mendung jenuh
nggantung disana
nunggu waktu
air menderas
lalu terserap tanah
sebelum mengalir
dalam cangkir-cangkir
jadi sajian senja kala
para pemetik kata
About Me
- Yoehan Rianto Prasetyo
- seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki
Anda pengunjung ke:
Thursday, November 21, 2013
Wednesday, November 20, 2013
Aku Kini
aku
bukan lagi pemuda
yang dulu kau tinggalkan
tiada ingin berlama-lama
dalam pembuangan
aku
sudah lama terbang
seperti elang
lebih bahagia dalam juang
bukan lagi pemuda
yang dulu kau tinggalkan
tiada ingin berlama-lama
dalam pembuangan
aku
sudah lama terbang
seperti elang
lebih bahagia dalam juang
Saturday, November 9, 2013
Mengenang (atawa merindu) Indonesia
ada selembar pesan
lalu tegur-sapa dalam tulisan
coba sulam dan rapikan
hingga bentuk senyum yang kurindukan
sekedar manifestasi imajinasi
~senyum itu, serupa Indonesia
negeri makmur, elok nan ku cinta
bangsa besar yang ramah dalam cita-cita
atau hanya "stop" jadi angan semata
Indonesia
coba kau sulam dan rapikan
hingga tak lagi terdengar
ratap-tangis penderitaan
lalu tegur-sapa dalam tulisan
coba sulam dan rapikan
hingga bentuk senyum yang kurindukan
sekedar manifestasi imajinasi
~senyum itu, serupa Indonesia
negeri makmur, elok nan ku cinta
bangsa besar yang ramah dalam cita-cita
atau hanya "stop" jadi angan semata
Indonesia
coba kau sulam dan rapikan
hingga tak lagi terdengar
ratap-tangis penderitaan
coba sulam dan rapikan
hingga bentuk senyum yang kurindukan
sekedar manifestasi imajinasi
~senyum itu, serupa Indonesia
negeri makmur, elok nan ku cinta
bangsa besar yang ramah dalam cita-cita
atau hanya "stop" jadi angan semata
Indonesia
coba kau sulam dan rapikan
hingga tak lagi terdengar
ratap-tangis penderitaan
Monday, September 30, 2013
rencana untuk suatu malam
aku tadi nyari:
selembar kesempatan
yang (masih) kosong belum terisi
dan malam ini
arah bidik berganti
selembar kesempatan
yang (masih) kosong belum terisi
dan malam ini
arah bidik berganti
Tuesday, August 27, 2013
orang lilin
kalian tadi lihat ngga'?
Orang-orang seperti lilin
berbicara sebagai penerang
menyingkap segala yang gelap
tapi
dia sendiri yang habis
bicaranya tidak juga bikin terang hatinya
Orang-orang seperti lilin
berbicara sebagai penerang
menyingkap segala yang gelap
tapi
dia sendiri yang habis
bicaranya tidak juga bikin terang hatinya
Friday, August 2, 2013
"Waspa Kumembeng Jroning Kalbu"
dalam masa aku terlahir
membawa biru dan merah anggur
sedangkan burung manyar membuat sarang pada reranting pohon yang rendah
ada pula yang bermesraan diantara tangkai-tangkai daun jagung,
angin berhembus ke tenggara, menuju musim berlabuh:
air mata tergenang dalam batin
membawa biru dan merah anggur
sedangkan burung manyar membuat sarang pada reranting pohon yang rendah
ada pula yang bermesraan diantara tangkai-tangkai daun jagung,
angin berhembus ke tenggara, menuju musim berlabuh:
air mata tergenang dalam batin
Thursday, August 1, 2013
sebuah cita: tanah air-bangsaku
Pagi ini
aku nonton guguran cahaya
butir-butir embun jadi berkedipan
lalu hangat perlahan terbit
ada sepasang warna berkibaran
di halaman depan masjid
di halaman depan gereja
di depan wihara
di sebuah klenteng
di dalam pagar pura,
sepasang warna
untukmu jua:
ketika anak-anak beriring jalan
sembari bergandengan tangan
dan pedagang datang ramaikan pasar
ada keramahan disetiap tegur sapa
kalian tau?
Inilah Indonesiaku,
Indonesia dalam cita-citaku
aku nonton guguran cahaya
butir-butir embun jadi berkedipan
lalu hangat perlahan terbit
ada sepasang warna berkibaran
di halaman depan masjid
di halaman depan gereja
di depan wihara
di sebuah klenteng
di dalam pagar pura,
sepasang warna
untukmu jua:
ketika anak-anak beriring jalan
sembari bergandengan tangan
dan pedagang datang ramaikan pasar
ada keramahan disetiap tegur sapa
kalian tau?
Inilah Indonesiaku,
Indonesia dalam cita-citaku
Friday, July 26, 2013
Sajak Bolos Kerja
Mungkin, hanya mungkin
akan lebih baik mengambil satu hari
untuk bermalas-malasan
daripada terlihat sebagai orang kurang kerjaan
yang serius diantara ketidak seriusan
mungkin akan lebih baik
dicap sebagai "musuh" oleh gerombolan pengkhianat
daripada turut berbaur dalam keriangan mesum
yang penuh kepalsuan,
lebih baik menyendiri dalam meditasi tiada henti
daripada bertarung bahkan bercengkrama
dengan makhluk-makhluk hedon yang saling menikam
lebih baik dianggap sebagai pemalas
daripada menanamkam mentalitas maling
daripada sejajar dengan para bandit peradaban
lebih baik
aku lantunkan do'a dalam kesepian
daripada hadir berjamaah dengan para pesolek:
yang merubah suci-keluhuran dalam kata-kata
tanpa makna
rindang kesepian,
aku tidak sendirian
sekedar saksikan
riuh riang keterasingan
akan lebih baik mengambil satu hari
untuk bermalas-malasan
daripada terlihat sebagai orang kurang kerjaan
yang serius diantara ketidak seriusan
mungkin akan lebih baik
dicap sebagai "musuh" oleh gerombolan pengkhianat
daripada turut berbaur dalam keriangan mesum
yang penuh kepalsuan,
lebih baik menyendiri dalam meditasi tiada henti
daripada bertarung bahkan bercengkrama
dengan makhluk-makhluk hedon yang saling menikam
lebih baik dianggap sebagai pemalas
daripada menanamkam mentalitas maling
daripada sejajar dengan para bandit peradaban
lebih baik
aku lantunkan do'a dalam kesepian
daripada hadir berjamaah dengan para pesolek:
yang merubah suci-keluhuran dalam kata-kata
tanpa makna
rindang kesepian,
aku tidak sendirian
sekedar saksikan
riuh riang keterasingan
Saturday, July 20, 2013
terhasut sepi
malam ini
dingin-kaku
menyadari satu kenyataan
akan keterasingan
dari sudut paling pesimis
aku menatap Indonesia,
aku dan bangsaku,
juga masa depan:
hari-hariku
~seumpama semakin sepi
dingin dan terasing
pada ketiadaan makna
aku berkata:
"kemenangan bukan lagi milik yang benar,
sebab keadilan dicipta dari kekuasaan"
dingin-kaku
menyadari satu kenyataan
akan keterasingan
dari sudut paling pesimis
aku menatap Indonesia,
aku dan bangsaku,
juga masa depan:
hari-hariku
~seumpama semakin sepi
dingin dan terasing
pada ketiadaan makna
aku berkata:
"kemenangan bukan lagi milik yang benar,
sebab keadilan dicipta dari kekuasaan"
Monday, July 15, 2013
Secarik rindu
mungkin rindu ini
yang bikin aku lari
mendekatimu
-------------------------------------------------------------------
duduk berseberangan dengan kesibukan
lalu diam-mengamati bintang
ada hitam dan awan
ada kelelawar
ada rembulan
dan kamu
ini malam
gelap-dingin
diiring doa-doa lepas terurai
betapa bebas,
bebas merindui hadirmu
yang bikin aku lari
mendekatimu
-------------------------------------------------------------------
duduk berseberangan dengan kesibukan
lalu diam-mengamati bintang
ada hitam dan awan
ada kelelawar
ada rembulan
dan kamu
ini malam
gelap-dingin
diiring doa-doa lepas terurai
betapa bebas,
bebas merindui hadirmu
Hadiah untuk tuan: sajak-sajak nantang
7 Juli 2013
tuan
kemari ku kasih hadiah
bayar dendam seribu luka
8 Juli 2013
hanya saja
tuan muda kita
berwatak kerdil
semacam tikus
berkoar dipersembunyian
mari tuan
aku sedang maju menantang
9 Juli 2013
tuan kita
tidak juga mampir nanggapi tantangan
masih
sembunyi-kecut seperti cecurut
ah, kau pengecut
12 Juli 2013
saya lagi nunggu
saat yang paling berbahagia
ketika tuan angkat senjata
saat yang pas
buat jumpa
dalam diplomasi berdarah-darah
tuan
kemari ku kasih hadiah
bayar dendam seribu luka
8 Juli 2013
hanya saja
tuan muda kita
berwatak kerdil
semacam tikus
berkoar dipersembunyian
mari tuan
aku sedang maju menantang
9 Juli 2013
tuan kita
tidak juga mampir nanggapi tantangan
masih
sembunyi-kecut seperti cecurut
ah, kau pengecut
12 Juli 2013
saya lagi nunggu
saat yang paling berbahagia
ketika tuan angkat senjata
saat yang pas
buat jumpa
dalam diplomasi berdarah-darah
Sunday, July 7, 2013
Sajak dalam (suatu) diskusi sejarah
hitam selembar
digulung-dilipat
yang sadar beranjak pulang
tak betah terus dipasung mimpi,
sejarah
tinggal selembar sajalah
warna hitam
tertuang lebih dalam
lebih tenang-lebih kelam
menapak dalam sadar
serumpun tanya menggelepar
semoga anda benar
digulung-dilipat
yang sadar beranjak pulang
tak betah terus dipasung mimpi,
sejarah
tinggal selembar sajalah
warna hitam
tertuang lebih dalam
lebih tenang-lebih kelam
menapak dalam sadar
serumpun tanya menggelepar
semoga anda benar
Saturday, June 29, 2013
sepi
Firasat yang tidak menyenangkan...
Kematian adalah hal yang pasti, menjadi kesadaran dan pamungkas dari segala perjalanan, tidak dapat ditawar.
Hidup boleh punya pilihan, boleh punya warna-warninya, tapi muaranya satu: kematian.
Boleh saja kehadirannya dirindu bahkan ditakuti. Bukan kematian yang kutakuti, bukan pula kematian yang ku rindui. Kita dan kebenaran berbatas kematian.
Mungkin lain kali aku ada dalam pengasingan, dipisah dari segala bentuk intervensi manusia sebelum datang ajalku. Mungkin itulah puncak dari kesepian, sebelum sepi yang sama kembali memelukku dalam kubur.
Tambah sepi ketika neraka membelenggu.
Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah.
Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah.
Kematian adalah hal yang pasti, menjadi kesadaran dan pamungkas dari segala perjalanan, tidak dapat ditawar.
Hidup boleh punya pilihan, boleh punya warna-warninya, tapi muaranya satu: kematian.
Boleh saja kehadirannya dirindu bahkan ditakuti. Bukan kematian yang kutakuti, bukan pula kematian yang ku rindui. Kita dan kebenaran berbatas kematian.
Mungkin lain kali aku ada dalam pengasingan, dipisah dari segala bentuk intervensi manusia sebelum datang ajalku. Mungkin itulah puncak dari kesepian, sebelum sepi yang sama kembali memelukku dalam kubur.
Tambah sepi ketika neraka membelenggu.
Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah.
Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah.
Friday, June 28, 2013
Kegelisahan dan kebingungan
Orang
bilang hidup adalah pilihan, setiap pilihan adalah permainan, orang
sering bicara betapa mengerikan neraka sekaligus betapa nyaman kehidupan
di surga, tapi saya seringnya berpikir "apa gunanya hidup di surga jika
penuh dengan kebencian, intrik dan hujatan? Jika hidup di neraka ada
kenyamanan dan ketentraman?"
Tidak ada alasan yang dapat dijelaskan untuk pikiran ini selain kenyataan yang kita jumpai, kenyataan yang selalu sibuk dengan hujat-menghujat, kenyataan tentang bagaimana kita diperlakukan, entah sebagai apa?. Jika hidup adalah suatu pementasan drama, maka tinggal pilih jadi antagonis, protagonis atau sekedar jadi figuran, yang pasti tidak pernah untuk menjadi penonton.
Bagaimanapun perlakuan masih dapat diterima sepanjang tidak menghadapi mentalitas kerdil, itu prinsipnya. Sebagaimana filosofi jawa yang berkata "Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake"~Kekayaan diri bukan (hanya) dari harta, kekuatan memang sudahlah ada yaitu kesadaran dan kesabaran, menjalani perang walau sendirian, ketika menang tidak merendahkan yang dikalahkan.
Senantiasa mempersiapkan diri untuk tetap menjadi revolusioner, selalu bersiap untuk perubahan sebab hidup tidaklah stagnan, tiap kali harus hijrah.
_______________ _________________ __________________ ________________
Inilah yang tersembunyi dalam hati, diorama kehidupan yang tidak pernah saya mengerti dalam upaya saya berdamai dengan keadaan selalu saja bersambut dengan hujat-caci dan kebencian. Bukan karena tidak memiliki catatan harian saya menulis ini dalam blogger, tapi kebingungan tindakan-tindakan yang selalu merendahkan yang hampir-hampir tidak pernah saya lawan~sebab ada kesadaran bahwa tidak terdapat sama sekali bagi saya suatu hak untuk membela diri, dan sadar pula bahwa kesepian adalah derita hingga mati.
kuasa... kuasa... kuasa apalagi? Apalagi yang hendak mereka kuasai? Tiada sedikitpun keinginan saya untuk mengganggu-berseteru (senantiasa pergi-lari menghindar) sedang diri selalu bersiap hijrah, bersiap menghadapi perubahan... yang mematikan sekalipun...
Tidak ada alasan yang dapat dijelaskan untuk pikiran ini selain kenyataan yang kita jumpai, kenyataan yang selalu sibuk dengan hujat-menghujat, kenyataan tentang bagaimana kita diperlakukan, entah sebagai apa?. Jika hidup adalah suatu pementasan drama, maka tinggal pilih jadi antagonis, protagonis atau sekedar jadi figuran, yang pasti tidak pernah untuk menjadi penonton.
Bagaimanapun perlakuan masih dapat diterima sepanjang tidak menghadapi mentalitas kerdil, itu prinsipnya. Sebagaimana filosofi jawa yang berkata "Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake"~Kekayaan diri bukan (hanya) dari harta, kekuatan memang sudahlah ada yaitu kesadaran dan kesabaran, menjalani perang walau sendirian, ketika menang tidak merendahkan yang dikalahkan.
Senantiasa mempersiapkan diri untuk tetap menjadi revolusioner, selalu bersiap untuk perubahan sebab hidup tidaklah stagnan, tiap kali harus hijrah.
_______________ _________________ __________________ ________________
Inilah yang tersembunyi dalam hati, diorama kehidupan yang tidak pernah saya mengerti dalam upaya saya berdamai dengan keadaan selalu saja bersambut dengan hujat-caci dan kebencian. Bukan karena tidak memiliki catatan harian saya menulis ini dalam blogger, tapi kebingungan tindakan-tindakan yang selalu merendahkan yang hampir-hampir tidak pernah saya lawan~sebab ada kesadaran bahwa tidak terdapat sama sekali bagi saya suatu hak untuk membela diri, dan sadar pula bahwa kesepian adalah derita hingga mati.
kuasa... kuasa... kuasa apalagi? Apalagi yang hendak mereka kuasai? Tiada sedikitpun keinginan saya untuk mengganggu-berseteru (senantiasa pergi-lari menghindar) sedang diri selalu bersiap hijrah, bersiap menghadapi perubahan... yang mematikan sekalipun...
Tuesday, June 25, 2013
dari bilik pelarian
sedetik berlalu
sepintas main kejaran dengan rindu
aku menatapmu:
tanpa wudlu terbasuh
~kau layu,
entah bisik apa merayu
lalu runtuh
tetes demi tetes air
dari mendung yang jenuh
entah kapan
letih datang menerkam lariku
sepintas main kejaran dengan rindu
aku menatapmu:
tanpa wudlu terbasuh
~kau layu,
entah bisik apa merayu
lalu runtuh
tetes demi tetes air
dari mendung yang jenuh
entah kapan
letih datang menerkam lariku
Friday, June 21, 2013
Dari musikalisasi puisi dan operet (bedah seni pertunjukkan lewat pengalaman Karter-Kartika Teater)
Saya masih bingung, sejak anak-anak Karter (Kartika Teater)
berpartisipasi dalam suatu festival di Lawang, dalam festival itu
terdapat dua kategori lomba, disebutkan disana "MUSIKALISASI PUISI",
bukan teatrikalisasi puisi dan "OPERET" bukan drama musikal. Saya nulis
ini bukan dalam rangka mengungkapkan kekecewaan atau protes dan
semacamnya, kekalahan/kegagalan bagi saya adalah tidak ada, dan lewat
sudut pandang saya anak-anak Karter sudah menang dari awal~perjuangan
terhebat mereka adalah membentuk jati diri dan kebersamaan ditengah
tekanan yang kerap mereka hadapi. Mereka menang.
Yang saya bingungkan sampai saat ini adalah pemilahan antara muskalisasi puisi dan teatrikal puisi, tanggal 19 Juni kemarin Mega Fadila dan Setya Hanif mewakili teman-temannya dari Karter (Kartika Teater) pada ajang musikalisasi puisi, dan dari paparan juri penilaiannya seputar koreografi dan konsep berkelompok dari peserta, dari hal inilah muncul kebingungan dalam diri saya. Musikalisasi puisi, musik-puisi yaitu penambahan nada pada penyajian-pembacaan puisi, bisa jadi adalah puisi yang diiringi musik atau bahkan puisi yang digubah dalam lagu. Jadi dari puisi yang dibacakan menimbulkan citra, ritme dan daya simbolik.
Sedang teatrikal puisi menurut saya lain lagi, lebih luas, bisa jadi unsur musik adalah bagian didalamnya lengkap dengan unsur gerak (koreografi)~dan kalaupun perlu ada terdapat pertimbangan pemilihan kostum, properti dan permainan cahaya. Teatrikal puisi pun akan menjadi sangat "greget" jika disajikan secara berkelompok, tidak sama seperti penyajian musikalisasi puisi yang dapat disajikan hingga sesederhana mungkin, seorang diripun bisa, bahkan tanpa alat musik sebagai pengiring. Saya bingung yang dilombakan kemarin itu musikalisasi puisi atau teatrikal puisi? Atau kita memang belum memiliki definisi untuk menjelaskan atau sekedar membedakan keduanya?
Dari om wiki saya dapati penjelasan musikalisasi puisi adalah puisi yang disajikan secara musikal, dibedakan dengan lagu puisi yang berarti melagukan puisi seperti ketika Bimbo menyanyikan puisi-puisi karya Taufik Ismail.
Sebenarnya musikalisasi puisi bukan barang baru di dunia seni, tidak perlu memperdebatkan bentuk penyajiannya: apakah suatu totalitas antara puisi dan nada atau sekedar pembacaan puisi yang diiringi musik, sebab gaya orang tentu berbeda dalam menyajikan puisi-musikalisasi puisi.
Toh, dari kalangan sastrawan sendiri masih terjadi perdebatan tentang hal ini, ada yang menganggap bahwa istilah "musikalisasi puisi" adalah rancu bahkan mengada-ada dengan alasan bahwa dalam puisi sendiri telah terdapat ritme, dan memang pada dasarnya tidak semua puisi bisa digubah dalam musik-tergantung amanat penulisnya.
Berlanjut dengan operet, istilah dari cabang drama yang sering terdengar di kampung-kampung dan sekolah-sekolah, tidak ada alasan yang dapat saya jelaskan tentang kenapa kelompok Karter (Kartika Teater) ini sering menampilkan "operet" daripada yang lain, hanyalah lantaran keterbatasan fasilitas. Tidak mungkin bagi Karter untuk mementaskan suatu naskah, agenda di sekolah seringnya adalah panggung terbuka yang sudah pasti adalah hiruk-pikuk penonton, sedang dalam pertunjukkan teater tentunya keheningan penonton menjadi suatu harapan.
Operet adalah pertunjukkan drama musikal yang cukup nyleneh dan sederhana, tidak menampilkan musik dan dialog secara live tapi menggunakan "lipsing" tekanannya pada gestur dan mimik. Mungkin ini juga merupakan penjelasan dari saya kepada seorang rekan yang sok "nyeni", memang tidak ada alasan apapun yang dapat digunakan sebagai penjelasan kenapa Karter (Kartika Teater) seringnya "menggarap" operet ketimbang naskah drama, selain menyikapi kesederhanaan yang ada.
Jadi penyajian operet ataupun bentuk drama yang lain pada dasarnya memiliki sudut pandang penilaian yang sama, yaitu bagaimana para aktor dan aktris mampu menyampaikan pesan dengan baik dan dapat diterima oleh penonton. Tulisan ini bukan bermaksud untuk protes dan meluapkan kekecewaan atau bahkan menjatuhkan pihak lain, saya pribadi tidak menargetkan kemenangan dalam festival operet di Lawang, pun membuka diri atas segala perlakuan dari pihak manapun (terkhusus bagi rekan-rekan yang sudah keseringan merendahkan Karter dan anggota-anggotanya, tidak ada kaitannya dengan festival operet di Lawang). Saya hanya memperkenalkan sebentuk perjuangan kepada anak-anak Karter (Kartika Teater) untuk selalu bersiap dengan masa depan. Salam merdeka.
Yang saya bingungkan sampai saat ini adalah pemilahan antara muskalisasi puisi dan teatrikal puisi, tanggal 19 Juni kemarin Mega Fadila dan Setya Hanif mewakili teman-temannya dari Karter (Kartika Teater) pada ajang musikalisasi puisi, dan dari paparan juri penilaiannya seputar koreografi dan konsep berkelompok dari peserta, dari hal inilah muncul kebingungan dalam diri saya. Musikalisasi puisi, musik-puisi yaitu penambahan nada pada penyajian-pembacaan puisi, bisa jadi adalah puisi yang diiringi musik atau bahkan puisi yang digubah dalam lagu. Jadi dari puisi yang dibacakan menimbulkan citra, ritme dan daya simbolik.
Sedang teatrikal puisi menurut saya lain lagi, lebih luas, bisa jadi unsur musik adalah bagian didalamnya lengkap dengan unsur gerak (koreografi)~dan kalaupun perlu ada terdapat pertimbangan pemilihan kostum, properti dan permainan cahaya. Teatrikal puisi pun akan menjadi sangat "greget" jika disajikan secara berkelompok, tidak sama seperti penyajian musikalisasi puisi yang dapat disajikan hingga sesederhana mungkin, seorang diripun bisa, bahkan tanpa alat musik sebagai pengiring. Saya bingung yang dilombakan kemarin itu musikalisasi puisi atau teatrikal puisi? Atau kita memang belum memiliki definisi untuk menjelaskan atau sekedar membedakan keduanya?
Dari om wiki saya dapati penjelasan musikalisasi puisi adalah puisi yang disajikan secara musikal, dibedakan dengan lagu puisi yang berarti melagukan puisi seperti ketika Bimbo menyanyikan puisi-puisi karya Taufik Ismail.
Sebenarnya musikalisasi puisi bukan barang baru di dunia seni, tidak perlu memperdebatkan bentuk penyajiannya: apakah suatu totalitas antara puisi dan nada atau sekedar pembacaan puisi yang diiringi musik, sebab gaya orang tentu berbeda dalam menyajikan puisi-musikalisasi puisi.
Toh, dari kalangan sastrawan sendiri masih terjadi perdebatan tentang hal ini, ada yang menganggap bahwa istilah "musikalisasi puisi" adalah rancu bahkan mengada-ada dengan alasan bahwa dalam puisi sendiri telah terdapat ritme, dan memang pada dasarnya tidak semua puisi bisa digubah dalam musik-tergantung amanat penulisnya.
Berlanjut dengan operet, istilah dari cabang drama yang sering terdengar di kampung-kampung dan sekolah-sekolah, tidak ada alasan yang dapat saya jelaskan tentang kenapa kelompok Karter (Kartika Teater) ini sering menampilkan "operet" daripada yang lain, hanyalah lantaran keterbatasan fasilitas. Tidak mungkin bagi Karter untuk mementaskan suatu naskah, agenda di sekolah seringnya adalah panggung terbuka yang sudah pasti adalah hiruk-pikuk penonton, sedang dalam pertunjukkan teater tentunya keheningan penonton menjadi suatu harapan.
Operet adalah pertunjukkan drama musikal yang cukup nyleneh dan sederhana, tidak menampilkan musik dan dialog secara live tapi menggunakan "lipsing" tekanannya pada gestur dan mimik. Mungkin ini juga merupakan penjelasan dari saya kepada seorang rekan yang sok "nyeni", memang tidak ada alasan apapun yang dapat digunakan sebagai penjelasan kenapa Karter (Kartika Teater) seringnya "menggarap" operet ketimbang naskah drama, selain menyikapi kesederhanaan yang ada.
Jadi penyajian operet ataupun bentuk drama yang lain pada dasarnya memiliki sudut pandang penilaian yang sama, yaitu bagaimana para aktor dan aktris mampu menyampaikan pesan dengan baik dan dapat diterima oleh penonton. Tulisan ini bukan bermaksud untuk protes dan meluapkan kekecewaan atau bahkan menjatuhkan pihak lain, saya pribadi tidak menargetkan kemenangan dalam festival operet di Lawang, pun membuka diri atas segala perlakuan dari pihak manapun (terkhusus bagi rekan-rekan yang sudah keseringan merendahkan Karter dan anggota-anggotanya, tidak ada kaitannya dengan festival operet di Lawang). Saya hanya memperkenalkan sebentuk perjuangan kepada anak-anak Karter (Kartika Teater) untuk selalu bersiap dengan masa depan. Salam merdeka.
Tuesday, June 11, 2013
mimpi
yang kepadamu-untukmu sendiri:
setangkai mimpi,
baru beli dipasar loak,
pasar loak, pilihannya lebih banyak
dan
ternyata
kita harus membeli mimpi
milik orang lain
setangkai mimpi,
baru beli dipasar loak,
pasar loak, pilihannya lebih banyak
dan
ternyata
kita harus membeli mimpi
milik orang lain
Friday, April 12, 2013
Menunggu
tidak lagi...
tidak lagi aku mengalir dalam hati berlimbah
atau sekedar berenang-renang didalamnya
pagi yang sama
dibawah langit yang sama
kita dipeluk oleh dingin yang sama
tapi, antara kita adalah dinding, dingin
angkuh dan samar
kita memudar
cibir-maki senantiasa menyertai
kehadiranku lewat telingamu,
~jadi polusi
mengendap dihatimu
biarlah seperti itu
aku hanya sedang menunggu
ajal datang merayu
tidak lagi aku mengalir dalam hati berlimbah
atau sekedar berenang-renang didalamnya
pagi yang sama
dibawah langit yang sama
kita dipeluk oleh dingin yang sama
tapi, antara kita adalah dinding, dingin
angkuh dan samar
kita memudar
cibir-maki senantiasa menyertai
kehadiranku lewat telingamu,
~jadi polusi
mengendap dihatimu
biarlah seperti itu
aku hanya sedang menunggu
ajal datang merayu
Wednesday, March 6, 2013
Yang pernah ada
sekali saja
jumpa lewat canda
mengisi waktu dengan keceriaan
panggung
adalah tempatmu-aksimu
aku
cukuplah menghampar pandang
sekedar mendapati arti senyum-tawa
dalam tingkah kekanak-kanakan
sembari kuseduh semangat untuk esok,
esok, ketika kau dan aku kembali bertemu
dalam drama yang berbeda
aku
akan tetap bertahan
pada sisi yang sama,
sama, sebagaimana pernah kau temukan
hingga kembali ku rindukan:
nyanyimu-tawamu
perjumpaan yang lalu
adalah kemenangan, entah kapan terulang
kami tidak akan menyerah
kami, yang pernah ada
bukan mengada-ada
(sajak didedikasikan kepada kelompok teater "Karter" dan para alumninya)
jumpa lewat canda
mengisi waktu dengan keceriaan
panggung
adalah tempatmu-aksimu
aku
cukuplah menghampar pandang
sekedar mendapati arti senyum-tawa
dalam tingkah kekanak-kanakan
sembari kuseduh semangat untuk esok,
esok, ketika kau dan aku kembali bertemu
dalam drama yang berbeda
aku
akan tetap bertahan
pada sisi yang sama,
sama, sebagaimana pernah kau temukan
hingga kembali ku rindukan:
nyanyimu-tawamu
perjumpaan yang lalu
adalah kemenangan, entah kapan terulang
kami tidak akan menyerah
kami, yang pernah ada
bukan mengada-ada
(sajak didedikasikan kepada kelompok teater "Karter" dan para alumninya)
Dari mata dan telingaku
Ada sebaris kata berkejaran bersama awan
tantang tanya juga kecewa setelah heran
ada angin-sehelai, menerbangkannya
kadang semilir kadang datang dengan gusar
ada langkah mengalir dibawah terik matahari
dan senyum melambai-lambai
ada wajah yang dipalsukan lewat resah
dan ketika segala senyap datang
ketika hingar hilang, maka bersukalah
wajah palsu resah hilang
berganti senda-tawa
tersembunyi dari berpasang-pasang mata
ada canda
tak perlu berbagi, aku punya milikku sendiri
kunikmati tanpa sembunyi
dengan diriku sendiri
milikmu, candamu untukmu saja
nikmati dalam waktumu yang palsu
ada kata
berbaris-baris diangkasa
dari mata dan telinga yang tidak lagi resah
tantang tanya juga kecewa setelah heran
ada angin-sehelai, menerbangkannya
kadang semilir kadang datang dengan gusar
ada langkah mengalir dibawah terik matahari
dan senyum melambai-lambai
ada wajah yang dipalsukan lewat resah
dan ketika segala senyap datang
ketika hingar hilang, maka bersukalah
wajah palsu resah hilang
berganti senda-tawa
tersembunyi dari berpasang-pasang mata
ada canda
tak perlu berbagi, aku punya milikku sendiri
kunikmati tanpa sembunyi
dengan diriku sendiri
milikmu, candamu untukmu saja
nikmati dalam waktumu yang palsu
ada kata
berbaris-baris diangkasa
dari mata dan telinga yang tidak lagi resah
Thursday, February 14, 2013
Hanyalah salam cinta
(I)
Mungkin hanya sekedar kesempatan
tidak lagi menyapamu dari kejauhan
kini aku lebih suka mengembara
jauh, dan lebih tinggi
sekedar memandangimu
kadang tergesa kau melangkah
atau diam-menanti entah siapa
jarang kutemui senyummu terlepas untukku
tapi, senang juga melihatmu bahagia
tanpa harus aku campuri
meski bukan caraku untuk menyayangi,
biar,
aku temani kau dari sini
kepada yang paling jauh:
ku dekatkan hatiku
(II)
jika rindu adalah jarak terdekat untuk menemuimu
maka akan aku tempuh
jika cinta bukan untukku, biarlah mata kupejam
sungguh tak berani kutanggung cemburu
(III)
ada canda
tadi,
sementara angin bisikan namamu
jadinya ingat senyummu
yang kini jadi barang langka
aku berlalu
pergi setelah mendapati kerlingmu
tentu, dari jauh,
takut mengganggu
dan kibaran bendera menghiburku
padanya kutitipkan salam:
cinta merdeka
untukmu
selalu
(IV)
sajak ini hanyalah salam cinta
mungkin tidak akan pernah terbaca
pun tak berharap lebih
hanya sekedar pamungkas
meski hidup tidak akan pernah tuntas
Mungkin hanya sekedar kesempatan
tidak lagi menyapamu dari kejauhan
kini aku lebih suka mengembara
jauh, dan lebih tinggi
sekedar memandangimu
kadang tergesa kau melangkah
atau diam-menanti entah siapa
jarang kutemui senyummu terlepas untukku
tapi, senang juga melihatmu bahagia
tanpa harus aku campuri
meski bukan caraku untuk menyayangi,
biar,
aku temani kau dari sini
kepada yang paling jauh:
ku dekatkan hatiku
(II)
jika rindu adalah jarak terdekat untuk menemuimu
maka akan aku tempuh
jika cinta bukan untukku, biarlah mata kupejam
sungguh tak berani kutanggung cemburu
(III)
ada canda
tadi,
sementara angin bisikan namamu
jadinya ingat senyummu
yang kini jadi barang langka
aku berlalu
pergi setelah mendapati kerlingmu
tentu, dari jauh,
takut mengganggu
dan kibaran bendera menghiburku
padanya kutitipkan salam:
cinta merdeka
untukmu
selalu
(IV)
sajak ini hanyalah salam cinta
mungkin tidak akan pernah terbaca
pun tak berharap lebih
hanya sekedar pamungkas
meski hidup tidak akan pernah tuntas
Friday, February 8, 2013
Ketemu batas
mungkin nanti
atau kini
wedang jahe terhidang pada batas
antara aku, kau dan bendera itu
juga batas mengenai kesombongan
atau ketidak tahuan
bahkan ketidak mau tahuan
: menurutku itu batas
antara kemanusiaan dan kesetanan
atau kini
wedang jahe terhidang pada batas
antara aku, kau dan bendera itu
juga batas mengenai kesombongan
atau ketidak tahuan
bahkan ketidak mau tahuan
: menurutku itu batas
antara kemanusiaan dan kesetanan
Monday, February 4, 2013
suatu malam di stasiun
a... pakah ini...
aku sedang melihat bangunan idealisme yang runtuh
orang berjalan sama-sama tanpa impian, tanpa gagasan
bibir mereka bergerak-gerak hendak berucap
tapi hatinya diam-pikirnya hanya satu jalan
aku mendapati hidup yang hanya dua warna
hitam-putihnya pun tak dipertegas
aku terhenti pada rel paradoks
mendapati gerbong-gerbong kemanusiaan menyimpan kebengisan
dan orang-orang berdiri mengantri
ada yang masuk juga ada yang keluar
entah, masing-masing membawa tujuan
hanya aku yang terpekur
dengan punggung yang tersandar pada tiang lampu jalan
aku sedang melihat bangunan idealisme yang runtuh
orang berjalan sama-sama tanpa impian, tanpa gagasan
bibir mereka bergerak-gerak hendak berucap
tapi hatinya diam-pikirnya hanya satu jalan
aku mendapati hidup yang hanya dua warna
hitam-putihnya pun tak dipertegas
aku terhenti pada rel paradoks
mendapati gerbong-gerbong kemanusiaan menyimpan kebengisan
dan orang-orang berdiri mengantri
ada yang masuk juga ada yang keluar
entah, masing-masing membawa tujuan
hanya aku yang terpekur
dengan punggung yang tersandar pada tiang lampu jalan
Tuesday, January 29, 2013
lihatkah (matamu) bocah-bocah malam itu?!
malam
gelapnya mengalir tepat lewat di pertigaan depan masjid,
ada sejarah disana, ditanam bersama pilar-pilarnya
sejarah, saksi dari duka-cita dimana darah tertumpah
setingkah bocah-bocah malam menghimpun receh
pesawat tempur meraung-raung diangkasa
dan benderaku gemulai ditiangnya
bocah-bocah malam
seharusnya mereka merdeka
mengisi ruang-ruang yang pantas bagi bangsa yang berdaulat
~kalau enggan untuk menempatkannya dalam lingkungan yang terhormat,
sebagaimana pernah aku dengar:
bangsa ini adalah bangsa yang berketuhanan
bangsa yang berperikemanusiaan
dan mencita-citakan keadilan sosial bagi se...
se... se siapa-siapa?
selembar surat kabar basah
jadi tempat duduk sementara
agar celana seragam tidak kotor oleh lumpur bekas hujan
besok dikenakan lagi buat sekolah
surat kabar harian bernilai apa dibandingkan dengan seragam sekolah
surat kabar hanya berisi pemberitahuan
bahwa para bangsawan negeri ini sedang asyik berpesta
bahwa para bangsawan menikmati benar hasil jarahan
bahwa negara merdeka sedang diserahkan nasibnya
untuk kembali dijajah-dijarah-diperkosa, astaga
tepat lewat di pertigaan depan masjid
malam tetap akrab dengan gelap
tetap setia dengan warnanya: hitam
sehitam kopi yang tersaji diatas meja warung
sehitam hari-hari bocah malam
[Didedikasikan kepada borjuasi anak negeri yang tak mampu berbagi, yang tak mampu mengusahakan perbaikan sesama. Malang, pertigaan Jl. Letjen S Parman, depan Masjid Jamik Blimbing]
gelapnya mengalir tepat lewat di pertigaan depan masjid,
ada sejarah disana, ditanam bersama pilar-pilarnya
sejarah, saksi dari duka-cita dimana darah tertumpah
setingkah bocah-bocah malam menghimpun receh
pesawat tempur meraung-raung diangkasa
dan benderaku gemulai ditiangnya
bocah-bocah malam
seharusnya mereka merdeka
mengisi ruang-ruang yang pantas bagi bangsa yang berdaulat
~kalau enggan untuk menempatkannya dalam lingkungan yang terhormat,
sebagaimana pernah aku dengar:
bangsa ini adalah bangsa yang berketuhanan
bangsa yang berperikemanusiaan
dan mencita-citakan keadilan sosial bagi se...
se... se siapa-siapa?
selembar surat kabar basah
jadi tempat duduk sementara
agar celana seragam tidak kotor oleh lumpur bekas hujan
besok dikenakan lagi buat sekolah
surat kabar harian bernilai apa dibandingkan dengan seragam sekolah
surat kabar hanya berisi pemberitahuan
bahwa para bangsawan negeri ini sedang asyik berpesta
bahwa para bangsawan menikmati benar hasil jarahan
bahwa negara merdeka sedang diserahkan nasibnya
untuk kembali dijajah-dijarah-diperkosa, astaga
tepat lewat di pertigaan depan masjid
malam tetap akrab dengan gelap
tetap setia dengan warnanya: hitam
sehitam kopi yang tersaji diatas meja warung
sehitam hari-hari bocah malam
[Didedikasikan kepada borjuasi anak negeri yang tak mampu berbagi, yang tak mampu mengusahakan perbaikan sesama. Malang, pertigaan Jl. Letjen S Parman, depan Masjid Jamik Blimbing]
Friday, January 25, 2013
mengenai senyummu, hilangnya kemana?
saya
sudah cukup lelah dengan semua ini
semoga dapat kita jumpai suatu hari
dimana bahagia senantiasa kita bagi
...................................................................................................
menyusuri separuh protokol
berharap cahaya menyambut langkah yang lelah
ada do'a mengapung bersama mendung
disaat seperti ini
menghadirkan bayangmu adalah kenikmatan
-aroma kopi jadi mirip kesturi,
jadi tambah romantis
disapa gerimis
padahal tambah hari tambah tragis
do'a tetap mengapung
bergema dilangit nusantara:
semoga, semoga-semoga
entah milik siapa
sedang aku
hanya punya sepasang sepatu berdebu
juga bayang senyummu
entah esok
esok hanyalah milik sang pemenang
hanya sang pemenang, untuk sang pemenang
hidup jadi lebih mirip perang
sekedar perang
untuk memunculkan pemenang
selebihnya adalah perbudakan
dalam perang
yang bertarung laki-laki
yang mati nanti juga laki-laki
kelak, sama-sama masuk neraka
senyummu jadi mesiu
atau tempat sandar yang hilang
sedetik aku mati karenanya
seberapa lama kutunggui kehadirannya?
aku melangkah
tak sanggup balik arah
sudah cukup lelah dengan semua ini
semoga dapat kita jumpai suatu hari
dimana bahagia senantiasa kita bagi
...................................................................................................
menyusuri separuh protokol
berharap cahaya menyambut langkah yang lelah
ada do'a mengapung bersama mendung
disaat seperti ini
menghadirkan bayangmu adalah kenikmatan
-aroma kopi jadi mirip kesturi,
jadi tambah romantis
disapa gerimis
padahal tambah hari tambah tragis
do'a tetap mengapung
bergema dilangit nusantara:
semoga, semoga-semoga
entah milik siapa
sedang aku
hanya punya sepasang sepatu berdebu
juga bayang senyummu
entah esok
esok hanyalah milik sang pemenang
hanya sang pemenang, untuk sang pemenang
hidup jadi lebih mirip perang
sekedar perang
untuk memunculkan pemenang
selebihnya adalah perbudakan
dalam perang
yang bertarung laki-laki
yang mati nanti juga laki-laki
kelak, sama-sama masuk neraka
senyummu jadi mesiu
atau tempat sandar yang hilang
sedetik aku mati karenanya
seberapa lama kutunggui kehadirannya?
aku melangkah
tak sanggup balik arah
Saturday, January 12, 2013
Suara-suara
Cahaya perlahan nyala
berawal dari merah, mengusir hitamnya gelap, diikuti yang lain, perlahan nyala
disana ada perempuan, tenang berdendang
lalu seorang lelaki, duduk terpekur, mata belum terpejam
sesaat diam, hening
lalu...
Lelaki : Bagaimana hendak memulainya?
Membuka peluang bagi suara-suara, agar gelap tak diam, agar hitam tak lagi jadi milik sang suram?
(beranjak pelan, menghampar pandangan sebelum ia tumpahkan seluruhnya pada wanita)
Kau jangan hanya diam, sebab harus ada peluang bagi suara-suara
betapa keheningan menjelma lewat bait-bait yang tak terjamah
(terus saja memandang wanita tenang)
berkatalah, jangan hanya diam
harus ada peluang bagi suara-suara, sedang gelap telah lumpuh oleh cahaya
(jengah, tangannya berputar-putar mengisyaratkan keruwetan)
harus berapa lama lagi untuk tetap diam mengorbankan waktu tanpa suara?
Perempuan : waktu hanya korban
bukan pelaku
sungguh, suara-suara itulah yang membunuh
Lelaki : (tertawa sinis)
dikirannya bicara apa? Ternyata ungkapan mabuk yang menuduh suara-suara sebagai pelaku
bukankah sebaliknya?! Suara-suaralah yang bikin waktu jadi hidup?!
Perempuan: caci dan puji adalah suara, terbunuhlah sang waktu karenanya
lalu, akan kemana lagi suara-suara kau tempatkan ketika waktu telah penuh dengan cacian dan
pujian?
Lelaki : ah, memang kau lebih menikmati diammu daripada menghidupkan waktu untuk suara-suara
Perempuan: kau penuh dengan prasangka, suara apa yang dapat hadir lewat prasangka jika sekedar cacian
atau pujian?
Lelaki : baiklah, baiklah
diamlah kini, hanya lewat prasangka suara-suara muncul dalam perdebatan
Perempuan: dan waktu terbunuh
Lelaki : iya, dan diamlah kini
biarlah kini aku yang bersuara
aku mau ceramah
menghidupkan waktu dengan suara-suara
agar gelap tak selalu dihuni resah
biar aku isi kekosongan ini dengan orasi
menghujat dengan pasti
atau sekedar beri inspirasi
agar hidup tak selalu sepi
(bergegas, merapikan diri dan berdiri menantang kegelapan)
kinilah
saat seperti inilah
ingin sekali kuperdengarkan suaraku
agar gelap tak selalu penuh dengan kengerian
dan suaraku
mendobrak kebisuan yang kaku
berkibarlah panji-panji kemenangan
mengiring semangat yang berkobar-kobar
aku tak ingin diam
harus ada suara dalam gelap dan terang
Perempuan: lalu kau tikamkan kepada sang waktu
sungguh, suaramu jadi belati yang mencabik-cabik waktu yang sunyi
hingga batas, dimana akan kau cari lagi kedamaian-ketentraman tanpa suara-suara
bukankah telah pantas untuk diam?
Menghidupkan waktu dengan renungan-renungan
dan hidup tak selalu hina oleh cacian dan pujian
Lelaki : (jengah, menghela nafas membuang kejengkelan)
berpihaklah kepadaku, sekali saja
agar aku mampu merangkai kata untuk suaraku
itupun untuk kau
Perempuan: selalu, aku selalu berada dipihakmu
setiap waktu aku selalu ada dipihakmu
meski suara-suara selalu membunuh sang waktu
Lelaki : tapi kau selalu menentangku
Perempuan: haruskah aku tak menentang
sedang suara-suara membunuh sang waktu
dan kau penuh dengan prasangka?!
Lelaki : prasangkaku itu untuk kebaikanmu, juga untuk waktu agar tak selalu terbunuh
Perempuan: lalu, bagaimana dengan segala caci-maki yang kau hujamkan?
Sekedar mengusir keheningan?
Bagaimana dengan pujian-pujian? Sekedar titipkan kalimat rayu?
Baiknya kini diam, sebab suara-suara mengganggu kekhusyukkan
waktu, ia datang untukku, juga untukmu jadi tidak perlu kau ganggu dengan suara-suara
sungguh, itu bukan suatu yang perlu
Lelaki : kaulah yang diam, dan biarkan aku bersuara
Perempuan: lalu kau kembali lagi ditempat segala bermula, mencari kedamaian dalam keheningan
sedang sang waktu telah kau bunuh dengan suara-suara
bagiku,
biarkan waktu datang dengan diam
dan do'a, segala do'a meruang penuh dalam jiwa
Lelaki : baiklah,
baiknya kini kita diam, biarkan waktu datang lewat keheningan
Wanita berdendang tenang, lelaki mencari-cari, cahaya redup perlahan hingga gelap dan tenang
Lelaki : (dalam gelap)
harus ada peluang... kau bersuaralah!
berawal dari merah, mengusir hitamnya gelap, diikuti yang lain, perlahan nyala
disana ada perempuan, tenang berdendang
lalu seorang lelaki, duduk terpekur, mata belum terpejam
sesaat diam, hening
lalu...
Lelaki : Bagaimana hendak memulainya?
Membuka peluang bagi suara-suara, agar gelap tak diam, agar hitam tak lagi jadi milik sang suram?
(beranjak pelan, menghampar pandangan sebelum ia tumpahkan seluruhnya pada wanita)
Kau jangan hanya diam, sebab harus ada peluang bagi suara-suara
betapa keheningan menjelma lewat bait-bait yang tak terjamah
(terus saja memandang wanita tenang)
berkatalah, jangan hanya diam
harus ada peluang bagi suara-suara, sedang gelap telah lumpuh oleh cahaya
(jengah, tangannya berputar-putar mengisyaratkan keruwetan)
harus berapa lama lagi untuk tetap diam mengorbankan waktu tanpa suara?
Perempuan : waktu hanya korban
bukan pelaku
sungguh, suara-suara itulah yang membunuh
Lelaki : (tertawa sinis)
dikirannya bicara apa? Ternyata ungkapan mabuk yang menuduh suara-suara sebagai pelaku
bukankah sebaliknya?! Suara-suaralah yang bikin waktu jadi hidup?!
Perempuan: caci dan puji adalah suara, terbunuhlah sang waktu karenanya
lalu, akan kemana lagi suara-suara kau tempatkan ketika waktu telah penuh dengan cacian dan
pujian?
Lelaki : ah, memang kau lebih menikmati diammu daripada menghidupkan waktu untuk suara-suara
Perempuan: kau penuh dengan prasangka, suara apa yang dapat hadir lewat prasangka jika sekedar cacian
atau pujian?
Lelaki : baiklah, baiklah
diamlah kini, hanya lewat prasangka suara-suara muncul dalam perdebatan
Perempuan: dan waktu terbunuh
Lelaki : iya, dan diamlah kini
biarlah kini aku yang bersuara
aku mau ceramah
menghidupkan waktu dengan suara-suara
agar gelap tak selalu dihuni resah
biar aku isi kekosongan ini dengan orasi
menghujat dengan pasti
atau sekedar beri inspirasi
agar hidup tak selalu sepi
(bergegas, merapikan diri dan berdiri menantang kegelapan)
kinilah
saat seperti inilah
ingin sekali kuperdengarkan suaraku
agar gelap tak selalu penuh dengan kengerian
dan suaraku
mendobrak kebisuan yang kaku
berkibarlah panji-panji kemenangan
mengiring semangat yang berkobar-kobar
aku tak ingin diam
harus ada suara dalam gelap dan terang
Perempuan: lalu kau tikamkan kepada sang waktu
sungguh, suaramu jadi belati yang mencabik-cabik waktu yang sunyi
hingga batas, dimana akan kau cari lagi kedamaian-ketentraman tanpa suara-suara
bukankah telah pantas untuk diam?
Menghidupkan waktu dengan renungan-renungan
dan hidup tak selalu hina oleh cacian dan pujian
Lelaki : (jengah, menghela nafas membuang kejengkelan)
berpihaklah kepadaku, sekali saja
agar aku mampu merangkai kata untuk suaraku
itupun untuk kau
Perempuan: selalu, aku selalu berada dipihakmu
setiap waktu aku selalu ada dipihakmu
meski suara-suara selalu membunuh sang waktu
Lelaki : tapi kau selalu menentangku
Perempuan: haruskah aku tak menentang
sedang suara-suara membunuh sang waktu
dan kau penuh dengan prasangka?!
Lelaki : prasangkaku itu untuk kebaikanmu, juga untuk waktu agar tak selalu terbunuh
Perempuan: lalu, bagaimana dengan segala caci-maki yang kau hujamkan?
Sekedar mengusir keheningan?
Bagaimana dengan pujian-pujian? Sekedar titipkan kalimat rayu?
Baiknya kini diam, sebab suara-suara mengganggu kekhusyukkan
waktu, ia datang untukku, juga untukmu jadi tidak perlu kau ganggu dengan suara-suara
sungguh, itu bukan suatu yang perlu
Lelaki : kaulah yang diam, dan biarkan aku bersuara
Perempuan: lalu kau kembali lagi ditempat segala bermula, mencari kedamaian dalam keheningan
sedang sang waktu telah kau bunuh dengan suara-suara
bagiku,
biarkan waktu datang dengan diam
dan do'a, segala do'a meruang penuh dalam jiwa
Lelaki : baiklah,
baiknya kini kita diam, biarkan waktu datang lewat keheningan
Wanita berdendang tenang, lelaki mencari-cari, cahaya redup perlahan hingga gelap dan tenang
Lelaki : (dalam gelap)
harus ada peluang... kau bersuaralah!
Tuesday, January 8, 2013
Yang tersisa dibawah mendung
ada dendam mengendap
dibawah mendung yang mengapung
seperti biasa
jalanan tidak pernah ramah
kaupun,
sia-sia rasanya
membuka segenap kesempatan
yang tak pernah sekalipun kau lewati,
percuma
tidak perlu lagi menanti
permohonan maaf dan penjelasan yang tegas
biar,
sebab hidup tak pernah dipertanggung jawabkan
maka harap jumpa pada pengadilan akhir
dimana masing-masing dapat saling mendengar
deru tangis penyesalan
kita lanjutkan saja
keterasingan dan kesia-siaan
dibawah mendung yang mengapung
seperti biasa
jalanan tidak pernah ramah
kaupun,
sia-sia rasanya
membuka segenap kesempatan
yang tak pernah sekalipun kau lewati,
percuma
tidak perlu lagi menanti
permohonan maaf dan penjelasan yang tegas
biar,
sebab hidup tak pernah dipertanggung jawabkan
maka harap jumpa pada pengadilan akhir
dimana masing-masing dapat saling mendengar
deru tangis penyesalan
kita lanjutkan saja
keterasingan dan kesia-siaan
Subscribe to:
Posts (Atom)