Yono, sikecil alim yang berpeci, berlari lalu sembunyi di kolong ranjang. Bapak Usman ngamuk lantaran Yono, anaknya sudah seminggu tidak hadir disekolah. Yono jadi suka bolos bukan karena tidak ingin sekolah, tapi takut tidak dapat kerja, esok kalau sudah besar. Jadi ia harus pandai-pandai mengatur waktu, seminggu untuk sekolah dan seminggu untuk cari uang.
“Dasar anak nggak tahu di untung…pemalas sialan, keluar kau!” Bapak Usman bengis setelah mendengar kabar dari mulut Bu guru, lalu ia geram, mencak-mencak, tidak ketinggalan sumpah serapah “jancuk!” untuk Yono, anaknya.
Bag!...bug!...ceplak!
“Ampun pak! Ampun…” Yono kecil memohon kepada ayahnya, setelah tertangkap dan diseret dari kolong ranjang. Menangis? Itu sudah pasti. Segenap jiwa raga Yono kecil memelas, memohon “ampun, ampun pak… ampun!” lalu lirih, suaranya tersedak oleh tangis dan takut.
***
Yono, sikecil alim yang berpeci, pendiam, pemalu dan perenung jempolan. Yono kecil terlahi ditengah carut-marut ketidak pastian dan ketidak adilan. Tidak seperti Joshua yang terkenal dan beruntung dapat berjabat tangan denganB.J. Habibie. Tapi otak Yono tidak kalah dengan otak seorang Habibie, ataupun mulut seorang Ira Koesno, penyiar cantik di Tipi. Oleh karena Yono, sikecil alim yang berpeci adalah perenung, pemikir dan harus menerima jalan hidupnya sendiri dan menjalaninya sendiri.
Seperti ketika ia ditanyai gurunya “apa cita-citamu Yono?” kontan, Yono menjawab apa adanya, yang penting dapat hidup makmur. Tidak usah pusing-pusing mikir cita-cita karena uang, harta dan kerja selalu membayang. Setiap kali ditanya soal cita-cita, Yono selalu mengarang tidak pasti, dari presiden sampai pilot yang terbang dengan gagah dan semua itu membuat Yono kecil berfikir, merenung dan mempertimbangkan.
Sepengetahuan Yono “presiden itu adalah orang kaya yang menjadi pemimpin Negara, sedangkan aku ini bukan orang kaya, mana bisa jadi presiden kalau nggak kaya dahulu” lalu jadilah Yono sebagai pekerja, mengoleksi rupiah sebagai bekal menjadi presiden.
Beban dan angan-angan Yono tidak hanya berhenti pada persoalan uang, kaya dan menjadi presiden. Tapi bagaimana untuk dapat segara bekerja dalam masa kanak-kanaknya. Begitu pula dengan kehadiran Sontol temannya yang memiliki mulut yang tidak kalah lincah dengan Dr. Boyke, dan selalu mengolok-olok Yono dari perjodohan Yono dengan Menik, hingga guyonan tujuhbelas tahun keatas, porno.
Entah, Yono selalu mendengar, diam saja dan malah senyum-senyum antara tidak mengerti dan pengen tahu ketika Sontol berkata “Yon, itu si Menik nyari kamu, katanya pengen dibikinin anak” jadinya, Yono yang empat eSDe ini harus dewasa sebelum waktunya.
Lain pengetahuan, lain pula kedewasaan Yono dalam menerima, seperti ketika ibunya bertanya “pingin jadi apa kalau kamu sudah besar Yon?”.
“Pengen jadi tukang becak” mantab, sebab Yono waktu itu melihat Pak Dar, tukang becak yang sedang menghitung uang hasil kerja seharian.
Dilain hari, tidak puas dengan jawaban anaknya, ibu si Yono bertanya lagi “pingin kerja apa Yon? Nanti, kalau sudah besar” waktu itu lewat Pak Mar, penjual bakso yang lelah sumringah, beristirahat sambil menghitung uang. Jadilah Yono menjawab “Tukang bakso”.
Masih juga belum puas, ibunda Yono yang mengharapkan anaknya berprofesi seperti almarhum kakek saat masih muda yang berpangkat kopral dan sukses menjadi ‘centeng’ seorang pemborong berkebangsaan Cina.
Dan waktu itu Yono sedang asyik nonton film ‘Dukun Kaya’ menjawab “jadi dukun Bu” sopan, kalem bikin jengkel sang ibu.
Sekali lagi, dengan rasa sesak yang membahana didalam dada, ibunda Yono kembali bertanya “cita-citamu itu lho apa? Yono…” membuat dunia terharu. Tapi Yono yang plin-plan jadi bingung.
Yono sikecil alim yang berpeci gemar menabung, rupiah sisa jajan dan hasil kerja masuk mengisi celengan ayam, dan sering pula puasa jajan. Kikir, pelit sama teman, juga pelit kepada dirinya sendiri. Hingga ia pun lupa dengan ambisinya untuk menjadi presiden, sebab ia asyik memburu rupiah. Gawatnya, Yono juga mulai tertarik untuk membeli mainan, mobil-mobilan canggih yang bisa jalan sendiri seperti di film kartun minggu pagi. Lebih gawat lagi, Bapak dan Ibu nya kadung sumringah mengetahui anaknya, Yono sikecil alim yang berpeci ingin jadi presiden.
Saking gawatnya situasi, Bapak Usman yang lagi semangat dan gencar-gencarnya membakar ambisi Yono untuk giat belajar dan menjadi presiden, harus rela kerja keras, banting tulang dan tidak lupa mendakwa anaknya sepulang kerja.
Yono, sikecil alim yang berpeci, jadi acuh, masa bodo ketika Bapak Usman berkata “sekolah yang rajin, Bapak mau lihat waktu kamu lulus kuliah nanti” karena Yono harus mengejar cita-citanya yang baru, mobil-mobilan canggih yang bisa jalan sendiri, seperti yang dimiliki Rohim anak tentara pangkat Mayor, tetangganya. Yono tidak lagi rajin hadir disekolah, sebab ia harus mengumpulkan uang dari hasil menyapu mikrolet diterminal. Tidak lupa belajar merokok.
Belajar merokok? Sambil sembunyi dirumah kosong disamping sekolah bersama Rohim yang mendadak jadi sohib, Yono belajar menghisap asap, mengenal berbagai macam bentuk dan merk rokok, dari yang mahal sampai yang paling kacangan. Dari sini Yono tidak lagi berangan-angantentang presiden ataupun mobil-mobilan oleh karena Rohim sombong “rokok ginian sih, ya setiap hari ada dikamar. Malah sekarangjarang ada, soalnya murah sih, rasanya nggak begitu istimewa, kacangan” pamer, sok dewasa kepada Yono “itu lho Yon, kamu coba yang merk letter M atau letter S dijamin deh, ngangkat” Rohim, sebenarnya tidak mengerti dengan kata-katanya sendiri. Soalnya niru omongan kakaknya, mahasiswa pemadat. Dan Yono, sikecil alim yang berpeci hanya mantuk-mantuk, skeptis, menjelajah dan mencoba-coba merk rokok. Kecanduan. Tidak ada secuilpun pikiran untuk rajin sekolah, seperti petuah Bapak Usman.
Sampai ketika Bu Guru Getty yang patriotis, sok pahlawan yang lulus kuliah dengan IPK tinggi karena pandai menjilat dosen, bertindak tanpa sempat berfikir. Karena mendapati Yono sikecil alim yang ketua kelas tidak pernah hadir di kelas dan teman-teman sekelas Yono mulai jengah lalu demonstrasi menuntut Yono segera mundur dari jabatannya.
Yono, sikecil alim yang berpeci dijemput Ibu Guru Getty, teman-teman kritis berteriak “Revolusi! Revolusi turunkan Yono” Bu guru jadi cemas. Bapak Usman cemberut, geram menanti dirumah, sedangkan Yono, sikecil alim yang berpeci diam terpekur karena tidak mengerti dan berteriak “Revolusi matamu! Nggak jadi ketua kelas, nggak pathe’en” dan diamlah seluruh teman kelas Yono mendapati Yono yang tiba-tiba menangis.
Dirumah, Bapak Usman yang telah mendapati kejujuran yang menyakitkan hati dari Bu Guru Getty, bukan lantaran Bu guru menolak cinta Bapak Usman, tapi tentang kelakuan anaknya yang konyol hingga membuat Ibunda Yono tiba-tiba terserang demam, dan Bapak Usman terus berpuisi “keparat sialan, f**k!” dirumah.
“Bagaimana bisa jadi presiden, lha wong disekolahan saja didemo sama teman-temannya, brengsek! Nggak mungkin bisa jadi presiden kalau nggak punya jiwa pemimpin seperti itu” celoteh Bapak Usman melampiaskan kekecewaan.
Setelah bertemu rekan-rekan sekelas, Yono jadi insaf dan pulang. Dirumah Bapak Usman menunggu dengan rotan panjang ditangan, sangar menanti didepan pintu. Sedangkan Yono jadi tidak berani pulang. Bapak Usman lari mengejar Yono yang lari, takut dan nangis, lalu menyelinap masuk ke dalam kolong ranjang. Disaksikan Ibunda dan adik Bayi, Yono nyungsep kedalam kolong ranjang.
***
Yono, sikecil alim lugu yang berpeci bersepeda di pagi hari, menghibur diri setelah dihajar kungfu Bapak Usman. Naik sepeda kayuh milik Bapak Usman yang pengrajin rotan yang sudah tenang pagi itu. Mengayuh, melamun, dan menyanyikan lagu ‘Creep’nya Radio Head. Disepanjang jalan, Yono melamun membawa keinsafan “sekolah yang rajin biar nggak dimarahi bapak dan bu guru, sekolah yang rajin biar nggak dibenci teman. Tapi, gimana caranya biar dapat uang yang banyak” begitu pikirnya, kembali pada ambisi memiliki uang, sedangkan ia bingung, ia harus rajin sekolah. Bagaimana caranya agar jadi kaya? Mencuri, takut sama guru ngaji, belum lagi sama polisi.
Menjelang sore, Yono belum pulang. Dirumah Ibunda menangis khawatir, Bapak Usman bingung mencari-cari Yono, anaknya. Bapak Usman menyesal karena mengajak Yono bermain Smack Down kemarin siang, dan ia terus mencari.
Malam menjelang, burung malam bernyanyi kelam menyambut kehadiran sang rembulan dan lautan bintang. Yono, sikecil alim yang berpeci ditemukan menangis karena tersesat dijalan. Ditemukan oleh bu guru kita yang berwibawa dan diantar pulang. Sesampainya dirumah, haru menunggu. Yono sikecil alim yang cengeng dipeluk oleh Ibunda. Bapak Usman mengundangi para tetangga untuk mengadakan selamatan bagi kepulangan Yono, anaknya, malam itu juga.
Jangan bertanya kepada Yono tentang kerja dan cita-cita, karena masa depannya telah diberi sket-sket kelas, tanyakan saja pada Bu guru, ingin dijadikan apa Yono kelak. Maukah masyarakat menyediakan bangku didalam kelas kepada Yono tanpa harus membedakannya dengan siswa yang lain karena masalah biaya? Atau bahkan memisahkannya dengan memberinya sekolah diluar sekolah-sekolah mentereng? Tanyakan saja.
Udara mengalir hening dikotamu diantara dinding – dinding diam yang menyimpan kisah seperti bentangan siluet yang menghadirkan bayang –bayang ceriamu tersenyum anggun menabur kerinduan kota milikmu semakin ramah oleh bayang senyum itu
(II)Batu
Duduk memandang hilir keramaian menjelang malam dikota milikmu
Ada setangkup rindu tersaji diatas piring kenangan walau sudah lama kau buang
Orang ramai datang dan pergi seperti rangkaian cerita ada remaja berseragam lupa dengan rumah ada yang melenggang ringan habis tebar uang ada yang berdua mesra bercengkrama serasa dunia milik berdua yang laki mengalungkan syal pada leher perempuan dijawab dengan sipu tanda malu
Menjelang malam kota milikmu berselimut kabut
(III) Malang
Ada segaris awan di langit kotamu tipis memudar putih di bentangan biru seperti bentangan rindu hatiku
Udara mengalir lembut dingin mengusap wajahku bercampur sapa ramah matahari hangat sudah rasa musim dikota milikmu memeluk erat kuncup-kuncup bunga yang bermekaran merah muda di pucuk-pucuk hijau dahan anak-anak terlihat riang mengisi hari bermain dan berkelahi yang tua masih lincah menjaga semangat dan aku diam dalam hidangan alam
Kota milikmu tidak lengkap tanpa kehadiran senyum ramahmu
(IV) Angin mengalir sertakan rindu yang dulu ku titipkan mengapung bersama bayangmu
di luar hujan turun dengan malas aku berteduh pada atap angan dimana seharusnya mampu ku genggam hangat cintamu
Malang, meski berganti nama rindu ku takkan hilang arah