Sajak-sajak itu berbicara, bukan dengan suara, selalu saja
ada yang membaca.
Sajak-sajak itu berbicara, seakan ingin segala jadi terlihat
akrab dengan siapa saja. Meraung di udara kota yang penuh dengan polusi,
merayap disetiap dinding dan menggedor tiap-tiap jendela-pintu yang tertutup.
Chairil, membacanya seperti sedang berhadap-hadapan dengan
sosok bebas yang tidak mudah ditebak. Para pelajar mengenalnya lewat “Kerawang-Bekasi”
yang bercerita tentang jasad-jasad pejuang, atau melalui “Aku” yang nekad bagai
binatang jalang~tak peduli lagi dengan koloninya, menerjang batas-batas dengan
tingkah liar. Ya “Aku”, nama lainnya “Semangat”.
Chairil menuang kata-kata untuk mengungkap segala yang samar
atau melecutkan hasrat yang ia temukan dalam sunyi, menurut Benazir Nafilah
adalah salah satu politik remang-remang ketika ia membahas ke’Sia-sia’an yang
dituang oleh Chairil, ke’Sia-sia’an yang membicarakan lain waktu yang ditunggu
oleh Chairil Anwar:
Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mampu memberi
mampus kau dikoyak-koyak sepi (sajak “sia-sia” versi “Deru
campur debu”)
teks-teks yang membiak menyelami rimba dan menjadikan
dirinya harimau yang siap menerkam otak kita. Tiba-tiba aku melihat citraan
yang memaksaku untuk berada disana dan melihat peristiwa yang menciptakan ombak
dalam kesepian. Kesepian sepanjang aku mengagumimu, dan esok teks akan bergerak
dan berlari seperti sembrani, tapi apalah hebatnya jika aku perkarakan semua
ini. Aku hanya menafsiri kembang berkarang yang kau bawa setiap kali kau datang.1
Sajak-sajak itu coba mengenali segala yang terekam, entah
gagal atau menjumpai bentuk-bentuk samar yang sama sekali baru. Tidak satupun
tebakan mampu menjawab tanya, malah semakin terdesak oleh penasaran ataupun
keraguan. Sebagaimana tentang “Diponegoro” yang fenomenal lewat tuangan aksara
Chairil, seakan tidak bisa dibaca begitu saja tanpa harus mengetahui latar
belakang ia tulis sajak itu, yang oleh Hadzarmawit dikatakan bukan hanya
sekedar pengungkapan rasa kagum terhadap sosok Diponegoro yang menjadi legenda
tanah air, tapi juga adanya situasi yang kurang lebih sama. Tentu, situasi yang
menyeret masyarakat dalam ketertindasan.
Sajak Diponegoro bukan sekadar merupakan suatu pengungkapan
rasa takjub seorang pemuda Chairil Anwar terhadap sang pahlawan legendaris Pangeran
Diponegoro. Melainkan dengan sajak tersebut Chairil mau melukiskan kebangkitan
semangat dan tekad perjuangan generasi zamannya dalam melawan penindasan Jepang
untuk memperoleh kemerdekaan.2
Bagaimana merangkum yang bebal-sabar dengan sikap yang binal
dalam satu sosok? Ada kemungkinan seorang aktor memiliki keduanya dalam suatu
waktu yang bersamaan, dan bukankah menulis butuh kesabaran (kebebalan)
sekaligus bergerak liar?:
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulang yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
Sajak “Kesabaran” yang sempat popular lewat film ‘Ada Apa
Dengan Cinta’, dalam film itu, Cinta, karakter yang diperankan oleh Dian
Sastrowardoyo sempat membacanya sekilas. Penerimaan seorang pembaca terhadap
sajak seorang Chairil adalah semacam ‘review’
terhadap ‘slide-slide’ sejarah. Bukan
sekedar mempelajari suatu tehnik penyederhanaan kata yang memberi efek ‘dramatis’
ditiap sajaknya, tapi bahkan suatu tampilan situasi yang direkam oleh Chairil
lewat kata-kata yang ia tanam dalam sajaknya.
Suatu pengungkapan akan suatu penantian yang sekaligus
ditawarkan, seakan sekali waktu pernah dikhianati:
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Ketegasan dalam mempertanyakan status dalam masyarakat, ya
ketegasan memang diperlukan agar tersisa ruang untuk senantiasa saling
mengenal, sekali ditinggal, biar hilang, tanpa penyesalan dan hidup berjalan
sebagaimana mestinya hidup berjalan, tanpa penindasan. Tegas harus senantiasa
menolak segala yang menindas, segala yang tertindas hanyalah keadaan asing yang
tak kenal ampun, keadaan yang tidak dikenal:
Aku berkaca
Bukan buat ke pesta
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru-menderu
-dalam hatiku?-
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal…
Selamat tinggal…!!! (Sajak “Selamat Tinggal” versi ‘kerikil
tajam dan yang terampas dan yang putus’)
(1)
Benazir Nafilah, Bermula dari sia-sia hingga
semangat membakar hampa, dalam Kumpulan essai: Politik Budaya dan Tendensi
Konsumtif (Kantor Arsip dan Perpustakaan Pemerintahan Kabupaten Sumenep, 2009)
hlm. 65
(2)
A.G. Handzarmawit Netti, Sajak-sajak Chairil
Anwar dalam kontemplasi (Surabaya: B You Publishing, 2011) hlm. 45