orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya (Pramoedya Ananta Toer)

About Me

My photo
seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki

Anda pengunjung ke:

Thursday, December 29, 2011

Saya dapat dari Chairil Anwar


Sajak-sajak itu berbicara, bukan dengan suara, selalu saja ada yang membaca.
Sajak-sajak itu berbicara, seakan ingin segala jadi terlihat akrab dengan siapa saja. Meraung di udara kota yang penuh dengan polusi, merayap disetiap dinding dan menggedor tiap-tiap jendela-pintu yang tertutup.
Chairil, membacanya seperti sedang berhadap-hadapan dengan sosok bebas yang tidak mudah ditebak. Para pelajar mengenalnya lewat “Kerawang-Bekasi” yang bercerita tentang jasad-jasad pejuang, atau melalui “Aku” yang nekad bagai binatang jalang~tak peduli lagi dengan koloninya, menerjang batas-batas dengan tingkah liar. Ya “Aku”, nama lainnya “Semangat”.
Chairil menuang kata-kata untuk mengungkap segala yang samar atau melecutkan hasrat yang ia temukan dalam sunyi, menurut Benazir Nafilah adalah salah satu politik remang-remang ketika ia membahas ke’Sia-sia’an yang dituang oleh Chairil, ke’Sia-sia’an yang membicarakan lain waktu yang ditunggu oleh Chairil Anwar:
Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mampu memberi
mampus kau dikoyak-koyak sepi (sajak “sia-sia” versi “Deru campur debu”)
teks-teks yang membiak menyelami rimba dan menjadikan dirinya harimau yang siap menerkam otak kita. Tiba-tiba aku melihat citraan yang memaksaku untuk berada disana dan melihat peristiwa yang menciptakan ombak dalam kesepian. Kesepian sepanjang aku mengagumimu, dan esok teks akan bergerak dan berlari seperti sembrani, tapi apalah hebatnya jika aku perkarakan semua ini. Aku hanya menafsiri kembang berkarang yang kau bawa setiap kali kau datang.1
Sajak-sajak itu coba mengenali segala yang terekam, entah gagal atau menjumpai bentuk-bentuk samar yang sama sekali baru. Tidak satupun tebakan mampu menjawab tanya, malah semakin terdesak oleh penasaran ataupun keraguan. Sebagaimana tentang “Diponegoro” yang fenomenal lewat tuangan aksara Chairil, seakan tidak bisa dibaca begitu saja tanpa harus mengetahui latar belakang ia tulis sajak itu, yang oleh Hadzarmawit dikatakan bukan hanya sekedar pengungkapan rasa kagum terhadap sosok Diponegoro yang menjadi legenda tanah air, tapi juga adanya situasi yang kurang lebih sama. Tentu, situasi yang menyeret masyarakat dalam ketertindasan.
Sajak Diponegoro bukan sekadar merupakan suatu pengungkapan rasa takjub seorang pemuda Chairil Anwar terhadap sang pahlawan legendaris Pangeran Diponegoro. Melainkan dengan sajak tersebut Chairil mau melukiskan kebangkitan semangat dan tekad perjuangan generasi zamannya dalam melawan penindasan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.2
Bagaimana merangkum yang bebal-sabar dengan sikap yang binal dalam satu sosok? Ada kemungkinan seorang aktor memiliki keduanya dalam suatu waktu yang bersamaan, dan bukankah menulis butuh kesabaran (kebebalan) sekaligus bergerak liar?:
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulang yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
Sajak “Kesabaran” yang sempat popular lewat film ‘Ada Apa Dengan Cinta’, dalam film itu, Cinta, karakter yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo sempat membacanya sekilas. Penerimaan seorang pembaca terhadap sajak seorang Chairil adalah semacam ‘review’ terhadap ‘slide-slide’ sejarah. Bukan sekedar mempelajari suatu tehnik penyederhanaan kata yang memberi efek ‘dramatis’ ditiap sajaknya, tapi bahkan suatu tampilan situasi yang direkam oleh Chairil lewat kata-kata yang ia tanam dalam sajaknya.
Suatu pengungkapan akan suatu penantian yang sekaligus ditawarkan, seakan sekali waktu pernah dikhianati:
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Ketegasan dalam mempertanyakan status dalam masyarakat, ya ketegasan memang diperlukan agar tersisa ruang untuk senantiasa saling mengenal, sekali ditinggal, biar hilang, tanpa penyesalan dan hidup berjalan sebagaimana mestinya hidup berjalan, tanpa penindasan. Tegas harus senantiasa menolak segala yang menindas, segala yang tertindas hanyalah keadaan asing yang tak kenal ampun, keadaan yang tidak dikenal:
Aku berkaca
Bukan buat ke pesta

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru-menderu
-dalam hatiku?-
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah…!!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal…

Selamat tinggal…!!! (Sajak “Selamat Tinggal” versi ‘kerikil tajam dan yang terampas dan yang putus’)



(1)    Benazir Nafilah, Bermula dari sia-sia hingga semangat membakar hampa, dalam Kumpulan essai: Politik Budaya dan Tendensi Konsumtif (Kantor Arsip dan Perpustakaan Pemerintahan Kabupaten Sumenep, 2009) hlm. 65
(2)    A.G. Handzarmawit Netti, Sajak-sajak Chairil Anwar dalam kontemplasi (Surabaya: B You Publishing, 2011) hlm. 45

No comments:

Post a Comment