Mau diakui atau tidak, pada dasarnya moral yang memiliki dasar
kemanusiaan selalu mengalami dialektika, sebab bertemunya budaya-budaya
yang juga membawa nilai-nilai moralnya. Sedangkan kemanusiaan yang
menjadi dasarnya moral adalah sama dimanapun dan kapanpun.
Dengan
begitu moral pada dasarnya akan selalu dipelajari, tiap generasi
mempelajari segala yang ditemukan oleh generasi sebelumnya, dan dalam
tiap proses belajar itu terjadi pula dialektika 'perulangan'. Berikut
merupakan ajaran-ajaran yang sarat akan nilai moral yang ada dalam
kebudayaan yang kiranya cukup patut menjadi bahan diskusi dalam menyimak
kembali nilai-nilai moral yang telah ada dalam budaya Nusantara demi
proses 'nation character building'.
Catur Paramita, berasal dari
bahasa Sansekerta. Dari kata ”catur” yang berarti empat dan ”paramita”
berarti sifat dan sikap utama. Catur Paramita berarti empat macam sifat
dan sikap utama yan patut dijadikan landasan bersusila. Catur Paramita
merupakan salah satu dari landasan atau pedoman untuk melaksanakan
ajaran susila atau ethika dalam ajaran agama Hindu.
Adapun bagian-bagian catur paramita antara lain :
Maitri
artinya semangat mencari kawan dan bergaul, yakni tahu menempatkan
diri dalam masyarakat, ramah-tamah, serta menarik hati segala
perilakunya sehingga menyenangkan orang lain dalam diri pribadinya.
Untuk berbuat Maitri, maka kita jangan melakukan / berbuat bencana yang
bersifat maut (Anta Kabhaya) atau jangan membenci.
Karuna
artinya belas kasih, maksudnya adalah selalu memupuk rasa kasih sayang
terhadap semua makhluk. Untuk berbuat karuna, maka pantang melakukan
perbuatan yang menyebabkan terjadinya penderitaan, tersiksa,
kesengsaraan, atau jangan bengis.
Mudita artinya
selalu memperlihatkan wajah yang riang gembira, yakni penuh simpatisan
terhadap yang baik serta sopan santun. Untuk dapat berbuat mudita, maka
jangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah,
atau jangan memiliki rasa iri hati kepada orang lain.
Upeksa artinya
senantiasa mengalah demi kebaikan, walaupun tersinggung perasaan oleh
orang lain, ia tetap tenang dan selalu berusaha membalas kejahatan
dengan kebaikan bisa juga dimaksud dengan tahu diri (mawas diri). Untuk
berbuat upeksa maka pantang menghina orang lain, memandang rendah
orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat berusaha
mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat.
Ajaran Catur Paramita merupakan realisasi dari ajaran Tat Twam Asi yang merupakan bentuk penyempurnaan etika-perbuatan bagi masyarakat Hindu. Tat twam asi sendiri merupakan suatu ungkapan yang berarti, kurang lebih adalah kau adalah aku, lebih dari itu tat twam asi
merupakan filosofi yang mengajarkan bahwa apa yang dirasakan oleh
manusia adalah sama. Tiap-tiap orang memiliki rasa sakit yang sama dan
sama-sama tidak ingin mengalaminya, jika kena pukul itu sakit maka
janganlah memukul orang lain, jika dibenci atau dikucilkan itu tidak
menyenangkan maka jangan membenci atau mengucilkan orang lain.
Mengejek,
fitnah atau hal-hal lain yang tidak manusiawi memang sudah selayaknya
dihindari, sebaliknya hal-hal/perbuatan yang dapat bermanfaat bagi orang
lain atau minimal berdampak pada kebahagiaan-kenyamanan bagi orang lain
adalah yang diharapkan.
Selaras dalam hal ini ada ungkapan dalam
masyarakat Jawa "mikul duwur mendem jero" yang berarti akan lebih baik
jika menjunjung kebaikan dan melupakan segala yang buruk dalam hal ini
lebih pada prinsip hidup tidak menyimpan dendam yang pada kenyataannya
malah sering dimanfaatkan secara pragmatis.
Adapula dalam filosofi Jawa yaitu 'ngedu roso' yang berarti mengadu rasa atau bisa juga dikatakan 'ngemong roso'
atau menjaga rasa, hal ini lebih sulit dilakukan sebab menyangkut
'perasaan'. Apalagi dalam era liberal saat ini yang lebih mengedepankan
hak asasi secara individual, jangankan untuk menjaga rasa, perhatian
terhadap kepedulian sosial sangat minim. Sepertinya kita sebagai
generasi bangsa yang mewarisi budaya luhur ini lebih suka melihat
kehancuran seseorang daripada turut berpartisipasi membangun dan
memperkuat sesama. Meskipun demikian dapatlah selalu kita harapkan, kita
cita-citakan suatu tatanan kemasyarakatan yang penuh dengan kepedulian,
kalau tidak dengan generasi kita, boleh dengan generasi mendatang,
kalau tidak sanggup untuk peduli bolehlah hanya sekedar menjaga
perasaan.
Pada akhirnya dapat saya gunakan pula istilah manusia
dalam bahasa Jawa yaitu 'Manungso' yang diartikan 'manunggale roso' atau
menyatunya rasa, dan kehadiran manusia dalam hidup ini memanglah akibat
dari menyatunya rasa. Tentunya rasa yang dikatakan baik, bukan lantaran
dengki, iri, dendam, atau bahkan karena intrik.
No comments:
Post a Comment