About Me
- Yoehan Rianto Prasetyo
- seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki
Anda pengunjung ke:
Wednesday, June 29, 2011
kau (rinduku [ada] ) dalam cangkir
dalam cangkir ini
senyummu turut melarut
dan rinduku mengambang
tak jelas: hilang arah
harap kau datang nyata
cangkir
dari dasarnya ada aroma nikmat
kusertakan do'a
harap anugerah cahaya kasih sayang
nikmat yang hangat
kuhirupi hingga tinggal ampas
disana, kaupun sedang tertidur pulas
cangkir
dua cangkir terdiam dihadang malam
seakan sedang terkenang:
romantika sejarah selalu menggenang
Tuesday, June 28, 2011
Refleksi adegan "Drama ruang gerak"
Penjilat tak layak jadi kawan
bekerjasama dengan seorang penjilat sama halnya dengan berteman dengan seorang 'pengkhianat', apakah ada yang percaya dengan seorang pengkhianat? Sedangkan dengan menjilat, seseorang telah mengkhianati dirinya sendiri.
Makna perjuangan
semoga kita paham dengan yang sedang kita perjuangkan
ketika kita pantas mati karenanya
atau hanya sekedar tersiksa menyandang beban kebanggan
lalu berlari saat kalah~kita sedang berada diantara reruntuhan
membawa segala keyakinan akan kemenangan dalam keterasingan
pikiran kita telah melanggar semangat kita
kita memaksakan diri kita untuk menyendiri
sedang kita mengerti: tiada mungkin untuk hidup sendiri
Lawan si Kerdil?
dicari cari siapa yang berkelakuan jahat
ternyata hanya sekedar manusia berwatak kerdil:
eh, ada bocah kecil bermain ranting mirip bedil!
Jalan terbaik
adalah pilihan terbaik menurut beberapa orang untuk membuka ruang debat dalam penyelesaian masalah, tapi bagi orang-orang yang cerdik: berunding adalah yang terbaik daripada berdebat dan perang adalah pilihan terbaik untuk membuka segala kemungkinan untuk berunding.
Seteru
dilingkarinya nama-nama
lalu tempat-tempat; wilayah
menciptakan garis-garis kediktatoran
berpisah dari kesadarannya sebagai manusia
menyepi dalam kebencian
dipecahnya nama demi nama
siapa kawan dan siapa lawan
dimana wilayah kuasa
dan dimana tempat terlarang
~dikharamkannya sendiri bumi pijakan
dibisikkannya kebencian
pada siapa mendengar:
dihatinya
Tuhan telah hilang
Mereka (kau, dia dan beliau)
mereka berkumpul
jadi satu kekuatan
sekalian jadi kesatuan watak:
penjilat,
penghasut,
sekalian pecundang-bajingan bertopeng kemuliaan agama
dan
pelacur yang membalut tubuh dengan kemuliaan 'hijab'
lalu mencari-cari ke(pem)benaran dari kekeliruan
apalah untuk menyebutnya
‘hipokrit!’
Mereka bermuka dua
dengan kalimat kalimat ambigu dari mulut yang bau
Aliansi kami
masing-masing bikin koalisi
rangkul sana-sini:
hasut dan jilat sana-sini
kami tidak pergi, kami hanya menepi
bikin semacam aliansi
dengan beberapa gelas kopi
kami lihat dari tempat tertinggi
sambil tertawa-bernyanyi
Perang
apa itu cinta
kutemukan hanya kepentingan
tak ada itu cinta
asmara,
ragu aku:
apa kau mengenalnya
sedang kau dan mereka
sama saja
bertempur demi kepentingan
dan yang kau pilih:
menghalalkan perang
untuk kepentingan
sedang aku:
benci perang
kata tuan kita
“tenang!
Jangan hingar, telah kuputuskan:
Kita jangan terlalu idealis! Atau
jangan lagi ada yang memelihara idealism,
makanan apa itu ‘idealism’?”
katanya, sembari mengusap-usap kumis
dan
kami diam berpandangan
dalam hati aku berkata:
ide memang impian,
hidup tanpa ide adalah hidup penuh kepalsuan
dan itu, sekarang
benar terjadi ‘tuan’
Tutup selingkuh atau perselingkuhan massal
Bagaimana mengungkap
tabiat tuan-nona disekeliling singgahsana
diri merasa:
ada semacam lingkar-lingkar asmara
ingkar pada kuasa Yang Maha Esa
atau malah jadi ikatan
‘tuk mempererat keintiman
dalam menutup kecurangan
Serenade buat penjilat
Bukan lantaran iri diri merasa jadi anak tiri
teristimewa pada tuan yang merasa jadi pewaris tahta:
yang kami punya hanya tinggal ampas
kenapa tuan hendak merampas?
Belajar
Apakah anak-anak masih berangkat sekolah pagi ini?
Aku Tanya, soalnya ragu: apa mereka masih percaya dengan sekolah?
Sekolah
Ya, sekolah
Tempat mereka belajar dulu
tempat yang mereka percayai dulu sebagai tempat berkumpul:
orang-orang tulus menularkan ilmu
apakah anak-anak berbaris rapi dilapangan menunggu bendera berkibar?
Aku bertanya sebab setahuku mereka jadi gemar loncat pagar
kabur mengabur dari lingkungan mirip kubur:
Sekolah,
tanyakan pada mereka
apa masih ada orang bijak yang tulus meneladankan kejujuran disana?
Kalau tidak, biarlah mereka belajar dari sinetron-sinetron
biar berani mereka bermain watak, atau jadi culas sekalian
Saksi mata
mata, yang membaca
menderaikan air mata
demi segala peristiwa
yang terangkai dalam kata
mata, yang terlelap
menafsirkan luka
mengembara dalam setiap kisah
yang terbaca
menjadi saksi mata
Katakan pada ‘Tuan Besar’ kita:
“karma berjalan diatas relnya”
katakan itu pada tuan,
sebelum ia korbankan kawan,
sedang akupun juga saksikan:
betapa akrab ia berteman
sang penjilat berjiwa pengkhianat
Memilih
Biarlah segala diperebutkan
diri tiada diantara
kiranya sudah kata
diri menyepi
tiada bersama
senantia terdengar Tanya:
siapa kawan-siapa lawan?
tiada pernah: bagaimana korban?
betapa kuat ‘tuk selalu diingat
bagaimana tuan-tuan berucap
bagaimana nona bersikap
dan bagaimana tokoh utama perbuat
biarlah diri menepi
tiada ingin memihak
sebab pilihan senantiasa
menjebak
Sekolah kita
ternyata sekolah kita tidak cukup hanya punya R.A. Kartini dan Ki Hajar Dewantara
sekolah kita butuh seorang lagi biar lengkap
biar tidak hanya sekedar bisa baca tulis
berhitung-hapalan rumus trus lulus
sekolah kita butuh seorang lagi jagoan yang berani dalam kejujuran
agar sekolah lebih transparan
seorang jagoan yang tidak hanya mengajarkan kejujuran
sebab kejujuran butuh dilatih
kejujuran itu otot mental
dan Tuhan sudah ingatkan kita akan hal itu:
dengan memberi kita rasa takut untuk jujur
jadi sekolah kita butuh seorang lagi seperti Siami
Pintu terbuka
kita tidak meragu-mengeluhkan satu sama lain,
kita bebas memasuki: pintu-pintu yang terbuka
Tawa
Ada tawa, terdengar tak ramah
(dari ‘Wilayah Merdeka’~katanya, tawa berasal)
“sepertinya... tadi, saya dengar... anda menertawakan diri sendiri, tuan...
seakan mempecundangi diri sendiri... bukan?”
Kita tidak akan berbalik badan:
membalas tawa dengan umpatan
kita sedang saksikan
betapa tuan kita yang merasa jadi pewaris tahta
ditikam kebodohan, atau
patutkah kita catat tanggal
agar kebodohan tuan terkenang?
Tidak,
biar dikenang-kenangnya sendiri
nanti juga akan jadi belati sepi
ada tawa terdengar
‘tika yang tergusur melangkah tertatih bertafakur
dan yang dirampas, bergelimang syahwat
sedang yang terampas diam meranggas
ada tawa dari badut kita yang merasa jadi pewaris tahta
Dendam
Ku titipkan sepasang mata dicakrawala
tajam mengenang leher tuan
kian tajam terasah tawa-caci
ah, jadi benci
dendam ini, tuan, juga adalah Tanya
mendesak, minta jawab, bukan?
Sebuah keinginan (dariku, yang ingin merdeka)
aku pingin melangkah
berada dihalaman istana merdeka
disana sepertinya dapat kurasa:
gelora semangat juang yang kubaca
dalam buku sejarah
aku ingin ada disana
istana,
simbol negara pernah merdeka
lalu kembali turut bersuara:
merdeka
tapi,
lagi
langkah terhalang
pagar komprador yang (sedang) berkuasa
Kawan
tiada perlu kiranya ‘tuk selalu mendengar
suara merdu nona dalam dongeng ‘kemuliaan’
kawan,
seharimu ‘kan sia-sia
‘tika takjub-kagum pada suara merdu nona kita
sebab, nona hanya sedang bercerita
mungkin agar kita diam ‘tuk dengar
sedang dia tiada mampu menjaga tabiatnya
atau mungkin saja dia sedang enggan:
memberi keteladanan dari ucap-mulia ia bercerita
Kawan
Mari sejenak kita menepi-sepi
kegaduhan hanya akan mengasingkan
kita harus segera menyatakan diri
kedaulatan hanyalah milik sang berani
kawan,
orang berdaulat mengerti
kemuliaan adalah keberanian untuk berdaulat:
“mundur secara terhormat pada saat yang baik
dan pergi pada saat harus pergi”
Mata tuan
Siapa sangka
mata tuan juga menyimpan ngeri
‘tika mereka yang terusir
melintas beriring didepan mata tuan
bukankah tuan tiada tahan
menyaksikan selintas derita
sedang tuan juga sadar:
didepan sana,
mereka juga siapkan seribu warna
jadi panji-panji ‘tuk melawan
Batas
Diambang senja langit memerah
tiada tawa, alam tak bersuara
tanah air (jadi) milik siapa?
Sedang kami terusik-hina-terusir
wilayah seharusnya tiada
tapi segala seakan terampas
hingga tiada pernah pahami
batas-batas
Serigala
Kau pasti ingin mengerti:
Serigala menjaga tidur kita
Cintaku
Tak perlu buru-buru
akupun tiada hendak nyatakan
aku punya cintaku sendiri
Jendela
Kawan, jangan hanya terpekur diam
jika tidak banyak yang dapat dilakukan
mari kita saksikan:
kerumunan kerbau yang digiring tanpa tujuan
mari kawan,
dari selembar jendela dapat kita saksikan
perselingkuhan ternak dalam gempita pesta singgahsana
kawan, mari kita saksikan dari jendela kita
betapa rendah makna hidup
mari kita saksikan
adegan percumbuan para bandit yang berkuasa
biar kuulang satu kata
dan kawan (biarlah kusambung setiap sajakmu yang datang menjerit)
sebelum semua jadi serba sulit ~ yang ku tau: kita baringkan setiap kata
pada lembaran-lembaran sajak dan komentar yang menggetar
ijinkan aku mengulang satu kata lagi
untuk nanti kau dengar dalam angan lamunan
dimana kerap kita sempatkan sedikit waktu tuk pergi menjauh dari kesadaran
tentu, ketika 'kesadaran' jadi penganggu dan kita hanya ingin berteman lamunan
sekali lagi kawan, biar kuulang satu kata lagi
selagi purnama menyala-nyala terangnya~senyummu hadir pula disana:
bermain warna pada setiap aksara, dan aku menyukainya
aku menyukai setiap warna yang kau sapukan diangkasa
sebagaimana kusuka caramu tersenyum pada dunia
biarlah kawan, biar kuulang satu kata lagi
sebelum sempat kau hisap batang-batang rokokmu
lalu kita hirupi aroma kopi yang pekat dengan nikmat ketulusan
akan kuulang sekali lagi, kawan
sembari mendengar kabar sejarah yang berulang-ulang
sejarah, dengannyalah kita biasa diskusikan berbagai hal, juga masa depan
atau tentang cinta, dimana rindu sulit temukan ruang sandar
sebab cinta telah jadi sebuah masalah yang terus berulang-ulang
dan kawan, ijinkanlah aku mengulang satu kata lagi, hanya satu kata
kata yang telah langka untuk selalu kita dengar
kata yang pernah jadi simbol perjuangan
kata yang membuat kita selalu bangga menatap sang saka berkibar
kawan, akan kuulang satu kata untuk kita: merdeka!
Ini semacam drama tragedi itu
tunggulah sementara
hingga segala mereda
tunggulah saat kita kembali bicara
Capulet-Montague takkan sudi berdamai
kita berada diantaranya,
diantara kekakuan dan kebisuan
segala segera mereda
tunggulah sementara
bersama rindu dan cinta
kita kan segera bersua
dalam hangat asmara
cukuplah
nona...
cukuplah sekali
nona redupkan hati dengan caci
kelak...
ataupun hari ini
diri tak lagi sudi
kembali berbagi
refleksi adegan “drama ruang gerak”
membaur pada bumi yang kau miliki,
sajakku kan tetap jadi saksi
ini kisah menuang luka, "luka yang dapat kubawa berlari"
disini tiada ku sembunyi,
hanya terus berkata,
hingga mata tak lagi menyambut senja
Kalah
kekalahan hari ini sama halnya dengan kekalahan kekalahan sebelumnya,
terbiasa kalah adalah anugerah, selamat buat yang menang
keindahankah (?)
keindahan tiada bermakna jika masih ada yang terluka
untuk apa warna jika berdarah-darah,
seperti pesta pora ditengah derita,
seperti berenang riang dalam kolam air mata
Kota
bintang gumintang hilang lenyap berganti siang benderang,
melaju dalam keterasingan dan debu jaman,
kemana kota berselimut kabut yang dulu ku kenal?
Hanya pesta keangkuhan dan barisan kebodohan,
disini kulihat wajah pucatmu kota,
disini kau belai nadiku dengan kesombongan,
dan aku tak akan berlari,
kusambut nafasmu dengan nyanyian sabda alam
secarik sajak buat yang terluka
(kepada yang terusir dan terampas)
ijinkan aku membasuh guratan guratan luka itu,
hingga kita kembali bersama dalam barisan juang penuh cinta,
dan rasa itu biarlah mengendap menjadi semangat dalam pengembaraan kita
Ajaklah (aku) kawan
bawalah kaki kaki ini menuju puncak bukit,
biarkan mata mata ini melihat keindahan mbulan,
dan telinga telinga ini menjauh dari kebisingan,
hingga tau cara berpikir rakyat merdekaFriday, June 24, 2011
sajak kecil wajah kebenaran
rumput diam tak bergerak
aku tersentak,
mendapati wajah kebenaran yang retak
Thursday, June 23, 2011
sajak tentang asmara
Pada selembar potret: Nona Ney
ada keramahan yang tertinggal pada gambar
(tak kutemukan kata yang paling rindu)
maka kutuang aksara ditiap lembarnya
biar terbaca, biar terkenang dalam sejarah
~terbuka kelopak bunga musim berawal,
tiada kutemukan dalam nadiku:
kata yang paling cinta,
maka kupasrahkan saja dalam do'a
selembar demi selembar kubuka senyuman
kutemukan sebentuk lamunan diwajahmu, sayang
Wednesday, June 22, 2011
Teror: Bom; waktu
Hanyalah meja seorang Direktur, manajer dan para penjilat yang sampai saat ini terhias oleh mesin komputer dan telphon, juga botol sampanye dan sepiring spageti, tidak lupa juga sekertaris cantik dengan rok mini yang selalu mendampingi mereka. Sedangkan untuk pekerja, karyawan rendahan dan orang-orang yang berhati lurus, hanyalah tersedia setumpuk pekerjaan untuk segera diselesaikan, selalu berhadapan dengan mesin tik tua warisan generasi sebelumnya.
Dering telphon memanggil dari meja Pak Direktur, tapi beliau tidak ada di tempat. Segera, seorang penjilat bermuka dua tergopoh-gopoh mencari. Berlari, melompat kekiri-kekanan. Terus mencari, diruang bawah, diruang atas, kolong meja, dalam lemari, loker, map! Siapa tahu beliau sedang berzina didalam “Map!”.
Selang beberapa menit, Pak Direktur, seorang penuh wibawa itu muncul dengan memakai stelan jas yang membungkus tubuh bongsornya, berdasi, cerutu ditangan dan seorang penjilat yang ramah disampingnya. Segera Pak Direktur mengangkat gagang telphon.
“Halo, selamat siang, direktur PeTe Ranggas disini, dengan siapakah saya berbicara? Dan ada perlu apa?” katanya pada seseorang melalui telphon, “apa!” lanjutnya, dan suasana menjadi hening. Tidak seperti biasanya Pak Direktur yang penuh wibawa, yang selalu tenang meski sedang berbicara lewat telphon, tiba-tiba berteriak.
Orang-orang terdiam demi mendengar dan memperhatikan Pak Direktur.
“Anda sudah gila ya?! Dasar orang iseng brengsek!” kata Pak Direktur, lalu ia meletakkan gagang telphon, setengah membanting.
“Ada apa gerangan, bapak berwajah cerah yang baik hati?” tanya seorang penjilat yang sejak tadi berada disamping Pak Direktur.
“Orang iseng brengsek! Katanya dikantor ini ada bom, gila tidak?!” jawab Pak Direktur.
“Oh telphon gelap toh” kata seorang karyawan dan mereka kembali bekerja, sibuk.
Beberapa menit kemudian, telphon kembali bordering. Lagi-lagi orang iseng tadi, dan kembali Pak Direktur marah, dan kembali Pak Direktur meyakinkan para karyawannya untuk kembali bekerja. Dan kejadian it uterus-terusan berulang, hingga membuat resah para karyawan.
“Orang itu telphon lagi pak?” tanya seorang karyawan.
“Iya, dan kalian terus kerja, tidak usah menghiraukan orang iseng itu!” jawab Pak Direktur, ketus.
“Tapi, bagaimana jika orang itu benar pak?” tanya seorang karyawan yang lain, dan suasana didalam gedung menjadi riuh.
“Benar pak, bagaimana kalau ia bersungguh-sungguh”
“Sudah diam kalian! Dan lekas kembali bekerja!” jawab Pak Direktur, marah.
Para karyawan tidak kunjung tenang, malah bertambah panik. Ada juga yang mulai kembali bekerja, namun tiba-tiba kembali berhenti, cemas. Seakan AC diseluruh ruangan tidak lagi berfungsi. Semua berkeringat, berjalan dan saling menatap dengan sorot mata yang gelisah. Terdiam, hening mencoba untuk menggapai kesadaran. Tapi semua telah berubah, suasana yang penuh kedisiplinan, kini tenggelam dalam kecemasan. Dan telphon kembali bordering, semua mata saling menatap, tegang.
“Gila!” teriak Pak Direktur “seratus tahun lagi bom akan meledak!” lanjutnya, panik.
“Ada apa?” tanya seorang karyawan.
“Teror! Terror bom!” kata karyawan yang lain.
“Gawat ini!” kata yang lain lagi “cepat hubungi keamanan, satpam!”.
“Tidak bisa, pak satpam sedang onani, tidak bisa diganggu” kata karyawan yang pertama “kita harus segera keluar dari tempat ini” lanjunya.
“Kalau begitu telphon polisi, cepat!”
“Tidak bisa, polisi enggan datang kesini, kantor ini nggak bisa nyogok dan kantor ini kotor” kata karyawan yang pertama “kita harus meninggalkan tempat ini” lanjutnya.
Suasana semakin kacau, membingungkan. Semua cemas, menunggu dan mencari keputusan terbaik. Seakan badai datang dan masuk kedalam gedung, membuat ribut dan memporak-porandakan situasi yang telah lama menjadi tradisi. Sedangkan kerapian tak lagi berbentuk, hanyalah kekalutan yang menjadi warna.
“Kenapa, kenapa polisi enggan datang?”
“Tempat ini kotor! Tolol!”
“lalu, bagaimana dengan petugas cleaning? Apa dia sudah kabur karena gajinya kecil”
“Tidak, bukan itu, tempat ini bersih, indah dan rapi, tapi hati orang-orang disini kotor, busuk, tapi enggan membayar sogokan”
“Kita harus segera meninggalkan tempat ini, cepat! Kurang seratus tahun lagi”.
“Tapi lewat mana, ruang atas, bawah, pintu, jendela, tangga atau lif?”.
“Tidak kita harus hubungi keamanan, satpam!”
Mereka semakin panik dan harus segera mengambil keputusan, menyelamatkan jiwa mereka. Takut, menangis, berteriak, berlari dan saling menatap, gila. Dan mereka terus mencari keputusan terbaik saat ini.
“Keluar! Lewat pintu kanan”
“Bodoh! Lewat pintu kiri, lebih formal!”.
“Tidak! Panggil keamanan, satpam!”
“Bangsat kalian! Cepat kembali kerja, kita satu keluarga disini, kita akan mati bersama disini!” kata Pak Direktur yang sudah mulai sinting.
“Guoblok! Otakmu sudah miring ya?!” kata seorang karyawan “teman-teman! Ayo kita pukuli orang ini”.
“Benar, dasar orang tidak bertanggung jawab!”.
Dan beberapa karyawan mulai berbondong-bondong, mengepung lalu menggebuki Pak Direktur. Menendang, menampar, meninju, mencakar, mencubit gemas membuat Pak Direktur tak berdaya. Sedangkan karyawan yang lain, ada yang bersorak sorai member semangat, ada yang berteriak ngeri, ada yang membela Pak Direktur, ada yang mencoba melerai, ada yang bengong dan ada juga yang mulai bekerja, namun kembali berhenti oleh cemas yang semakin meremas.
Pak Direktur klenger, samar-samar ia menangis, samar-samar ia tertawa. Bersandar pada dinding. Bersimpuh pada kalut. Sedangkan orang-orang tak lagi sudi untuk memperhatikannya, ia berteriak-teriak sambil menjambaki rambutnya sendiri. Sedangkan orang-orang kembali tenggelam dalam cemas, ia menyelam dalam, mengarungi ketidaksadaran hingga akhirnya terbisu dalam kaku.
Waktu terus berjalan, seperti biasa dan yang telah lama menjadi tradisi. Para karyawan pulang saat jam kerja telah usai, dan mereka kembali esok paginya. Kembali datang dengan semangat kerja. Tapi mereka tak lagi dapat bekerja sesuai dengan yang telah menjadi tradisi, disiplin. Mereka kembali tenggelam dalam kecemasan, panik dan kalut.
Mereka harus segera mendapatkan, membuat keputusan terbaik untuk segera menyelamatkan diri.
“Keluar! Lewat pintu!”
“Tidak, lewat jendela!”
“Bodoh! Panggil keamanan, satpam!”.
Saling beradu argument, saling menyalahkan. Berusaha untuk menemukan keputusan terbaik, hingga waktu terus terbuang sia-sia, saling ingin menonjolkan diri, bersemangat ingin menjadi pahlawan, sedangkan waktu terus terbuang percuma “cepat! Kurang seratus tahun Lagi!”.
Malang, 23 Februari 2003