelas katja mengendap gelap

ah, terasa nikmat

apakah kaoe poenja?

Sebab kami tiada berpoenja

ini rasa poenja negara

kami hanja sanggoep oetjap merdeka


meramoe nikmat hanja oentoek bersahabat

djadi djangan engkaoe embat


(VIII)

qishr, kini sebut saja kisher

ramuan sahabat dari jazirah Arab

dirampas dari tangan – tangan bangsawan

tunjukkan rakyat berani melawan

tentu saja

orang mana yang ingin ditindas

hidup dengan hak yang terampas


ini kopi bikin mabuk

setengah ngantuk aku tulis sajak

ah, ternyata

ramuan ini memang pengganti anggur

dalam perjamuan di Palestina

tanah yang belum juga merdeka

ada perjuangan dalam aromanya

ada prinsip yang harus selalu dibela

inilah rasa dan cinta

hanya untuk manusia


(IX)

bersama kawan berbincang

pada sebuah gubug tepi jalan

menyambut malam sehabis hujan

hati berlayar jauh kedalam sebuah cangkir

bagai lembaran samudra yang menghitam

oleh kisah yang beragam


ada nada yang terdengar didalamnya

menyayat kelam tapi tenang

hampir tiada mampu untuk dimengerti

syair – syair yang bercerita tentang kepedihan

temukan nada tenang dalam sebuah cangkir

mendengar Eric Clapton, Gary Moore dan Jimmy Hendrix

seperti sedang berkeluh akan pahitnya hidup

sore pada gubug tepi jalan

blues mengalir bersama nikmat yang terhirup


(X)

kupikir: sungguh aneh perjamuan disini

secangkir kopi pahit tersaji hangat

lengkap dengan sepotong gula merah

orang – orang sibuk dalam cerita dan canda

tangan – tangannya memelintir tembakau

adapula yang pingin hanya ampas

buat melukis pada sebatang rokok


ternyata beginilah awalnya

awal yang baru kukenal

perjamuan awal secangkir kopi

bersama para petani

kuhirup pahit hitamnya hidup

lalu kugigit sedikit gula merah

seperti mengunyah manis hatimu


Oleh: Yoehan Rianto P.