orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya (Pramoedya Ananta Toer)

About Me

My photo
seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki

Anda pengunjung ke:

Saturday, August 27, 2011

Sajak sepanjang Agustus 2011 (hampir-hampir tanpa judul)

Menghadap

sementara terdengar kabar berkumandang
kita hentikan sejenak segala hasut-dengki
kembali pada titah ilahi


kesadaran

diantara pepohonan yang lelah

ada semacam ketakjuban mengharap kehadiran
segala hanya milik-Nya
segala akan kembali kepadaNya
pemilik segala sirna

hening
membaca pesan alam

"ya ayyuhalladzina amanu
ittiqallahu wab tagaul ilaihilwasilah"

dan nafas ini
adalah kemurahan dariNya
hanyalah untukNya


sebentuk kenangan

kala itu, kukenakan kemeja sekenanya
warna sepatu tiada lagi jadi pilihan
~seingatku warna hijau, segala yang ada saja
dan rambutku terurai
berkibaran ku bawa berlari
otak ini diserbu beribu pengetahuan
hampir-hampir tak ku kenal
hanya seperti ilalang
ah, sekedar kukenang
dimana aku sempat menghilang
tetaplah sama kini dan nanti
aku lebih suka menyendiri

Kepada(mu) disana
gumintang genit berkedipan
matamu berbinar seakan menatap ajal
seruling mengalun sunyi
kepercayaan jadi kedamaian dihati
hari segera berganti
kau, masihkah akan terus menepi dalam sepi?


Tentang perjuangan (mimpi dan harapan)

sedang saksikan tragedi
ataukah parodi?
sungguh sulit untuk dimengerti
untuk selalu dipahami
tiada ingin berlari untuk tak peduli
semoga tetap dalam kesadaran:
kita bertarung-juang untuk apa
kita mati untuk apa

satu hati dalam warna pelangi
kita takkan membiarkan mimpi jadi punah mati
dan harapan masih bertebaran
belum juga kita genggam


Sajak kecil buat Ibu

ibu,
akulah anak panah dari do'a yang kau rentang
yang kau bidikkan penuh keridhaan


Bendera kemerdekaan

ada bendera dalam genggamanmu
tak berkibar bebas
sementara hujan badai belum reda
masih juga kau genggam
kenapa tak kau biarkan ia menari
dipuncak tiang perahu kemerdekaan?

Kerinduan
malam,
dia kembali menerkam
seram-mencekam:
kerinduan


Belum berjudul

segala fana
segala sirna
segala berpendaran bagai cahaya
entah,
akan kemana rindu mengarah
jika segala sirna
jika segala tak lagi berwarna
dan hanya terdengar do'a-do'a menghibah
mengharap kemurahan
dari Yang sering terlupa


sajak kecil tentang kebenaran

kebenaran memang butuh nyali
tak selalu harus ditutupi
jika kata tak lagi mampu dipahami
biar belati yang mengganti


Sajak sepatu

sepasang sepatu sedang berbincang pada suatu ketika yang telah biasa untuk dipahami... tiada menghujat, tiada mengumpat... hanya berbincang sepanjang yang telah dijalani


Sajak yang resah

selebrasi merah putih... sementara berhias merdeka
harus kemana kita akan mencari filsafat kebangsaan, sedangkan nasionalisme harus selalu dipertentangkan dengan agama
~refleksi masa lalu kawan, jangan tersinggung
sementara telah kutemukan:
seorang nasionalis dinegeri ini adalah juga seorang agamis
dan kita tak seharusnya pusing-gundah akan hal ini
(aku ini nulis apa sih?) sebab tanah ini amanat dari Yang Maha kuasa
bukan milik sementara manusia
tapi untuk semua
ow ya, jiwa yang merdeka
aku sedang gelisah
bukan lantaran memandangi ajal diantara kita
tapi karena jalan keadilan kian terjal
sementara hati kita berhias nasionalisme
hanya sementara
dan selanjutnya kembali tertelan dalam individualisme
-aku ini sedang menulis apa?
Untuk apa?
sementara sajakah kita teriak merdeka sembari sementara meneladankan kesetiaan kepada tanah air tercinta (dan sedang kita singkirkan semangat berbangsa)
aku tiada mengerti: aku sedang menulis apa?
Sekedar mengalir begitu saja
dan tangis ibuku mengiringinya
ow ya, jiwa yang merdeka
yang kuterima hanya sumpah serapah


Sajak yang bercerita tentang kata salah satu Pamanku

kata pamanku "jikalau tidak mampu memberi kebahagiaan kepada orang lain, janganlah menambah dukanya"
lalu kami memandangi barisan manusia yang merias diri sebagai pejuang
terkekang dalam simbol-simbol
badut jadi mirip pejuang
bandit juga berbusana pejuang
semua seakan mengatakan: akulah pejuang!
Terkekang dalam simbol-simbol kebanggaan

aku dan pamanku
berjalan seriring
tiada ingin ikut jadi badut
sebab:

jikalau tidak mampu memberi kebahagiaan kepada orang lain,
janganlah menambah dukanya
kami tertawa melihat badut dan bandit bertingkah

Dengan kata atau darah?!
luruskan segala yang kusut

bagaimana bisa melupa
jika dendam telah tertanam

atau
hanyakah dengan pedang
segala jadi lurus
dan darah tumpah percuma


Hitam busanaku untuk Merah-Putih panji juangku

hitam
tanda duka teramat dalam
'tika semangat redup hilang
semoga
panji juang
tetap riang berkibar:

"MERDEKA!!!"


Luka

adalah kau
sebilah luka
menyayat direlung jiwa


Sajak saat malas

sehari ini aku tak ingin mandi
terlalu banyak sayatan
segala jadi perih
dan sepasang sepatu
sedang letih untuk selalu berlari

Saturday, August 20, 2011

hari ini: sejarah masa depan

akhirnya kita menemui suatu ketika yang telah lama kita cumbui, kita pahami dalam kegelisahan masa silam: kau diam dalam romantika kehidupan dan aku akan tetap sunyi mengembara, masih akankah kau sematkan wangi parfum dikemejaku~seperti dulu, 'tika kelopak-kelopak bunga mulai bermekaran? Dan jemari kasih lembut membelai kerinduan. Akankah ku temu dirimu yang dulu: bersemangat mengibarkan warna bendera yang sama sembari kita kenang lembar demi lembar sejarah yang kita baca? Kabut perlahan turun menutup rimbun hutan, masih tetap kutuang nikmat yang sama dalam cangkirku (sadar) senyummu segera jadi rinduku.

Monday, August 15, 2011

merdeka

cintaku punah dihantam serapah
tinggal gundah berjejalan dimalam buta
lelaki ini berserakan dihujat hidup tanpa keadilan

sudahlah!

tiada mengapa diri ditikam hingga berdarah
atau sekedar termangu berteman purnama
dihadap unggun menyala-nyala:

merdeka!

Friday, August 12, 2011

Blues in Tenggong

suatu waktu kita pernah ketemu
dulu, saat mendung tak lagi jadi payung

kenangan kembali datang mengulang
tentang bukit yang kubayang
semacam tumpukan debu
tandus-gersang
kita disana
disapa angin Agustus dibukit yang tandus

pada pertemuan itu
kau berucap untukku:
selagi bisa, selagi bersama,
lalu kita panjati tanah-tanah kering
sekedar mendengar angin berhembus

kini ia tetap datang
dengan hembusannya yang sama
angin Agustus nyanyikan 'blues'
selagi bisa, selagi bersama
bukit itu masih terlihat tandus

Monday, August 1, 2011

melawan arus

tiada turut-patuh
diri tak tunduk

silahkan bersepakat akan segala yang memikat
diri tak sudi terikat
atau, ketika telah datang waktu untuk kau hujat
diri tiadakan balas melaknat

mengalir diarus sungaimu yang penuh limbah
seperti turut dalam sebuah pesta ketiadaan makna
- sedangkan diri harus mengerti, harus segera menyadari:
hakikat cinta dan kemanusiaan
ya, cinta dan kemanusiaan
dan bukankah cinta itu sendiri adalah hal yang manusiawi
cinta tak harus selalu ikut arus (mengalir katamu)
bahkan diri menyadari penuh:
cinta jadi tidak manusiawi ketika kita terasing dari kemanusiaan
"aku cinta diriku sebagai manusia,
dimana sedang kurasakan-akrab sebagai manusia
akupun cinta kalian sebagai manusia,
sepanjang kita rasakan-akrab mengenal manusia
aku cinta kepada Tuhan semesta alam
dimana diri sadar bahwa diri diciptakan tunduk-patuh kepadaNya"

bukankah tidak ada kemanusiaan dalam arus tempat kau mengalir?:
"hidup untuk kerja atau kerja untuk hidup"
seputar itu saja yang kalian bingungkan

menyerah pada keterasingan
diri tiada sudi
lebih baik berbalik
meski harus selalu menggelepar diterjang arus liberal