orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya (Pramoedya Ananta Toer)

About Me

My photo
seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki

Anda pengunjung ke:

Thursday, November 21, 2013

sajian senja kala

mendung jenuh
nggantung disana

nunggu waktu
air menderas
lalu terserap tanah
sebelum mengalir
dalam cangkir-cangkir

jadi sajian senja kala
para pemetik kata

Wednesday, November 20, 2013

Aku Kini

aku
bukan lagi pemuda
yang dulu kau tinggalkan

tiada ingin berlama-lama
dalam pembuangan

aku
sudah lama terbang
seperti elang
lebih bahagia dalam juang

Saturday, November 9, 2013

Mengenang (atawa merindu) Indonesia

ada selembar pesan
lalu tegur-sapa dalam tulisan

coba sulam dan rapikan
hingga bentuk senyum yang kurindukan

sekedar manifestasi imajinasi
~senyum itu, serupa Indonesia
negeri makmur, elok nan ku cinta
bangsa besar yang ramah dalam cita-cita
atau hanya "stop" jadi angan semata

Indonesia
coba kau sulam dan rapikan
hingga tak lagi terdengar
ratap-tangis penderitaan

Monday, September 30, 2013

rencana untuk suatu malam

aku tadi nyari:
selembar kesempatan
yang (masih) kosong belum terisi
dan malam ini
arah bidik berganti

Tuesday, August 27, 2013

orang lilin

kalian tadi lihat ngga'?
Orang-orang seperti lilin
berbicara sebagai penerang
menyingkap segala yang gelap
tapi
dia sendiri yang habis

bicaranya tidak juga bikin terang hatinya

Friday, August 2, 2013

"Waspa Kumembeng Jroning Kalbu"

dalam masa aku terlahir

membawa biru dan merah anggur

sedangkan burung manyar membuat sarang pada reranting pohon yang rendah
ada pula yang bermesraan diantara tangkai-tangkai daun jagung,
angin berhembus ke tenggara, menuju musim berlabuh:
air mata tergenang dalam batin

Thursday, August 1, 2013

sebuah cita: tanah air-bangsaku

Pagi ini
aku nonton guguran cahaya
butir-butir embun jadi berkedipan
lalu hangat perlahan terbit

ada sepasang warna berkibaran
di halaman depan masjid
di halaman depan gereja
di depan wihara
di sebuah klenteng
di dalam pagar pura,
sepasang warna
untukmu jua:

ketika anak-anak beriring jalan
sembari bergandengan tangan
dan pedagang datang ramaikan pasar

ada keramahan disetiap tegur sapa

kalian tau? 
Inilah Indonesiaku, 
Indonesia dalam cita-citaku

Friday, July 26, 2013

sakit

"aku sangat kesakitan ketika kau ada dimana?"

Sajak Bolos Kerja

Mungkin, hanya mungkin
akan lebih baik mengambil satu hari
untuk bermalas-malasan
daripada terlihat sebagai orang kurang kerjaan
yang serius diantara ketidak seriusan

mungkin akan lebih baik
dicap sebagai "musuh" oleh gerombolan pengkhianat
daripada turut berbaur dalam keriangan mesum
yang penuh kepalsuan,
lebih baik menyendiri dalam meditasi tiada henti
daripada bertarung bahkan bercengkrama
dengan makhluk-makhluk hedon yang saling menikam

lebih baik dianggap sebagai pemalas
daripada menanamkam mentalitas maling
daripada sejajar dengan para bandit peradaban

lebih baik
aku lantunkan do'a dalam kesepian
daripada hadir berjamaah dengan para pesolek:
yang merubah suci-keluhuran dalam kata-kata
tanpa makna

rindang kesepian,
aku tidak sendirian
sekedar saksikan
riuh riang keterasingan

Saturday, July 20, 2013

terhasut sepi

malam ini
dingin-kaku

menyadari satu kenyataan
akan keterasingan

dari sudut paling pesimis
aku menatap Indonesia,
aku dan bangsaku,
juga masa depan:
hari-hariku
~seumpama semakin sepi
dingin dan terasing

pada ketiadaan makna
aku berkata:

"kemenangan bukan lagi milik yang benar,
sebab keadilan dicipta dari kekuasaan"

Monday, July 15, 2013

Secarik rindu

mungkin rindu ini
yang bikin aku lari
mendekatimu
-------------------------------------------------------------------
duduk berseberangan dengan kesibukan
lalu diam-mengamati bintang

ada hitam dan awan
ada kelelawar
ada rembulan
dan kamu

ini malam
gelap-dingin
diiring doa-doa lepas terurai

betapa bebas,
bebas merindui hadirmu

Hadiah untuk tuan: sajak-sajak nantang

7 Juli 2013

tuan

kemari ku kasih hadiah
bayar dendam seribu luka



8 Juli 2013

hanya saja
tuan muda kita
berwatak kerdil

semacam tikus

berkoar dipersembunyian

mari tuan
aku sedang maju menantang



9 Juli 2013

tuan kita
tidak juga mampir nanggapi tantangan

masih
sembunyi-kecut seperti cecurut
ah, kau pengecut



12 Juli 2013

saya lagi nunggu
saat yang paling berbahagia

ketika tuan angkat senjata
saat yang pas
buat jumpa
dalam diplomasi berdarah-darah

Sunday, July 7, 2013

hadiah

tuan

kemari ku kasih hadiah
bayar dendam seribu luka

Sajak dalam (suatu) diskusi sejarah

hitam selembar
digulung-dilipat

yang sadar beranjak pulang
tak betah terus dipasung mimpi,
sejarah
tinggal selembar sajalah
warna hitam
tertuang lebih dalam
lebih tenang-lebih kelam








menapak dalam sadar
serumpun tanya menggelepar
semoga anda benar

Saturday, June 29, 2013

sepi

Firasat yang tidak menyenangkan...

Kematian adalah hal yang pasti, menjadi kesadaran dan pamungkas dari segala perjalanan, tidak dapat ditawar.

Hidup boleh punya pilihan, boleh punya warna-warninya, tapi muaranya satu: kematian.

Boleh saja kehadirannya dirindu bahkan ditakuti. Bukan kematian yang kutakuti, bukan pula kematian yang ku rindui. Kita dan kebenaran berbatas kematian.

Mungkin lain kali aku ada dalam pengasingan, dipisah dari segala bentuk intervensi manusia sebelum datang ajalku. Mungkin itulah puncak dari kesepian, sebelum sepi yang sama kembali memelukku dalam kubur.
Tambah sepi ketika neraka membelenggu.

Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah.
Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah.

Friday, June 28, 2013

Kegelisahan dan kebingungan

Orang bilang hidup adalah pilihan, setiap pilihan adalah permainan, orang sering bicara betapa mengerikan neraka sekaligus betapa nyaman kehidupan di surga, tapi saya seringnya berpikir "apa gunanya hidup di surga jika penuh dengan kebencian, intrik dan hujatan? Jika hidup di neraka ada kenyamanan dan ketentraman?"

Tidak ada alasan yang dapat dijelaskan untuk pikiran ini selain kenyataan yang kita jumpai, kenyataan yang selalu sibuk dengan hujat-menghujat, kenyataan tentang bagaimana kita diperlakukan, entah sebagai apa?. Jika hidup adalah suatu pementasan drama, maka tinggal pilih jadi antagonis, protagonis atau sekedar jadi figuran, yang pasti tidak pernah untuk menjadi penonton.

Bagaimanapun perlakuan masih dapat diterima sepanjang tidak menghadapi mentalitas kerdil, itu prinsipnya. Sebagaimana filosofi jawa yang berkata "Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake"~Kekayaan diri bukan (hanya) dari harta, kekuatan memang sudahlah ada yaitu kesadaran dan kesabaran, menjalani perang walau sendirian, ketika menang tidak merendahkan yang dikalahkan.


Senantiasa mempersiapkan diri untuk tetap menjadi revolusioner, selalu bersiap untuk perubahan sebab hidup tidaklah stagnan, tiap kali harus hijrah.
_______________ _________________ __________________ ________________
Inilah yang tersembunyi dalam hati, diorama kehidupan yang tidak pernah saya mengerti dalam upaya saya berdamai dengan keadaan selalu saja bersambut dengan hujat-caci dan kebencian. Bukan karena tidak memiliki catatan harian saya menulis ini dalam blogger, tapi kebingungan tindakan-tindakan yang selalu merendahkan yang hampir-hampir tidak pernah saya lawan~sebab ada kesadaran bahwa tidak terdapat sama sekali bagi saya suatu hak untuk membela diri, dan sadar pula bahwa kesepian adalah derita hingga mati.

kuasa... kuasa... kuasa apalagi? Apalagi yang hendak mereka kuasai? Tiada sedikitpun keinginan saya untuk mengganggu-berseteru (senantiasa pergi-lari menghindar) sedang diri selalu bersiap hijrah, bersiap menghadapi perubahan... yang mematikan sekalipun...

Tuesday, June 25, 2013

dari bilik pelarian

sedetik berlalu
sepintas main kejaran dengan rindu

aku menatapmu:

tanpa wudlu terbasuh
~kau layu,
entah bisik apa merayu

lalu runtuh
tetes demi tetes air
dari mendung yang jenuh

entah kapan
letih datang menerkam lariku

Friday, June 21, 2013

Dari musikalisasi puisi dan operet (bedah seni pertunjukkan lewat pengalaman Karter-Kartika Teater)

Saya masih bingung, sejak anak-anak Karter (Kartika Teater) berpartisipasi dalam suatu festival di Lawang, dalam festival itu terdapat dua kategori lomba, disebutkan disana "MUSIKALISASI PUISI", bukan teatrikalisasi puisi dan "OPERET" bukan drama musikal. Saya nulis ini bukan dalam rangka mengungkapkan kekecewaan atau protes dan semacamnya, kekalahan/kegagalan bagi saya adalah tidak ada, dan lewat sudut pandang saya anak-anak Karter sudah menang dari awal~perjuangan terhebat mereka adalah membentuk jati diri dan kebersamaan ditengah tekanan yang kerap mereka hadapi. Mereka menang.

Yang saya bingungkan sampai saat ini adalah pemilahan antara muskalisasi puisi dan teatrikal puisi, tanggal 19 Juni kemarin Mega Fadila dan Setya Hanif mewakili teman-temannya dari Karter (Kartika Teater) pada ajang musikalisasi puisi, dan dari paparan juri penilaiannya seputar koreografi dan konsep berkelompok dari peserta, dari hal inilah muncul kebingungan dalam diri saya. Musikalisasi puisi, musik-puisi yaitu penambahan nada pada penyajian-pembacaan puisi, bisa jadi adalah puisi yang diiringi musik atau bahkan puisi yang digubah dalam lagu. Jadi dari puisi yang dibacakan menimbulkan citra, ritme dan daya simbolik.

Sedang teatrikal puisi menurut saya lain lagi, lebih luas, bisa jadi unsur musik adalah bagian didalamnya lengkap dengan unsur gerak (koreografi)~dan kalaupun perlu ada terdapat pertimbangan pemilihan kostum, properti dan permainan cahaya. Teatrikal puisi pun akan menjadi sangat "greget" jika disajikan secara berkelompok, tidak sama seperti penyajian musikalisasi puisi yang dapat disajikan hingga sesederhana mungkin, seorang diripun bisa, bahkan tanpa alat musik sebagai pengiring. Saya bingung yang dilombakan kemarin itu musikalisasi puisi atau teatrikal puisi? Atau kita memang belum memiliki definisi untuk menjelaskan atau sekedar membedakan keduanya?

Dari om wiki saya dapati penjelasan musikalisasi puisi adalah puisi yang disajikan secara musikal, dibedakan dengan lagu puisi yang berarti melagukan puisi seperti ketika Bimbo menyanyikan puisi-puisi karya Taufik Ismail.

Sebenarnya musikalisasi puisi bukan barang baru di dunia seni, tidak perlu memperdebatkan bentuk penyajiannya: apakah suatu totalitas antara puisi dan nada atau sekedar pembacaan puisi yang diiringi musik, sebab gaya orang tentu berbeda dalam menyajikan puisi-musikalisasi puisi.

Toh, dari kalangan sastrawan sendiri masih terjadi perdebatan tentang hal ini, ada yang menganggap bahwa istilah "musikalisasi puisi" adalah rancu bahkan mengada-ada dengan alasan bahwa dalam puisi sendiri telah terdapat ritme, dan memang pada dasarnya tidak semua puisi bisa digubah dalam musik-tergantung amanat penulisnya.

Berlanjut dengan operet, istilah dari cabang drama yang sering terdengar di kampung-kampung dan sekolah-sekolah, tidak ada alasan yang dapat saya jelaskan tentang kenapa kelompok Karter (Kartika Teater) ini sering menampilkan "operet" daripada yang lain, hanyalah lantaran keterbatasan fasilitas. Tidak mungkin bagi Karter untuk mementaskan suatu naskah, agenda di sekolah seringnya adalah panggung terbuka yang sudah pasti adalah hiruk-pikuk penonton, sedang dalam pertunjukkan teater tentunya keheningan penonton menjadi suatu harapan.

Operet adalah pertunjukkan drama musikal yang cukup nyleneh dan sederhana, tidak menampilkan musik dan dialog secara live tapi menggunakan "lipsing" tekanannya pada gestur dan mimik. Mungkin ini juga merupakan penjelasan dari saya kepada seorang rekan yang sok "nyeni", memang tidak ada alasan apapun yang dapat digunakan sebagai penjelasan kenapa Karter (Kartika Teater) seringnya "menggarap" operet ketimbang naskah drama, selain menyikapi kesederhanaan yang ada.

Jadi penyajian operet ataupun bentuk drama yang lain pada dasarnya memiliki sudut pandang penilaian yang sama, yaitu bagaimana para aktor dan aktris mampu menyampaikan pesan dengan baik dan dapat diterima oleh penonton. Tulisan ini bukan bermaksud untuk protes dan meluapkan kekecewaan atau bahkan menjatuhkan pihak lain, saya pribadi tidak menargetkan kemenangan dalam festival operet di Lawang, pun membuka diri atas segala perlakuan dari pihak manapun (terkhusus bagi rekan-rekan yang sudah keseringan merendahkan Karter dan anggota-anggotanya, tidak ada kaitannya dengan festival operet di Lawang). Saya hanya memperkenalkan sebentuk perjuangan kepada anak-anak Karter (Kartika Teater) untuk selalu bersiap dengan masa depan. Salam merdeka.

Tuesday, June 11, 2013

mimpi

yang kepadamu-untukmu sendiri:

setangkai mimpi,
baru beli dipasar loak,
pasar loak, pilihannya lebih banyak

dan
ternyata
kita harus membeli mimpi
milik orang lain

Friday, April 12, 2013

Menunggu

tidak lagi...
tidak lagi aku mengalir dalam hati berlimbah
atau sekedar berenang-renang didalamnya

pagi yang sama
dibawah langit yang sama
kita dipeluk oleh dingin yang sama
tapi, antara kita adalah dinding, dingin
angkuh dan samar
kita memudar

cibir-maki senantiasa menyertai
kehadiranku lewat telingamu,
~jadi polusi
mengendap dihatimu
biarlah seperti itu
aku hanya sedang menunggu
ajal datang merayu

Wednesday, March 6, 2013

Yang pernah ada

sekali saja
jumpa lewat canda
mengisi waktu dengan keceriaan

panggung
adalah tempatmu-aksimu

aku
cukuplah menghampar pandang
sekedar mendapati arti senyum-tawa
dalam tingkah kekanak-kanakan
sembari kuseduh semangat untuk esok,
esok, ketika kau dan aku kembali bertemu
dalam drama yang berbeda

aku
akan tetap bertahan
pada sisi yang sama,
sama, sebagaimana pernah kau temukan
hingga kembali ku rindukan:
nyanyimu-tawamu

perjumpaan yang lalu
adalah kemenangan, entah kapan terulang

kami tidak akan menyerah
kami, yang pernah ada
bukan mengada-ada

(sajak didedikasikan kepada kelompok teater "Karter" dan para alumninya)

Dari mata dan telingaku

Ada sebaris kata berkejaran bersama awan
tantang tanya juga kecewa setelah heran
ada angin-sehelai, menerbangkannya
kadang semilir kadang datang dengan gusar
ada langkah mengalir dibawah terik matahari
dan senyum melambai-lambai
ada wajah yang dipalsukan lewat resah
dan ketika segala senyap datang
ketika hingar hilang, maka bersukalah
wajah palsu resah hilang
berganti senda-tawa
tersembunyi dari berpasang-pasang mata

ada canda
tak perlu berbagi, aku punya milikku sendiri
kunikmati tanpa sembunyi
dengan diriku sendiri
milikmu, candamu untukmu saja
nikmati dalam waktumu yang palsu

ada kata
berbaris-baris diangkasa
dari mata dan telinga yang tidak lagi resah

Thursday, February 14, 2013

Hanyalah salam cinta

(I)

Mungkin hanya sekedar kesempatan
tidak lagi menyapamu dari kejauhan

kini aku lebih suka mengembara
jauh, dan lebih tinggi
sekedar memandangimu

kadang tergesa kau melangkah
atau diam-menanti entah siapa

jarang kutemui senyummu terlepas untukku
tapi, senang juga melihatmu bahagia
tanpa harus aku campuri
meski bukan caraku untuk menyayangi,
biar,
aku temani kau dari sini

kepada yang paling jauh:
ku dekatkan hatiku


(II)

jika rindu adalah jarak terdekat untuk menemuimu
maka akan aku tempuh
jika cinta bukan untukku, biarlah mata kupejam
sungguh tak berani kutanggung cemburu


(III)

ada canda
tadi,
sementara angin bisikan namamu
jadinya ingat senyummu
yang kini jadi barang langka

aku berlalu
pergi setelah mendapati kerlingmu
tentu, dari jauh,
takut mengganggu
dan kibaran bendera menghiburku
padanya kutitipkan salam:
cinta merdeka
untukmu
selalu


(IV)
sajak ini hanyalah salam cinta
mungkin tidak akan pernah terbaca
pun tak berharap lebih
hanya sekedar pamungkas
meski hidup tidak akan pernah tuntas

Friday, February 8, 2013

Ketemu batas

mungkin nanti
atau kini

wedang jahe terhidang pada batas
antara aku, kau dan bendera itu
juga batas mengenai kesombongan
atau ketidak tahuan
bahkan ketidak mau tahuan
: menurutku itu batas
antara kemanusiaan dan kesetanan

Monday, February 4, 2013

suatu malam di stasiun

a... pakah ini...

aku sedang melihat bangunan idealisme yang runtuh
orang berjalan sama-sama tanpa impian, tanpa gagasan
bibir mereka bergerak-gerak hendak berucap
tapi hatinya diam-pikirnya hanya satu jalan

aku mendapati hidup yang hanya dua warna
hitam-putihnya pun tak dipertegas

aku terhenti pada rel paradoks
mendapati gerbong-gerbong kemanusiaan menyimpan kebengisan
dan orang-orang berdiri mengantri
ada yang masuk juga ada yang keluar
entah, masing-masing membawa tujuan
hanya aku yang terpekur
dengan punggung yang tersandar pada tiang lampu jalan

Tuesday, January 29, 2013

lihatkah (matamu) bocah-bocah malam itu?!

malam
gelapnya mengalir tepat lewat di pertigaan depan masjid,
ada sejarah disana, ditanam bersama pilar-pilarnya
sejarah, saksi dari duka-cita dimana darah tertumpah

setingkah bocah-bocah malam menghimpun receh
pesawat tempur meraung-raung diangkasa
dan benderaku gemulai ditiangnya

bocah-bocah malam
seharusnya mereka merdeka
mengisi ruang-ruang yang pantas bagi bangsa yang berdaulat
~kalau enggan untuk menempatkannya dalam lingkungan yang terhormat,
sebagaimana pernah aku dengar:
bangsa ini adalah bangsa yang berketuhanan
bangsa yang berperikemanusiaan
dan mencita-citakan keadilan sosial bagi se...
se... se siapa-siapa?

selembar surat kabar basah
jadi tempat duduk sementara
agar celana seragam tidak kotor oleh lumpur bekas hujan
besok dikenakan lagi buat sekolah
surat kabar harian bernilai apa dibandingkan dengan seragam sekolah
surat kabar hanya berisi pemberitahuan
bahwa para bangsawan negeri ini sedang asyik berpesta
bahwa para bangsawan menikmati benar hasil jarahan
bahwa negara merdeka sedang diserahkan nasibnya
untuk kembali dijajah-dijarah-diperkosa, astaga

tepat lewat di pertigaan depan masjid
malam tetap akrab dengan gelap
tetap setia dengan warnanya: hitam
sehitam kopi yang tersaji diatas meja warung
sehitam hari-hari bocah malam


[Didedikasikan kepada borjuasi anak negeri yang tak mampu berbagi, yang tak mampu mengusahakan perbaikan sesama. Malang, pertigaan Jl. Letjen S Parman, depan Masjid Jamik Blimbing]

Friday, January 25, 2013

mengenai senyummu, hilangnya kemana?

saya
sudah cukup lelah dengan semua ini
semoga dapat kita jumpai suatu hari
dimana bahagia senantiasa kita bagi
...................................................................................................
menyusuri separuh protokol
berharap cahaya menyambut langkah yang lelah

ada do'a mengapung bersama mendung

disaat seperti ini
menghadirkan bayangmu adalah kenikmatan
-aroma kopi jadi mirip kesturi,
jadi tambah romantis
disapa gerimis
padahal tambah hari tambah tragis

do'a tetap mengapung
bergema dilangit nusantara:
semoga, semoga-semoga
entah milik siapa
sedang aku
hanya punya sepasang sepatu berdebu
juga bayang senyummu

entah esok
esok hanyalah milik sang pemenang
hanya sang pemenang, untuk sang pemenang
hidup jadi lebih mirip perang
sekedar perang
untuk memunculkan pemenang
selebihnya adalah perbudakan

dalam perang
yang bertarung laki-laki
yang mati nanti juga laki-laki
kelak, sama-sama masuk neraka

senyummu jadi mesiu
atau tempat sandar yang hilang
sedetik aku mati karenanya
seberapa lama kutunggui kehadirannya?

aku melangkah
tak sanggup balik arah

Saturday, January 12, 2013

Suara-suara

Cahaya perlahan nyala
berawal dari merah, mengusir hitamnya gelap, diikuti yang lain, perlahan nyala
disana ada perempuan, tenang berdendang
lalu seorang lelaki, duduk terpekur, mata belum terpejam

sesaat diam, hening
lalu...

Lelaki    : Bagaimana hendak memulainya?
            Membuka peluang bagi suara-suara, agar gelap tak diam, agar hitam tak lagi jadi milik sang suram?

            (beranjak pelan, menghampar pandangan sebelum ia tumpahkan seluruhnya pada wanita)
            Kau jangan hanya diam, sebab harus ada peluang bagi suara-suara
            betapa keheningan menjelma lewat bait-bait yang tak terjamah
            (terus saja memandang wanita tenang)
            berkatalah, jangan hanya diam
            harus ada peluang bagi suara-suara, sedang gelap telah lumpuh oleh cahaya
            (jengah, tangannya berputar-putar mengisyaratkan keruwetan)

            harus berapa lama lagi untuk tetap diam mengorbankan waktu tanpa suara?
      
Perempuan : waktu hanya korban
             bukan pelaku
             sungguh, suara-suara itulah yang membunuh

Lelaki   : (tertawa sinis)
             dikirannya bicara apa? Ternyata ungkapan mabuk yang menuduh suara-suara sebagai pelaku
             bukankah sebaliknya?! Suara-suaralah yang bikin waktu jadi hidup?!

Perempuan: caci dan puji adalah suara, terbunuhlah sang waktu karenanya
              lalu, akan kemana lagi suara-suara kau tempatkan ketika waktu telah penuh dengan cacian dan
              pujian?

Lelaki   : ah, memang kau lebih menikmati diammu daripada menghidupkan waktu untuk suara-suara

Perempuan: kau penuh dengan prasangka, suara apa yang dapat hadir lewat prasangka jika sekedar cacian
              atau pujian?

Lelaki   : baiklah, baiklah
               diamlah kini, hanya lewat prasangka suara-suara muncul dalam perdebatan

Perempuan: dan waktu terbunuh

Lelaki     : iya, dan diamlah kini
                biarlah kini aku yang bersuara
                aku mau ceramah
                menghidupkan waktu dengan suara-suara
                agar gelap tak selalu dihuni resah

                biar aku isi kekosongan ini dengan orasi
                menghujat dengan pasti
                atau sekedar beri inspirasi
                agar hidup tak selalu sepi

                (bergegas, merapikan diri dan berdiri menantang kegelapan)
                kinilah
                saat seperti inilah
                ingin sekali kuperdengarkan suaraku
                agar gelap tak selalu penuh dengan kengerian
                dan suaraku
                mendobrak kebisuan yang kaku

                berkibarlah panji-panji kemenangan
                mengiring semangat yang berkobar-kobar
               
                aku tak ingin diam
                harus ada suara dalam gelap dan terang
               
Perempuan: lalu kau tikamkan kepada sang waktu
                  sungguh, suaramu jadi belati yang mencabik-cabik waktu yang sunyi
                  hingga batas, dimana akan kau cari lagi kedamaian-ketentraman tanpa suara-suara

                 bukankah telah pantas untuk diam?
                 Menghidupkan waktu dengan renungan-renungan
                 dan hidup tak selalu hina oleh cacian dan pujian

Lelaki       : (jengah, menghela nafas membuang kejengkelan)
                  berpihaklah kepadaku, sekali saja
                  agar aku mampu merangkai kata untuk suaraku
                  itupun untuk kau
     
Perempuan: selalu, aku selalu berada dipihakmu
                   setiap waktu aku selalu ada dipihakmu
                   meski suara-suara selalu membunuh sang waktu

Lelaki       : tapi kau selalu menentangku

Perempuan: haruskah aku tak menentang
                   sedang suara-suara membunuh sang waktu
                   dan kau penuh dengan prasangka?!

Lelaki       : prasangkaku itu untuk kebaikanmu, juga untuk waktu agar tak selalu terbunuh

Perempuan: lalu, bagaimana dengan segala caci-maki yang kau hujamkan?
                   Sekedar mengusir keheningan?
                   Bagaimana dengan pujian-pujian? Sekedar titipkan kalimat rayu?
                  
                   Baiknya kini diam, sebab suara-suara mengganggu kekhusyukkan
                   waktu, ia datang untukku, juga untukmu jadi tidak perlu kau ganggu dengan suara-suara
                   sungguh, itu bukan suatu yang perlu

Lelaki        : kaulah yang diam, dan biarkan aku bersuara

Perempuan: lalu kau kembali lagi ditempat segala bermula, mencari kedamaian dalam keheningan
                   sedang sang waktu telah kau bunuh dengan suara-suara
                  
                   bagiku,
                   biarkan waktu datang dengan diam
                   dan do'a, segala do'a meruang penuh dalam jiwa

Lelaki        : baiklah,
                   baiknya kini kita diam, biarkan waktu datang lewat keheningan

Wanita berdendang tenang, lelaki mencari-cari, cahaya redup perlahan hingga gelap dan tenang

Lelaki        : (dalam gelap)
                    harus ada peluang... kau bersuaralah!

Tuesday, January 8, 2013

Yang tersisa dibawah mendung

ada dendam mengendap
dibawah mendung yang mengapung

seperti biasa
jalanan tidak pernah ramah
kaupun,
sia-sia rasanya
membuka segenap kesempatan
yang tak pernah sekalipun kau lewati,
percuma

tidak perlu lagi menanti
permohonan maaf dan penjelasan yang tegas

biar,
sebab hidup tak pernah dipertanggung jawabkan
maka harap jumpa pada pengadilan akhir
dimana masing-masing dapat saling mendengar
deru tangis penyesalan

kita lanjutkan saja
keterasingan dan kesia-siaan