Akhir-akhir
ini saya sering mendapati keluhan orang, entah memang sengaja diceritakan atau
ketika mencuri dengar pembicaraan orang, keluhannya umum tapi ‘urgent’ yaitu masalah pekerjaan, saya
kata umum sebab inilah permasalahan pada umumnya orang-orang dan memang dari
jaman saya sekolah, kebingungan orang selalu saja berputar pada masalah
pencarian rejeki ataupun jodoh.
Dua
tema inilah yang kerap jadi persoalan yang sangat mungkin dibawa-bawa disetiap
do’a permohonan kepada Sang Pencipta. Semoga saja Tuhan tidak bosan mendengar
permohonan yang sebenarnya adalah urusan rahasia milikNya.
Terlepas
dari itu semua, pada dasarnya memang telah terjadi pendangkalan makna yang
bukan hanya menyangkut rejeki dan jodoh, tapi bahkan (mungkin) juga agama, atau
bahkan Tuhan pun telah didangkalkan? Iya atau tidak, kita bahas lain waktu,
harus ada kesiapan moral untuk menulisnya, cukuplah kini tentnag rejeki. Untuk
inipun harus didangkalkan dulu biar tidak terlalu ‘muluk-muluk’ atau “terlalu
idealis”.
Rejeki
menjadi dangkal maknanya ketika dibatasi lingkupnya, ketika faham materialism menyediakan
ruang sempit tentang orientasi finansial, dan rejeki berputar-putar pada
permasalahan kerja/pekerjaan, sedangkan kerja/pekerjaan sendiri juga telah
mengalami pendangkalan makna.
Hakikatnya
kerja memanglah untuk mencukupi kebutuhan hidup, manusia mengolah alam atau mengerjakan
alam untuk kemudian dapat mereka manfaatkan, contoh gampangnya ya bertani,
mengolah alam menjadi lahan pertanian yang hasilnya tentu untuk kebutuhan
makan. Lebih jauh dari itu. Pekerjaan, ialah kegiatan khas manusia yang
merupakan makhluk ganda yang aneh, disatu sisi sebagai makhluk alami
sebagaimana binatang yang membutuhkan alam untuk hidup sekaligus disisi lain
manusia dihadapkan dengan alam sebagai sesuatu yang asing~alam harus diolah
dulu, lebih dari itu harus menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya.
Bagi
Karl Marx, kerja/pekerjaan adalah suatu proses yang menghasilkan, lebih jauh,
berikut pandangan Marx tentang bagaimana pekerjaan membenarkan diri manusia dan
hakikat sosial manusia.
“Andaikata
kita berproduksi sebagai manusia (artinya, secara tidak terasing):
masing-masing dari kita dalam produksinya membenarkan diri sendiri dan sesama secara
ganda. Aku dalam produksiku mengobjektifkan individualitasku, kekhasanku, maka
waktu melakukan kegiatan kunikmati… dalam memandang objek, kegembiraan
individual bahwa aku mengetahui kepribadianku sebagai kekuatan objektif yang
dapat dilihat secara inderawi, tidak dapat diragukan. Dalam nikmatmu atau
pemakaianmu atas objekku aku langsung menikmati kesadaran bahwa dalam
pekerjaanku aku memenuhi kebutuhan sebagai manusia dan karena menciptakan objek
yang sesuai dengan kebutuhan manusia lain, aku menjadi perantara antara engkau
dan umat manusia, jadi bahwa aku dibenarkan dalam pikiranmu maupun dalam
cintamu, bahwa dalam ungkapan hidup individualku aku langsung menciptakan
ungkapan hidupmu, jadi bahwa dalam kegiatan individualku aku langsung
membenarkan dan merealisasikan hakikatku yang benar, kemanusiaanku,
kesosialanku”1
Marx
juga memandang bentuk keterasingan manusia dari pekerjaannya adalah ketika
manusia tidak memiliki hasil pekerjaannya tersebut, gambaran kasarnya sudah
terlalu banyak di Indonesia, sebagaimana buruh pabrik sepatu yang memproduksi
sepatu untuk kemudian dijual baik di negeri sendiri maupun di luar negeri
dengan merk tertentu yang ‘made in’ luar negeri. Atau produksi-produksi
lainnya, toh bangsa kita yang memproduksi tanpa ada “alih teknologi” (maaf sedikit
sartire). Manusia menjadi terasing
dari dirinya karena ia terasing dari pekerjaannya, makna pekerjaan disini jadi
semata untuk bertahan hidup, inilah bentuk keterasingan menurut Karl Marx, dimana
manusia sama sekali tergantung kepada para pemilik alat produksi, bahkan di
Indonesia banyak yang tergantung pada pemilik ‘brand’.
Dari
sini dapat dipahami pendangkalan makna rejeki yang hanya terbatas pada suatu
lingkup makna saja, yaitu orientasi finansial. Kiranya, kita pun tidak hanya
membatasi maknanya hanya sampai disitu. Ada cerita ketika saya berjualan buku
ke pesantren-pesantren di Singosari, bersama seorang teman senasib
seperjuangan, Wahyu Nugroho, suatu ketika ada pesanan buku lewat SMS dari
seorang ustad, tidak banyak, hanya dua judul dan karena masih berupa usaha
rintisan maka mau tidak mau harus diantar dua buku itu. Muncul kesadaran ketika
sedang ngobrol disebuah warung kopi di pasar Singosari, dimana memang laba dari
hasil penjualan dua judul buku tadi hanya cukup buat ongkos ngopi dan beberapa ‘gorengan’, tapi dari ‘jelajah pesantren’
ini pula kami mendapat banyak masukkan ilmu.
Lebih jauh lagi, tentang etos kerja yang
diajarkan dalam Islam, ada dua syarat yang menjadi ukuran bekerja dengan benar
dalam Islam: pertama, benar dari aspek niatnya dan kedua dari aspek
pelaksanaannya. Tentu, niat yang baik agar tidak menjadi beban bagi orang lain,
dan tentunya dengan cara yang baik pula, bukan dengan mencuri, merampok bahkan
korupsi.
Dalam pandangan Islam, ada dua masalah yang
perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pekerjaan (tahsilul amal). Pertama, pekerjaan itu disebut ‘amalan masru’ (pekerjaan yang dibenarkan oleh
syariat). Meskipun dilakukan dengan ikhlas, tetapi pekerjaan itu mencuri maka
tidak dianggap benar menurut syara’. Kedua, pekerjaan itu tidak sampai
mengganggu tugas-tugas yang diwajibkan oleh Allah seperti shalat dan puasa.2
Dan bukankah
rejeki tak semata berupa materi? Dalam hal ini, sebagaimana kisah saya bersama
teman saya, ilmupun juga rejeki (ngg’perlu mondok untuk menyerap ilmu dari para
ustad, dan untuk hal ini saya wajib bersyukur). Lebih dari itu, senantiasa
untuk diusahakan memaknai kerja sebagai ibadah, kerja bukan untuk siapapun dan
bukan untuk apapun melainkan untuk Allah. Pun juga ada baiknya untuk tidak
memanfaatkan hal ini demi mengkerdilkan atau bahkan menelikung pekerja,
misalnya ketika suatu perusahaan tidak mau membayar upah lebih kepada
pekerjanya, perusahaan menyarankan pekerjanya untuk mensyukuri apa yang telah
mereka peroleh.
Sebagaimana yang dikatakan dalam
Al-Quran: Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup,
dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi
rezeki kepadanya. (QS. al-Hijr
(15) : 20)
(1)
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2001) hlm. 94
(2)
M. Ainul Yaqin, Nilai-nilai Ibadah Dalam Bekerja
(Malang: Buletin Imamah edisi: XV/Shafar/1433 H.)
(3)
Al Quran, Surah Al-Hijr (15):20