orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya (Pramoedya Ananta Toer)

About Me

My photo
seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki

Anda pengunjung ke:

Wednesday, June 22, 2011

Teror: Bom; waktu

Masih sama, seperti hari-hari yang lalu, Bulan-bulan yang lalu, tahun-tahun yang sebelumnya dan abad-abad yang lalu. Semuanya masih sama dan akan tetap sama, suasana didalam kantor. Orang-orang sibuk berlalu-lalang, menenteng lembaran-lembaran kertas kerja, map, dokumen dan surat-surat. Seakan orang-orang sedang diperbudak oleh waktu, hingga terdengar suara mesin tik yang berburu-buru “clek, clek, clak!”.

Hanyalah meja seorang Direktur, manajer dan para penjilat yang sampai saat ini terhias oleh mesin komputer dan telphon, juga botol sampanye dan sepiring spageti, tidak lupa juga sekertaris cantik dengan rok mini yang selalu mendampingi mereka. Sedangkan untuk pekerja, karyawan rendahan dan orang-orang yang berhati lurus, hanyalah tersedia setumpuk pekerjaan untuk segera diselesaikan, selalu berhadapan dengan mesin tik tua warisan generasi sebelumnya.

Dering telphon memanggil dari meja Pak Direktur, tapi beliau tidak ada di tempat. Segera, seorang penjilat bermuka dua tergopoh-gopoh mencari. Berlari, melompat kekiri-kekanan. Terus mencari, diruang bawah, diruang atas, kolong meja, dalam lemari, loker, map! Siapa tahu beliau sedang berzina didalam “Map!”.

Selang beberapa menit, Pak Direktur, seorang penuh wibawa itu muncul dengan memakai stelan jas yang membungkus tubuh bongsornya, berdasi, cerutu ditangan dan seorang penjilat yang ramah disampingnya. Segera Pak Direktur mengangkat gagang telphon.

“Halo, selamat siang, direktur PeTe Ranggas disini, dengan siapakah saya berbicara? Dan ada perlu apa?” katanya pada seseorang melalui telphon, “apa!” lanjutnya, dan suasana menjadi hening. Tidak seperti biasanya Pak Direktur yang penuh wibawa, yang selalu tenang meski sedang berbicara lewat telphon, tiba-tiba berteriak.

Orang-orang terdiam demi mendengar dan memperhatikan Pak Direktur.

“Anda sudah gila ya?! Dasar orang iseng brengsek!” kata Pak Direktur, lalu ia meletakkan gagang telphon, setengah membanting.

“Ada apa gerangan, bapak berwajah cerah yang baik hati?” tanya seorang penjilat yang sejak tadi berada disamping Pak Direktur.

“Orang iseng brengsek! Katanya dikantor ini ada bom, gila tidak?!” jawab Pak Direktur.

“Oh telphon gelap toh” kata seorang karyawan dan mereka kembali bekerja, sibuk.

Beberapa menit kemudian, telphon kembali bordering. Lagi-lagi orang iseng tadi, dan kembali Pak Direktur marah, dan kembali Pak Direktur meyakinkan para karyawannya untuk kembali bekerja. Dan kejadian it uterus-terusan berulang, hingga membuat resah para karyawan.

“Orang itu telphon lagi pak?” tanya seorang karyawan.

“Iya, dan kalian terus kerja, tidak usah menghiraukan orang iseng itu!” jawab Pak Direktur, ketus.

“Tapi, bagaimana jika orang itu benar pak?” tanya seorang karyawan yang lain, dan suasana didalam gedung menjadi riuh.

“Benar pak, bagaimana kalau ia bersungguh-sungguh”

“Sudah diam kalian! Dan lekas kembali bekerja!” jawab Pak Direktur, marah.

Para karyawan tidak kunjung tenang, malah bertambah panik. Ada juga yang mulai kembali bekerja, namun tiba-tiba kembali berhenti, cemas. Seakan AC diseluruh ruangan tidak lagi berfungsi. Semua berkeringat, berjalan dan saling menatap dengan sorot mata yang gelisah. Terdiam, hening mencoba untuk menggapai kesadaran. Tapi semua telah berubah, suasana yang penuh kedisiplinan, kini tenggelam dalam kecemasan. Dan telphon kembali bordering, semua mata saling menatap, tegang.

“Gila!” teriak Pak Direktur “seratus tahun lagi bom akan meledak!” lanjutnya, panik.

“Ada apa?” tanya seorang karyawan.

“Teror! Terror bom!” kata karyawan yang lain.

“Gawat ini!” kata yang lain lagi “cepat hubungi keamanan, satpam!”.

“Tidak bisa, pak satpam sedang onani, tidak bisa diganggu” kata karyawan yang pertama “kita harus segera keluar dari tempat ini” lanjunya.

“Kalau begitu telphon polisi, cepat!”

“Tidak bisa, polisi enggan datang kesini, kantor ini nggak bisa nyogok dan kantor ini kotor” kata karyawan yang pertama “kita harus meninggalkan tempat ini” lanjutnya.

Suasana semakin kacau, membingungkan. Semua cemas, menunggu dan mencari keputusan terbaik. Seakan badai datang dan masuk kedalam gedung, membuat ribut dan memporak-porandakan situasi yang telah lama menjadi tradisi. Sedangkan kerapian tak lagi berbentuk, hanyalah kekalutan yang menjadi warna.

“Kenapa, kenapa polisi enggan datang?”

“Tempat ini kotor! Tolol!”

“lalu, bagaimana dengan petugas cleaning? Apa dia sudah kabur karena gajinya kecil”

“Tidak, bukan itu, tempat ini bersih, indah dan rapi, tapi hati orang-orang disini kotor, busuk, tapi enggan membayar sogokan”

“Kita harus segera meninggalkan tempat ini, cepat! Kurang seratus tahun lagi”.

“Tapi lewat mana, ruang atas, bawah, pintu, jendela, tangga atau lif?”.

“Tidak kita harus hubungi keamanan, satpam!”

Mereka semakin panik dan harus segera mengambil keputusan, menyelamatkan jiwa mereka. Takut, menangis, berteriak, berlari dan saling menatap, gila. Dan mereka terus mencari keputusan terbaik saat ini.

“Keluar! Lewat pintu kanan”

“Bodoh! Lewat pintu kiri, lebih formal!”.

“Tidak! Panggil keamanan, satpam!”

“Bangsat kalian! Cepat kembali kerja, kita satu keluarga disini, kita akan mati bersama disini!” kata Pak Direktur yang sudah mulai sinting.

“Guoblok! Otakmu sudah miring ya?!” kata seorang karyawan “teman-teman! Ayo kita pukuli orang ini”.

“Benar, dasar orang tidak bertanggung jawab!”.

Dan beberapa karyawan mulai berbondong-bondong, mengepung lalu menggebuki Pak Direktur. Menendang, menampar, meninju, mencakar, mencubit gemas membuat Pak Direktur tak berdaya. Sedangkan karyawan yang lain, ada yang bersorak sorai member semangat, ada yang berteriak ngeri, ada yang membela Pak Direktur, ada yang mencoba melerai, ada yang bengong dan ada juga yang mulai bekerja, namun kembali berhenti oleh cemas yang semakin meremas.

Pak Direktur klenger, samar-samar ia menangis, samar-samar ia tertawa. Bersandar pada dinding. Bersimpuh pada kalut. Sedangkan orang-orang tak lagi sudi untuk memperhatikannya, ia berteriak-teriak sambil menjambaki rambutnya sendiri. Sedangkan orang-orang kembali tenggelam dalam cemas, ia menyelam dalam, mengarungi ketidaksadaran hingga akhirnya terbisu dalam kaku.

Waktu terus berjalan, seperti biasa dan yang telah lama menjadi tradisi. Para karyawan pulang saat jam kerja telah usai, dan mereka kembali esok paginya. Kembali datang dengan semangat kerja. Tapi mereka tak lagi dapat bekerja sesuai dengan yang telah menjadi tradisi, disiplin. Mereka kembali tenggelam dalam kecemasan, panik dan kalut.

Mereka harus segera mendapatkan, membuat keputusan terbaik untuk segera menyelamatkan diri.

“Keluar! Lewat pintu!”

“Tidak, lewat jendela!”

“Bodoh! Panggil keamanan, satpam!”.

Saling beradu argument, saling menyalahkan. Berusaha untuk menemukan keputusan terbaik, hingga waktu terus terbuang sia-sia, saling ingin menonjolkan diri, bersemangat ingin menjadi pahlawan, sedangkan waktu terus terbuang percuma “cepat! Kurang seratus tahun Lagi!”.

Malang, 23 Februari 2003

No comments:

Post a Comment