akhirnya,
sampai juga langkah kita
pada 'suatu ketika'
suatu ketika yang tak pernah kita nantikan
suatu ketika yang telah ku duga
beginilah adanya:
kau gembalakan waktu
sedang aku tetap menghimpun kata
gerimis perlahan reda
surau-surau di kaki gunung bershalawat
dan anak-anak bertafakur
~sebentar lagi kabut turun,
jadi semacam tradisi menyambut sang gelap
disaat seperti ini,
seperti biasa, kita dapat pandangi
reranting-dahan yang basah
sambil menghirupi tanda kehadiran malam
ingin sekali aku menyendiri
diam mengawasi mentari yang enggan tenggelam
sedang jalanan kotamu bersiap dalam pesta cahaya
demikian, kebiasaan yang ada di kotamu
kita sama tahu
kotamu yang diam menyimpan banyak kisah
tentang kita,
tentang deru jalanan
tentang kibaran bendera
tentang perjuangan hidup
tentang desingan peluru dan gelegar meriam
sejarah, kotamu diam
inilah 'suatu ketika'
dimana kita tak lagi memiliki
tiap-tiap harapan yang pernah kita impikan
beginilah adanya,
mungkin juga yang terbaik
tiada kata yang dapat kuucap
tidak ada alasan dapat kuungkap
hanya aku harus ikhlas
biar kucerita sebaris sejarah,
di depan sana
kotamu yang diam
pernah jadi wilayah perebutan,
benteng terakhir dari kedaulatan selembar bendera
yang baru dikibarkan
senantiasa kubaca pergolakan dalam sejarah
didepan itu kotamu
tempat sejarah bergolak
kota itu milikmu
kusaksikan dari lereng gunung,
dari setapak
bekas lintasan gerilya
(kubayang senyummu
bukan tatapan tajam penuh permusuhan)
gelap segera datang menghimpun bintang
~masih kunanti pijar merah di utara,
dimana rindu masih mengapung di angkasa
kotamu, awal kisah bermula
No comments:
Post a Comment