Firasat yang tidak menyenangkan...
Kematian adalah hal yang pasti, menjadi kesadaran dan pamungkas dari segala perjalanan, tidak dapat ditawar.
Hidup boleh punya pilihan, boleh punya warna-warninya, tapi muaranya satu: kematian.
Boleh saja kehadirannya dirindu bahkan ditakuti. Bukan kematian yang kutakuti, bukan pula kematian yang ku rindui. Kita dan kebenaran berbatas kematian.
Mungkin lain kali aku ada dalam pengasingan, dipisah dari segala bentuk intervensi manusia sebelum datang ajalku. Mungkin itulah puncak dari kesepian, sebelum sepi yang sama kembali memelukku dalam kubur.
Tambah sepi ketika neraka membelenggu.
Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah.
Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah.
About Me
- Yoehan Rianto Prasetyo
- seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki
Anda pengunjung ke:
Saturday, June 29, 2013
Friday, June 28, 2013
Kegelisahan dan kebingungan
Orang
bilang hidup adalah pilihan, setiap pilihan adalah permainan, orang
sering bicara betapa mengerikan neraka sekaligus betapa nyaman kehidupan
di surga, tapi saya seringnya berpikir "apa gunanya hidup di surga jika
penuh dengan kebencian, intrik dan hujatan? Jika hidup di neraka ada
kenyamanan dan ketentraman?"
Tidak ada alasan yang dapat dijelaskan untuk pikiran ini selain kenyataan yang kita jumpai, kenyataan yang selalu sibuk dengan hujat-menghujat, kenyataan tentang bagaimana kita diperlakukan, entah sebagai apa?. Jika hidup adalah suatu pementasan drama, maka tinggal pilih jadi antagonis, protagonis atau sekedar jadi figuran, yang pasti tidak pernah untuk menjadi penonton.
Bagaimanapun perlakuan masih dapat diterima sepanjang tidak menghadapi mentalitas kerdil, itu prinsipnya. Sebagaimana filosofi jawa yang berkata "Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake"~Kekayaan diri bukan (hanya) dari harta, kekuatan memang sudahlah ada yaitu kesadaran dan kesabaran, menjalani perang walau sendirian, ketika menang tidak merendahkan yang dikalahkan.
Senantiasa mempersiapkan diri untuk tetap menjadi revolusioner, selalu bersiap untuk perubahan sebab hidup tidaklah stagnan, tiap kali harus hijrah.
_______________ _________________ __________________ ________________
Inilah yang tersembunyi dalam hati, diorama kehidupan yang tidak pernah saya mengerti dalam upaya saya berdamai dengan keadaan selalu saja bersambut dengan hujat-caci dan kebencian. Bukan karena tidak memiliki catatan harian saya menulis ini dalam blogger, tapi kebingungan tindakan-tindakan yang selalu merendahkan yang hampir-hampir tidak pernah saya lawan~sebab ada kesadaran bahwa tidak terdapat sama sekali bagi saya suatu hak untuk membela diri, dan sadar pula bahwa kesepian adalah derita hingga mati.
kuasa... kuasa... kuasa apalagi? Apalagi yang hendak mereka kuasai? Tiada sedikitpun keinginan saya untuk mengganggu-berseteru (senantiasa pergi-lari menghindar) sedang diri selalu bersiap hijrah, bersiap menghadapi perubahan... yang mematikan sekalipun...
Tidak ada alasan yang dapat dijelaskan untuk pikiran ini selain kenyataan yang kita jumpai, kenyataan yang selalu sibuk dengan hujat-menghujat, kenyataan tentang bagaimana kita diperlakukan, entah sebagai apa?. Jika hidup adalah suatu pementasan drama, maka tinggal pilih jadi antagonis, protagonis atau sekedar jadi figuran, yang pasti tidak pernah untuk menjadi penonton.
Bagaimanapun perlakuan masih dapat diterima sepanjang tidak menghadapi mentalitas kerdil, itu prinsipnya. Sebagaimana filosofi jawa yang berkata "Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake"~Kekayaan diri bukan (hanya) dari harta, kekuatan memang sudahlah ada yaitu kesadaran dan kesabaran, menjalani perang walau sendirian, ketika menang tidak merendahkan yang dikalahkan.
Senantiasa mempersiapkan diri untuk tetap menjadi revolusioner, selalu bersiap untuk perubahan sebab hidup tidaklah stagnan, tiap kali harus hijrah.
_______________ _________________ __________________ ________________
Inilah yang tersembunyi dalam hati, diorama kehidupan yang tidak pernah saya mengerti dalam upaya saya berdamai dengan keadaan selalu saja bersambut dengan hujat-caci dan kebencian. Bukan karena tidak memiliki catatan harian saya menulis ini dalam blogger, tapi kebingungan tindakan-tindakan yang selalu merendahkan yang hampir-hampir tidak pernah saya lawan~sebab ada kesadaran bahwa tidak terdapat sama sekali bagi saya suatu hak untuk membela diri, dan sadar pula bahwa kesepian adalah derita hingga mati.
kuasa... kuasa... kuasa apalagi? Apalagi yang hendak mereka kuasai? Tiada sedikitpun keinginan saya untuk mengganggu-berseteru (senantiasa pergi-lari menghindar) sedang diri selalu bersiap hijrah, bersiap menghadapi perubahan... yang mematikan sekalipun...
Tuesday, June 25, 2013
dari bilik pelarian
sedetik berlalu
sepintas main kejaran dengan rindu
aku menatapmu:
tanpa wudlu terbasuh
~kau layu,
entah bisik apa merayu
lalu runtuh
tetes demi tetes air
dari mendung yang jenuh
entah kapan
letih datang menerkam lariku
sepintas main kejaran dengan rindu
aku menatapmu:
tanpa wudlu terbasuh
~kau layu,
entah bisik apa merayu
lalu runtuh
tetes demi tetes air
dari mendung yang jenuh
entah kapan
letih datang menerkam lariku
Friday, June 21, 2013
Dari musikalisasi puisi dan operet (bedah seni pertunjukkan lewat pengalaman Karter-Kartika Teater)
Saya masih bingung, sejak anak-anak Karter (Kartika Teater)
berpartisipasi dalam suatu festival di Lawang, dalam festival itu
terdapat dua kategori lomba, disebutkan disana "MUSIKALISASI PUISI",
bukan teatrikalisasi puisi dan "OPERET" bukan drama musikal. Saya nulis
ini bukan dalam rangka mengungkapkan kekecewaan atau protes dan
semacamnya, kekalahan/kegagalan bagi saya adalah tidak ada, dan lewat
sudut pandang saya anak-anak Karter sudah menang dari awal~perjuangan
terhebat mereka adalah membentuk jati diri dan kebersamaan ditengah
tekanan yang kerap mereka hadapi. Mereka menang.
Yang saya bingungkan sampai saat ini adalah pemilahan antara muskalisasi puisi dan teatrikal puisi, tanggal 19 Juni kemarin Mega Fadila dan Setya Hanif mewakili teman-temannya dari Karter (Kartika Teater) pada ajang musikalisasi puisi, dan dari paparan juri penilaiannya seputar koreografi dan konsep berkelompok dari peserta, dari hal inilah muncul kebingungan dalam diri saya. Musikalisasi puisi, musik-puisi yaitu penambahan nada pada penyajian-pembacaan puisi, bisa jadi adalah puisi yang diiringi musik atau bahkan puisi yang digubah dalam lagu. Jadi dari puisi yang dibacakan menimbulkan citra, ritme dan daya simbolik.
Sedang teatrikal puisi menurut saya lain lagi, lebih luas, bisa jadi unsur musik adalah bagian didalamnya lengkap dengan unsur gerak (koreografi)~dan kalaupun perlu ada terdapat pertimbangan pemilihan kostum, properti dan permainan cahaya. Teatrikal puisi pun akan menjadi sangat "greget" jika disajikan secara berkelompok, tidak sama seperti penyajian musikalisasi puisi yang dapat disajikan hingga sesederhana mungkin, seorang diripun bisa, bahkan tanpa alat musik sebagai pengiring. Saya bingung yang dilombakan kemarin itu musikalisasi puisi atau teatrikal puisi? Atau kita memang belum memiliki definisi untuk menjelaskan atau sekedar membedakan keduanya?
Dari om wiki saya dapati penjelasan musikalisasi puisi adalah puisi yang disajikan secara musikal, dibedakan dengan lagu puisi yang berarti melagukan puisi seperti ketika Bimbo menyanyikan puisi-puisi karya Taufik Ismail.
Sebenarnya musikalisasi puisi bukan barang baru di dunia seni, tidak perlu memperdebatkan bentuk penyajiannya: apakah suatu totalitas antara puisi dan nada atau sekedar pembacaan puisi yang diiringi musik, sebab gaya orang tentu berbeda dalam menyajikan puisi-musikalisasi puisi.
Toh, dari kalangan sastrawan sendiri masih terjadi perdebatan tentang hal ini, ada yang menganggap bahwa istilah "musikalisasi puisi" adalah rancu bahkan mengada-ada dengan alasan bahwa dalam puisi sendiri telah terdapat ritme, dan memang pada dasarnya tidak semua puisi bisa digubah dalam musik-tergantung amanat penulisnya.
Berlanjut dengan operet, istilah dari cabang drama yang sering terdengar di kampung-kampung dan sekolah-sekolah, tidak ada alasan yang dapat saya jelaskan tentang kenapa kelompok Karter (Kartika Teater) ini sering menampilkan "operet" daripada yang lain, hanyalah lantaran keterbatasan fasilitas. Tidak mungkin bagi Karter untuk mementaskan suatu naskah, agenda di sekolah seringnya adalah panggung terbuka yang sudah pasti adalah hiruk-pikuk penonton, sedang dalam pertunjukkan teater tentunya keheningan penonton menjadi suatu harapan.
Operet adalah pertunjukkan drama musikal yang cukup nyleneh dan sederhana, tidak menampilkan musik dan dialog secara live tapi menggunakan "lipsing" tekanannya pada gestur dan mimik. Mungkin ini juga merupakan penjelasan dari saya kepada seorang rekan yang sok "nyeni", memang tidak ada alasan apapun yang dapat digunakan sebagai penjelasan kenapa Karter (Kartika Teater) seringnya "menggarap" operet ketimbang naskah drama, selain menyikapi kesederhanaan yang ada.
Jadi penyajian operet ataupun bentuk drama yang lain pada dasarnya memiliki sudut pandang penilaian yang sama, yaitu bagaimana para aktor dan aktris mampu menyampaikan pesan dengan baik dan dapat diterima oleh penonton. Tulisan ini bukan bermaksud untuk protes dan meluapkan kekecewaan atau bahkan menjatuhkan pihak lain, saya pribadi tidak menargetkan kemenangan dalam festival operet di Lawang, pun membuka diri atas segala perlakuan dari pihak manapun (terkhusus bagi rekan-rekan yang sudah keseringan merendahkan Karter dan anggota-anggotanya, tidak ada kaitannya dengan festival operet di Lawang). Saya hanya memperkenalkan sebentuk perjuangan kepada anak-anak Karter (Kartika Teater) untuk selalu bersiap dengan masa depan. Salam merdeka.
Yang saya bingungkan sampai saat ini adalah pemilahan antara muskalisasi puisi dan teatrikal puisi, tanggal 19 Juni kemarin Mega Fadila dan Setya Hanif mewakili teman-temannya dari Karter (Kartika Teater) pada ajang musikalisasi puisi, dan dari paparan juri penilaiannya seputar koreografi dan konsep berkelompok dari peserta, dari hal inilah muncul kebingungan dalam diri saya. Musikalisasi puisi, musik-puisi yaitu penambahan nada pada penyajian-pembacaan puisi, bisa jadi adalah puisi yang diiringi musik atau bahkan puisi yang digubah dalam lagu. Jadi dari puisi yang dibacakan menimbulkan citra, ritme dan daya simbolik.
Sedang teatrikal puisi menurut saya lain lagi, lebih luas, bisa jadi unsur musik adalah bagian didalamnya lengkap dengan unsur gerak (koreografi)~dan kalaupun perlu ada terdapat pertimbangan pemilihan kostum, properti dan permainan cahaya. Teatrikal puisi pun akan menjadi sangat "greget" jika disajikan secara berkelompok, tidak sama seperti penyajian musikalisasi puisi yang dapat disajikan hingga sesederhana mungkin, seorang diripun bisa, bahkan tanpa alat musik sebagai pengiring. Saya bingung yang dilombakan kemarin itu musikalisasi puisi atau teatrikal puisi? Atau kita memang belum memiliki definisi untuk menjelaskan atau sekedar membedakan keduanya?
Dari om wiki saya dapati penjelasan musikalisasi puisi adalah puisi yang disajikan secara musikal, dibedakan dengan lagu puisi yang berarti melagukan puisi seperti ketika Bimbo menyanyikan puisi-puisi karya Taufik Ismail.
Sebenarnya musikalisasi puisi bukan barang baru di dunia seni, tidak perlu memperdebatkan bentuk penyajiannya: apakah suatu totalitas antara puisi dan nada atau sekedar pembacaan puisi yang diiringi musik, sebab gaya orang tentu berbeda dalam menyajikan puisi-musikalisasi puisi.
Toh, dari kalangan sastrawan sendiri masih terjadi perdebatan tentang hal ini, ada yang menganggap bahwa istilah "musikalisasi puisi" adalah rancu bahkan mengada-ada dengan alasan bahwa dalam puisi sendiri telah terdapat ritme, dan memang pada dasarnya tidak semua puisi bisa digubah dalam musik-tergantung amanat penulisnya.
Berlanjut dengan operet, istilah dari cabang drama yang sering terdengar di kampung-kampung dan sekolah-sekolah, tidak ada alasan yang dapat saya jelaskan tentang kenapa kelompok Karter (Kartika Teater) ini sering menampilkan "operet" daripada yang lain, hanyalah lantaran keterbatasan fasilitas. Tidak mungkin bagi Karter untuk mementaskan suatu naskah, agenda di sekolah seringnya adalah panggung terbuka yang sudah pasti adalah hiruk-pikuk penonton, sedang dalam pertunjukkan teater tentunya keheningan penonton menjadi suatu harapan.
Operet adalah pertunjukkan drama musikal yang cukup nyleneh dan sederhana, tidak menampilkan musik dan dialog secara live tapi menggunakan "lipsing" tekanannya pada gestur dan mimik. Mungkin ini juga merupakan penjelasan dari saya kepada seorang rekan yang sok "nyeni", memang tidak ada alasan apapun yang dapat digunakan sebagai penjelasan kenapa Karter (Kartika Teater) seringnya "menggarap" operet ketimbang naskah drama, selain menyikapi kesederhanaan yang ada.
Jadi penyajian operet ataupun bentuk drama yang lain pada dasarnya memiliki sudut pandang penilaian yang sama, yaitu bagaimana para aktor dan aktris mampu menyampaikan pesan dengan baik dan dapat diterima oleh penonton. Tulisan ini bukan bermaksud untuk protes dan meluapkan kekecewaan atau bahkan menjatuhkan pihak lain, saya pribadi tidak menargetkan kemenangan dalam festival operet di Lawang, pun membuka diri atas segala perlakuan dari pihak manapun (terkhusus bagi rekan-rekan yang sudah keseringan merendahkan Karter dan anggota-anggotanya, tidak ada kaitannya dengan festival operet di Lawang). Saya hanya memperkenalkan sebentuk perjuangan kepada anak-anak Karter (Kartika Teater) untuk selalu bersiap dengan masa depan. Salam merdeka.
Tuesday, June 11, 2013
mimpi
yang kepadamu-untukmu sendiri:
setangkai mimpi,
baru beli dipasar loak,
pasar loak, pilihannya lebih banyak
dan
ternyata
kita harus membeli mimpi
milik orang lain
setangkai mimpi,
baru beli dipasar loak,
pasar loak, pilihannya lebih banyak
dan
ternyata
kita harus membeli mimpi
milik orang lain
Subscribe to:
Posts (Atom)