ini aku
boleh kau bakar hingga jadi abu
atau kita bisa duduk tenang
berbicara tentang yang patut dibicarakan
boleh kau sayat hingga berdarah-darah
atau kita bisa bercengkrama
nikmati kehangatan yang ada
boleh kau injak hingga rata dengan tanah
atau kita bisa bersantai di pantai
sembari nyalakan unggun sama-sama,
kalau kau suka
nanti kita juga bisa main halma
boleh kau hujat hingga benar-benar hina
atau kita bisa saling tukar sajak
pada hari paling istimewa
ini aku
manusia yang sama
atau memang kau ingin?
Sebagaimana yang lain ingini?
Aku jadi sampah yang tak layak,
tempat segala umpatan-hinaan
dan kecurigaan
serta tuduhan yang tak mendasar?
SILAHKAN SAJA
...
... ...
... ... ...
"merdeka"
About Me
- Yoehan Rianto Prasetyo
- seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki
Anda pengunjung ke:
Friday, November 30, 2012
Monday, November 26, 2012
yang patah ini hatiku
I
yang patah ini hatiku
menggelepar dalam sunyi
kenyataan memang perlunya buat dilawan
tapi malah tambah hancur
jadi tempat segala dikubur:
caci maki
juga kecemburuan yang sepi
kata orang "patah tumbuh hilang berganti"
tapi tetap saja terkurung sunyi
dan... siapa juga yang peduli
biar kurawat sendiri
hingga nanti
ketika ia harus kembali
tentu, kepada Ilahi Robbi
II
yang patah ini hatiku
tiada yang tahu
mulut kubiarkan membisu
sembari nonton tingkahmu
~ah, sepertinya aku pernah cemburu
biarlah
nanti juga muncul episod yang baru:
tentang kau
atau
aku harus nulis judul sajak yang baru
III
sekali ini kudapati
kidung sunyi dari dalam hati
sakit ini jadi milik sendiri
kuyakini itu
sambil kata
"Tuhan tidak bersalah akan ini"
sebab
yang patah ini hatiku
biar kurawat sendiri
kalau sudah pulih
aku kembalikan
kepada Tuhan
IV
yang patah ini hatiku
demikian berkali-kali
entah kapan berhenti
yang patah ini hatiku
menggelepar dalam sunyi
kenyataan memang perlunya buat dilawan
tapi malah tambah hancur
jadi tempat segala dikubur:
caci maki
juga kecemburuan yang sepi
kata orang "patah tumbuh hilang berganti"
tapi tetap saja terkurung sunyi
dan... siapa juga yang peduli
biar kurawat sendiri
hingga nanti
ketika ia harus kembali
tentu, kepada Ilahi Robbi
II
yang patah ini hatiku
tiada yang tahu
mulut kubiarkan membisu
sembari nonton tingkahmu
~ah, sepertinya aku pernah cemburu
biarlah
nanti juga muncul episod yang baru:
tentang kau
atau
aku harus nulis judul sajak yang baru
III
sekali ini kudapati
kidung sunyi dari dalam hati
sakit ini jadi milik sendiri
kuyakini itu
sambil kata
"Tuhan tidak bersalah akan ini"
sebab
yang patah ini hatiku
biar kurawat sendiri
kalau sudah pulih
aku kembalikan
kepada Tuhan
IV
yang patah ini hatiku
demikian berkali-kali
entah kapan berhenti
Sunday, November 25, 2012
obrolan pada suatu malam: tentang kemanusiaan
pada malam,
meraba ketabahan
rayakan kesabaran
tafsirkan kemanusiaan:
meraba ketabahan
rayakan kesabaran
tafsirkan kemanusiaan:
dari tanah,
tanah
yang kau ludahi
kau injak dan kau kotori
tanah
tempat segala tumbuh-berawal
juga jadi tempat
nanti
ketika raga kembali ditanam
tanah
yang kau ludahi
kau injak dan kau kotori
tanah
tempat segala tumbuh-berawal
juga jadi tempat
nanti
ketika raga kembali ditanam
Thursday, November 22, 2012
Kepada cahaya
mendung sayang
rintik hujan juga tak henti
tadi
hangat sebentar
lalu mendung berarak datang
aku masih disini
kau cahaya
hangat menyapa
kau bintang
berpijar untuk sang malam
kau mentari
hadirkan yang terang-nyata
tetaplah terang
agar dunia tiada gelap-beku
jangan datang,
(jika) bersamaku
kau redup-hilang
tetaplah
benderang
tetaplah jadi penerang
~penuntun langkah
agar tak hilang arah
mendung sayang
rintik hujan juga tiada henti
aku masih disini,
berpikir:
setelah cahaya
entah apa
...
... ...
... ... ...
"merdeka!"
(kepada Cahaya, dariku: seorang lelaki bermata kabut)
rintik hujan juga tak henti
tadi
hangat sebentar
lalu mendung berarak datang
aku masih disini
kau cahaya
hangat menyapa
kau bintang
berpijar untuk sang malam
kau mentari
hadirkan yang terang-nyata
tetaplah terang
agar dunia tiada gelap-beku
jangan datang,
(jika) bersamaku
kau redup-hilang
tetaplah
benderang
tetaplah jadi penerang
~penuntun langkah
agar tak hilang arah
mendung sayang
rintik hujan juga tiada henti
aku masih disini,
berpikir:
setelah cahaya
entah apa
...
... ...
... ... ...
"merdeka!"
(kepada Cahaya, dariku: seorang lelaki bermata kabut)
Tuesday, November 20, 2012
obrolan tentang keadaan (kita... materialist)
mungkin sekedar keadaan
tidak pernah sekalipun
~dari awal jumpa yang lalu,
kita bentangkan pikiran
menantang kenyataan
hampir selalu tentang keadaan
yang mempengaruhi pikiran
sedang harapan redup-hambar
tanpa pernah ada kemauan
untuk melawan
kemana perginya gagasan?
Segala mengalir seakan tanpa kesadaran,
atau hanya sekedar ketakutan:
ragu untuk mampu mengatasi keadaan
tidak pernah sekalipun
~dari awal jumpa yang lalu,
kita bentangkan pikiran
menantang kenyataan
hampir selalu tentang keadaan
yang mempengaruhi pikiran
sedang harapan redup-hambar
tanpa pernah ada kemauan
untuk melawan
kemana perginya gagasan?
Segala mengalir seakan tanpa kesadaran,
atau hanya sekedar ketakutan:
ragu untuk mampu mengatasi keadaan
Monday, November 19, 2012
obrolan
selarut ini kita bertemu diatas tanah merdeka
hampir tanpa kedaulatan kita bentangkan cita dan harapan
kau sampirkan surbanmu sekenanya
sangat sederhana kita maknai gelapnya malam
kita memang jalanan
jelata yang bukan rongsokan
tetes hujan pertama tadi milik bersama
hingga nanti,
ketika ia mengisi gelas-cangkir
yang entah milik siapa
kita kenangkan malam ini
Tan Malaka
H.M Misbach
juga Marsinah
hadirkan seluruhnya
juga dengan Hatta, Sjahrir dan H. Agus salim
jangan lupa ajak orator kita
Soekarno
lalu kita berbincang lama-lama
sambil nunggu
kabut datang gantikan duka
sebab hujan sudah mulai reda
kabut datang
kita menghambur-hilang
sebab, esok pagi kita musti kembali
berbaur dengan debu
diantara para tertindas
menyobek catatan-catatan sejarah
biar akrab melekat diotak mereka
kau pakai surbanmu sekenanya
kepadamu kuberikan nada
dan syair penuh harapan
nanti kita nyanyi sama-sama
ketika Indonesia benar-benar telah merdeka
hampir tanpa kedaulatan kita bentangkan cita dan harapan
kau sampirkan surbanmu sekenanya
sangat sederhana kita maknai gelapnya malam
kita memang jalanan
jelata yang bukan rongsokan
tetes hujan pertama tadi milik bersama
hingga nanti,
ketika ia mengisi gelas-cangkir
yang entah milik siapa
kita kenangkan malam ini
Tan Malaka
H.M Misbach
juga Marsinah
hadirkan seluruhnya
juga dengan Hatta, Sjahrir dan H. Agus salim
jangan lupa ajak orator kita
Soekarno
lalu kita berbincang lama-lama
sambil nunggu
kabut datang gantikan duka
sebab hujan sudah mulai reda
kabut datang
kita menghambur-hilang
sebab, esok pagi kita musti kembali
berbaur dengan debu
diantara para tertindas
menyobek catatan-catatan sejarah
biar akrab melekat diotak mereka
kau pakai surbanmu sekenanya
kepadamu kuberikan nada
dan syair penuh harapan
nanti kita nyanyi sama-sama
ketika Indonesia benar-benar telah merdeka
Subscribe to:
Posts (Atom)