orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya (Pramoedya Ananta Toer)

About Me

My photo
seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki

Anda pengunjung ke:

Tuesday, June 28, 2011

Refleksi adegan "Drama ruang gerak"

Penjilat tak layak jadi kawan

bekerjasama dengan seorang penjilat sama halnya dengan berteman dengan seorang 'pengkhianat', apakah ada yang percaya dengan seorang pengkhianat? Sedangkan dengan menjilat, seseorang telah mengkhianati dirinya sendiri.


Makna perjuangan

semoga kita paham dengan yang sedang kita perjuangkan
ketika kita pantas mati karenanya
atau hanya sekedar tersiksa menyandang beban kebanggan
lalu berlari saat kalah~kita sedang berada diantara reruntuhan
membawa segala keyakinan akan kemenangan dalam keterasingan
pikiran kita telah melanggar semangat kita
kita memaksakan diri kita untuk menyendiri
sedang kita mengerti: tiada mungkin untuk hidup sendiri


Lawan si Kerdil?

dicari cari siapa yang berkelakuan jahat
ternyata hanya sekedar manusia berwatak kerdil:
eh, ada bocah kecil bermain ranting mirip bedil!


Jalan terbaik

adalah pilihan terbaik menurut beberapa orang untuk membuka ruang debat dalam penyelesaian masalah, tapi bagi orang-orang yang cerdik: berunding adalah yang terbaik daripada berdebat dan perang adalah pilihan terbaik untuk membuka segala kemungkinan untuk berunding.


Seteru

dilingkarinya nama-nama

lalu tempat-tempat; wilayah

menciptakan garis-garis kediktatoran

berpisah dari kesadarannya sebagai manusia

menyepi dalam kebencian

dipecahnya nama demi nama

siapa kawan dan siapa lawan

dimana wilayah kuasa

dan dimana tempat terlarang

~dikharamkannya sendiri bumi pijakan

dibisikkannya kebencian

pada siapa mendengar:

dihatinya

Tuhan telah hilang


Mereka (kau, dia dan beliau)

mereka berkumpul

jadi satu kekuatan

sekalian jadi kesatuan watak:

penjilat,

penghasut,

sekalian pecundang-bajingan bertopeng kemuliaan agama

dan

pelacur yang membalut tubuh dengan kemuliaan 'hijab'

lalu mencari-cari ke(pem)benaran dari kekeliruan

apalah untuk menyebutnya

‘hipokrit!’

Mereka bermuka dua

dengan kalimat kalimat ambigu dari mulut yang bau


Aliansi kami

masing-masing bikin koalisi

rangkul sana-sini:

hasut dan jilat sana-sini

kami tidak pergi, kami hanya menepi

bikin semacam aliansi

dengan beberapa gelas kopi

kami lihat dari tempat tertinggi

sambil tertawa-bernyanyi


Perang

apa itu cinta

kutemukan hanya kepentingan

tak ada itu cinta

asmara,

ragu aku:

apa kau mengenalnya

sedang kau dan mereka

sama saja

bertempur demi kepentingan

dan yang kau pilih:

menghalalkan perang

untuk kepentingan

sedang aku:

benci perang


kata tuan kita

“tenang!

Jangan hingar, telah kuputuskan:

Kita jangan terlalu idealis! Atau

jangan lagi ada yang memelihara idealism,

makanan apa itu ‘idealism’?”

katanya, sembari mengusap-usap kumis

dan

kami diam berpandangan

dalam hati aku berkata:

ide memang impian,

hidup tanpa ide adalah hidup penuh kepalsuan

dan itu, sekarang

benar terjadi ‘tuan’


Tutup selingkuh atau perselingkuhan massal

Bagaimana mengungkap

tabiat tuan-nona disekeliling singgahsana

diri merasa:

ada semacam lingkar-lingkar asmara

ingkar pada kuasa Yang Maha Esa

atau malah jadi ikatan

‘tuk mempererat keintiman

dalam menutup kecurangan


Serenade buat penjilat

Bukan lantaran iri diri merasa jadi anak tiri

teristimewa pada tuan yang merasa jadi pewaris tahta:

yang kami punya hanya tinggal ampas

kenapa tuan hendak merampas?


Belajar

Apakah anak-anak masih berangkat sekolah pagi ini?

Aku Tanya, soalnya ragu: apa mereka masih percaya dengan sekolah?

Sekolah

Ya, sekolah

Tempat mereka belajar dulu

tempat yang mereka percayai dulu sebagai tempat berkumpul:

orang-orang tulus menularkan ilmu

apakah anak-anak berbaris rapi dilapangan menunggu bendera berkibar?

Aku bertanya sebab setahuku mereka jadi gemar loncat pagar

kabur mengabur dari lingkungan mirip kubur:

Sekolah,

tanyakan pada mereka

apa masih ada orang bijak yang tulus meneladankan kejujuran disana?

Kalau tidak, biarlah mereka belajar dari sinetron-sinetron

biar berani mereka bermain watak, atau jadi culas sekalian


Saksi mata
mata, yang membaca
menderaikan air mata
demi segala peristiwa
yang terangkai dalam kata
mata, yang terlelap
menafsirkan luka
mengembara dalam setiap kisah
yang terbaca
menjadi saksi mata


Katakan pada ‘Tuan Besar’ kita:

“karma berjalan diatas relnya”

katakan itu pada tuan,

sebelum ia korbankan kawan,

sedang akupun juga saksikan:

betapa akrab ia berteman

sang penjilat berjiwa pengkhianat


Memilih

Biarlah segala diperebutkan

diri tiada diantara

kiranya sudah kata

diri menyepi

tiada bersama

senantia terdengar Tanya:

siapa kawan-siapa lawan?

tiada pernah: bagaimana korban?

betapa kuat ‘tuk selalu diingat

bagaimana tuan-tuan berucap

bagaimana nona bersikap

dan bagaimana tokoh utama perbuat

biarlah diri menepi

tiada ingin memihak

sebab pilihan senantiasa

menjebak


Sekolah kita

ternyata sekolah kita tidak cukup hanya punya R.A. Kartini dan Ki Hajar Dewantara

sekolah kita butuh seorang lagi biar lengkap

biar tidak hanya sekedar bisa baca tulis

berhitung-hapalan rumus trus lulus

sekolah kita butuh seorang lagi jagoan yang berani dalam kejujuran

agar sekolah lebih transparan

seorang jagoan yang tidak hanya mengajarkan kejujuran

sebab kejujuran butuh dilatih

kejujuran itu otot mental

dan Tuhan sudah ingatkan kita akan hal itu:

dengan memberi kita rasa takut untuk jujur

jadi sekolah kita butuh seorang lagi seperti Siami


Pintu terbuka

kita tidak meragu-mengeluhkan satu sama lain,
kita bebas memasuki: pintu-pintu yang terbuka


Tawa

Ada tawa, terdengar tak ramah

(dari ‘Wilayah Merdeka’~katanya, tawa berasal)


sepertinya... tadi, saya dengar... anda menertawakan diri sendiri, tuan...
seakan mempecundangi diri sendiri... bukan?”


Kita tidak akan berbalik badan:

membalas tawa dengan umpatan

kita sedang saksikan

betapa tuan kita yang merasa jadi pewaris tahta

ditikam kebodohan, atau

patutkah kita catat tanggal

agar kebodohan tuan terkenang?

Tidak,

biar dikenang-kenangnya sendiri

nanti juga akan jadi belati sepi


ada tawa terdengar

‘tika yang tergusur melangkah tertatih bertafakur

dan yang dirampas, bergelimang syahwat

sedang yang terampas diam meranggas

ada tawa dari badut kita yang merasa jadi pewaris tahta


Dendam

Ku titipkan sepasang mata dicakrawala

tajam mengenang leher tuan

kian tajam terasah tawa-caci

ah, jadi benci

dendam ini, tuan, juga adalah Tanya

mendesak, minta jawab, bukan?


Sebuah keinginan (dariku, yang ingin merdeka)

aku pingin melangkah
berada dihalaman istana merdeka
disana sepertinya dapat kurasa:
gelora semangat juang yang kubaca
dalam buku sejarah

aku ingin ada disana
istana,
simbol negara pernah merdeka
lalu kembali turut bersuara:
merdeka

tapi,
lagi
langkah terhalang
pagar komprador yang (sedang) berkuasa


Kawan

tiada perlu kiranya ‘tuk selalu mendengar

suara merdu nona dalam dongeng ‘kemuliaan’

kawan,

seharimu ‘kan sia-sia

‘tika takjub-kagum pada suara merdu nona kita

sebab, nona hanya sedang bercerita

mungkin agar kita diam ‘tuk dengar

sedang dia tiada mampu menjaga tabiatnya

atau mungkin saja dia sedang enggan:

memberi keteladanan dari ucap-mulia ia bercerita

Kawan

Mari sejenak kita menepi-sepi

kegaduhan hanya akan mengasingkan

kita harus segera menyatakan diri

kedaulatan hanyalah milik sang berani

kawan,

orang berdaulat mengerti

kemuliaan adalah keberanian untuk berdaulat:

“mundur secara terhormat pada saat yang baik

dan pergi pada saat harus pergi”


Mata tuan

Siapa sangka

mata tuan juga menyimpan ngeri

‘tika mereka yang terusir

melintas beriring didepan mata tuan

bukankah tuan tiada tahan

menyaksikan selintas derita

sedang tuan juga sadar:

didepan sana,

mereka juga siapkan seribu warna

jadi panji-panji ‘tuk melawan


Batas

Diambang senja langit memerah

tiada tawa, alam tak bersuara

tanah air (jadi) milik siapa?

Sedang kami terusik-hina-terusir

wilayah seharusnya tiada

tapi segala seakan terampas

hingga tiada pernah pahami

batas-batas


Serigala

Kau pasti ingin mengerti:

Serigala menjaga tidur kita


Cintaku

Tak perlu buru-buru

akupun tiada hendak nyatakan

aku punya cintaku sendiri


Jendela

Kawan, jangan hanya terpekur diam

jika tidak banyak yang dapat dilakukan

mari kita saksikan:

kerumunan kerbau yang digiring tanpa tujuan

mari kawan,

dari selembar jendela dapat kita saksikan

perselingkuhan ternak dalam gempita pesta singgahsana

kawan, mari kita saksikan dari jendela kita

betapa rendah makna hidup

mari kita saksikan

adegan percumbuan para bandit yang berkuasa


biar kuulang satu kata

dan kawan (biarlah kusambung setiap sajakmu yang datang menjerit)
sebelum semua jadi serba sulit ~ yang ku tau: kita baringkan setiap kata
pada lembaran-lembaran sajak dan komentar yang menggetar
ijinkan aku mengulang satu kata lagi
untuk nanti kau dengar dalam angan lamunan
dimana kerap kita sempatkan sedikit waktu tuk pergi menjauh dari kesadaran
tentu, ketika 'kesadaran' jadi penganggu dan kita hanya ingin berteman lamunan
sekali lagi kawan, biar kuulang satu kata lagi
selagi purnama menyala-nyala terangnya~senyummu hadir pula disana:
bermain warna pada setiap aksara, dan aku menyukainya
aku menyukai setiap warna yang kau sapukan diangkasa
sebagaimana kusuka caramu tersenyum pada dunia
biarlah kawan, biar kuulang satu kata lagi
sebelum sempat kau hisap batang-batang rokokmu
lalu kita hirupi aroma kopi yang pekat dengan nikmat ketulusan
akan kuulang sekali lagi, kawan
sembari mendengar kabar sejarah yang berulang-ulang
sejarah, dengannyalah kita biasa diskusikan berbagai hal, juga masa depan
atau tentang cinta, dimana rindu sulit temukan ruang sandar
sebab cinta telah jadi sebuah masalah yang terus berulang-ulang
dan kawan, ijinkanlah aku mengulang satu kata lagi, hanya satu kata
kata yang telah langka untuk selalu kita dengar
kata yang pernah jadi simbol perjuangan
kata yang membuat kita selalu bangga menatap sang saka berkibar
kawan, akan kuulang satu kata untuk kita: merdeka!


Ini semacam drama tragedi itu

tunggulah sementara
hingga segala mereda
tunggulah saat kita kembali bicara
Capulet-Montague takkan sudi berdamai
kita berada diantaranya,
diantara kekakuan dan kebisuan
segala segera mereda
tunggulah sementara
bersama rindu dan cinta
kita kan segera bersua
dalam hangat asmara


cukuplah

nona...
cukuplah sekali
nona redupkan hati dengan caci

kelak...
ataupun hari ini
diri tak lagi sudi
kembali berbagi


refleksi adegan “drama ruang gerak”

membaur pada bumi yang kau miliki,

sajakku kan tetap jadi saksi

ini kisah menuang luka, "luka yang dapat kubawa berlari"

disini tiada ku sembunyi,

hanya terus berkata,

hingga mata tak lagi menyambut senja


Kalah

kekalahan hari ini sama halnya dengan kekalahan kekalahan sebelumnya,

terbiasa kalah adalah anugerah, selamat buat yang menang


keindahankah (?)

keindahan tiada bermakna jika masih ada yang terluka

untuk apa warna jika berdarah-darah,

seperti pesta pora ditengah derita,

seperti berenang riang dalam kolam air mata


Kota

bintang gumintang hilang lenyap berganti siang benderang,

melaju dalam keterasingan dan debu jaman,

kemana kota berselimut kabut yang dulu ku kenal?

Hanya pesta keangkuhan dan barisan kebodohan,

disini kulihat wajah pucatmu kota,

disini kau belai nadiku dengan kesombongan,

dan aku tak akan berlari,

kusambut nafasmu dengan nyanyian sabda alam


secarik sajak buat yang terluka

(kepada yang terusir dan terampas)

ijinkan aku membasuh guratan guratan luka itu,

hingga kita kembali bersama dalam barisan juang penuh cinta,

dan rasa itu biarlah mengendap menjadi semangat dalam pengembaraan kita


Ajaklah (aku) kawan

bawalah kaki kaki ini menuju puncak bukit,

biarkan mata mata ini melihat keindahan mbulan,

dan telinga telinga ini menjauh dari kebisingan,

hingga tau cara berpikir rakyat merdeka

No comments:

Post a Comment