Cahaya perlahan nyala
berawal dari merah, mengusir hitamnya gelap, diikuti yang lain, perlahan nyala
disana ada perempuan, tenang berdendang
lalu seorang lelaki, duduk terpekur, mata belum terpejam
sesaat diam, hening
lalu...
Lelaki : Bagaimana hendak memulainya?
Membuka peluang bagi suara-suara, agar gelap tak diam, agar hitam tak lagi jadi milik sang suram?
(beranjak pelan, menghampar pandangan sebelum ia tumpahkan seluruhnya pada wanita)
Kau jangan hanya diam, sebab harus ada peluang bagi suara-suara
betapa keheningan menjelma lewat bait-bait yang tak terjamah
(terus saja memandang wanita tenang)
berkatalah, jangan hanya diam
harus ada peluang bagi suara-suara, sedang gelap telah lumpuh oleh cahaya
(jengah, tangannya berputar-putar mengisyaratkan keruwetan)
harus berapa lama lagi untuk tetap diam mengorbankan waktu tanpa suara?
Perempuan : waktu hanya korban
bukan pelaku
sungguh, suara-suara itulah yang membunuh
Lelaki : (tertawa sinis)
dikirannya bicara apa? Ternyata ungkapan mabuk yang menuduh suara-suara sebagai pelaku
bukankah sebaliknya?! Suara-suaralah yang bikin waktu jadi hidup?!
Perempuan: caci dan puji adalah suara, terbunuhlah sang waktu karenanya
lalu, akan kemana lagi suara-suara kau tempatkan ketika waktu telah penuh dengan cacian dan
pujian?
Lelaki : ah, memang kau lebih menikmati diammu daripada menghidupkan waktu untuk suara-suara
Perempuan: kau penuh dengan prasangka, suara apa yang dapat hadir lewat prasangka jika sekedar cacian
atau pujian?
Lelaki : baiklah, baiklah
diamlah kini, hanya lewat prasangka suara-suara muncul dalam perdebatan
Perempuan: dan waktu terbunuh
Lelaki : iya, dan diamlah kini
biarlah kini aku yang bersuara
aku mau ceramah
menghidupkan waktu dengan suara-suara
agar gelap tak selalu dihuni resah
biar aku isi kekosongan ini dengan orasi
menghujat dengan pasti
atau sekedar beri inspirasi
agar hidup tak selalu sepi
(bergegas, merapikan diri dan berdiri menantang kegelapan)
kinilah
saat seperti inilah
ingin sekali kuperdengarkan suaraku
agar gelap tak selalu penuh dengan kengerian
dan suaraku
mendobrak kebisuan yang kaku
berkibarlah panji-panji kemenangan
mengiring semangat yang berkobar-kobar
aku tak ingin diam
harus ada suara dalam gelap dan terang
Perempuan: lalu kau tikamkan kepada sang waktu
sungguh, suaramu jadi belati yang mencabik-cabik waktu yang sunyi
hingga batas, dimana akan kau cari lagi kedamaian-ketentraman tanpa suara-suara
bukankah telah pantas untuk diam?
Menghidupkan waktu dengan renungan-renungan
dan hidup tak selalu hina oleh cacian dan pujian
Lelaki : (jengah, menghela nafas membuang kejengkelan)
berpihaklah kepadaku, sekali saja
agar aku mampu merangkai kata untuk suaraku
itupun untuk kau
Perempuan: selalu, aku selalu berada dipihakmu
setiap waktu aku selalu ada dipihakmu
meski suara-suara selalu membunuh sang waktu
Lelaki : tapi kau selalu menentangku
Perempuan: haruskah aku tak menentang
sedang suara-suara membunuh sang waktu
dan kau penuh dengan prasangka?!
Lelaki : prasangkaku itu untuk kebaikanmu, juga untuk waktu agar tak selalu terbunuh
Perempuan: lalu, bagaimana dengan segala caci-maki yang kau hujamkan?
Sekedar mengusir keheningan?
Bagaimana dengan pujian-pujian? Sekedar titipkan kalimat rayu?
Baiknya kini diam, sebab suara-suara mengganggu kekhusyukkan
waktu, ia datang untukku, juga untukmu jadi tidak perlu kau ganggu dengan suara-suara
sungguh, itu bukan suatu yang perlu
Lelaki : kaulah yang diam, dan biarkan aku bersuara
Perempuan: lalu kau kembali lagi ditempat segala bermula, mencari kedamaian dalam keheningan
sedang sang waktu telah kau bunuh dengan suara-suara
bagiku,
biarkan waktu datang dengan diam
dan do'a, segala do'a meruang penuh dalam jiwa
Lelaki : baiklah,
baiknya kini kita diam, biarkan waktu datang lewat keheningan
Wanita berdendang tenang, lelaki mencari-cari, cahaya redup perlahan hingga gelap dan tenang
Lelaki : (dalam gelap)
harus ada peluang... kau bersuaralah!
No comments:
Post a Comment