Air jernih mengalir
ya tiada mengapa
sejuk angin berhembus
ya biar
purnama melambung pelan-perlahan
tak resah sebab karenanya malam jadi indah,
seindah rasa yang dulu (pernah) datang
~kini; redup, hilang
ya tiada mengapa,
biar kubawa diam
masih juga menunggu puncak malam
diiring nada lewat tarian jemari
coba (ku)nikmati (ke)sepian ini
hanya sendiri
diantara segala yang berlalu
ya tiada mengapa
jembatan kayu jadi saksi bisu
langkah(ku) kian ragu
sedang didepan sana sang saka
berkibar malu-malu
"tersalamkan kedaulatan penuh persahabatan
kepada seluruh bangsa di dunia:
kami, ya Indonesia, masih ada"
setapak jalan jadi persemaian kuncup-kuncup bunga bangsa
ya, bangsa, bangsa yang besar
guguran daun cemara
bikin subur tanah air yang entah milik siapa
ya sudah
hampir malam buta
sepi semakin menjadi
ya sudah
biar nikmat setiap duka
(ku)titip rindu-cemburu dalam do'a
dan kata-kata ikut berlalu
ya sudah
masih tersisa kata sekedarnya saja
sekedar untuk nanti
untuk nyatakan
malam melambat
(ke)sepian semakin rekat tersemat
ya sudah
tiada mengapa
kesendirian adalah kehadiran
(pinus dan cemara seakan jadi pilar-pilar yang tegar diantara keheningan malam, sepasang sepatu lusuh berdebu jadi tambah letih untuk selalu menjauh dari kerlip lampu-lampu yang menyala satu persatu menyambut malam. Meja kayu dan kursi batu, secangkir kopi hangat tawarkan aroma tuk sekedar hiasi rindu, lalu unggun perlahan padam, isyaratkan tuk selalu diam dalam kesendirian. Ya sudah, semoga saja tersampaikan salam segenap rindu~sedang langkah semakin ragu)
No comments:
Post a Comment