Memang bukan semangat saya untuk selalu berfoya-foya, tapi terkadang
ada juga keinginan untuk mencoba, minimal menikmati beberapa hal mewah,
semisal rokok Dji Sam Soe premium yang lebih dikenal dengan istilah
'reffil' atau 'nyruput' kopi luwak yang konon katanya punya kelas
tersendiri di Eropa sana~jangankan di Eropa, di tanah air saja seakan
jadi minuman khas para raja dengan harga yang seperti itu.
Meskipun pikiran saya memberontak dengan gagasan "tidak
hanya para raja saja yang dapat menikmati keistimewaan dalam alam
demokrasi" tapi kenyataan toh punya cerita lain, dan saya harus
bersepakat dengan kenyataan. Jelata dalam sejarahnya selalu saja berada
dalam bentuknya yang susah tanpa keistimewaan.
Kopi luwak per 100 gramnya bisa didapat dengan ongkos dua ratus ribu,
sedang untuk Dji Sam Soe 'reffil' dengan harga sekitaran tiga belas
ribu perbungkus, hal semacam ini sudah terlanjur mewah buat orang
seperti saya yang biasanya juga menikmati segalanya dengan 'ala
kadarnya'. Toh saya pun harus selalu berusaha menjadi orang yang
beriman, saya dapati dari buku "Ikhlas Tanpa Batas" terbitan Zaman
bahwasannya iman itu terdiri dari "separonya itu sabar dan separo yang
lain adalah syukur".
Beruntung atau mungkin kebetulan
saya dapat menikmati keduanya secara bersamaan, jadi semacam obat rindu
untuk menikmati kemewahan ditengah kesempatan yang semakin sempit ini.
Bahagia juga rasanya, sembari berharap dalam hati semoga kelak dapat
terulang kembali hal yang sedemikian.
Ceritanya begini,
karena kadung pinginnya menikmati hidup saya beli saja rokok Dji Sam
Soe premium dengan sedikit uang honor bulan ketiga ditahun 2012 ini, ya
sepulang kerja saya langsung menuju kios rokok dengan harapan yang
berlebih untuk segera menikmati, setelah itu saya langsung pulang, waktu
itu lagi "nggak pingin yang lain" hanya ingin bersantai di rumah dengan
menghisap 'reffil'.
Belum sempat membuka bungkusnya
sudah ditawari satu sasetan kopi bubuk oleh adik saya, bungkusnya dari
kertas karton bergambar biji kopi dan seekor "luwak!", terkejut juga
hati ini mendapatinya, terbayang pula sedap aromanya.
Sambil
nunggu air mendidih saya sulut sebatang sam soe reffil, khas sensasinya
meruang dalam sanubari para penikmat kretek seperti saya. Berselang
kemudian setelah saya racik kopi luwak, saya duduk menyendiri di kamar,
sedikit mencicipi kopi luwak yang sebelumnya 'menggeber' aroma khas dari
cangkir saya. Nikmat, serasa menghadirkan surga kedalam kamar saya,
inilah raja sehari pikir saya.
Ada keinginan untuk coba
menikmati secara bersamaan, tidak akan saya sia-siakan hak istimewa
yang kali ini saya dapatkan, hisap sam soe reffilnya bersambung dengan
'nyruput' kopi luwak. Rusak, sensasi kretek sekaligus aroma kopi hilang,
tidak ada yang istimewa jadinya. Lewat begitu saja.
Saya coba lagi, tetap saja tidak ada yang istimewa. Selanjutnya saya
pikir lebih baik dilakukan dengan cara bergantian, sensasi kenikmatan
juga belum kembali, tetap sama, tidak ada yang istimewa.
Sadar
saya seketika, percobaan pesta demokrasi telah menemui kegagalan dalam
diri saya, sensasi kenikmatan kretek yang diwakili sam soe reffil dengan
sensasi kenikmatan kopi luwak saling bertabrakan, tidak ada
kesepakatan, masing-masing pihak berusaha untuk mendominasi tanpa ada
rasa gotong royong dan asas musyawarah mufakat. Pun saya pikir
memang~jika kembali pada keseharusan, demokrasi itu dibangun dengan
kegotong royongan, bukan dengan upaya saling mendominasi dan saling
jegal, jika itu terjadi maka rusaklah bangunan demokrasi itu.
Demikian
dari pengalaman menikmati sensasi rokok kretek dan kopi luwak saya
temukan bahwasannya segala yang mewah itu belum tentu istimewa, bisa
jadi malah merusak nikmat keistimewaan itu sendiri. Salam.