ada cangkir, hampir kering sisa semalam, terjaga berlama-lama cari jawab pada heningnya sepetak ruang, tempat berawal segala perjalanan. Diam.
ada asbak, meski bertumpuk rusuh tapi ia harus ada, agar tidak ada yang tercecer
ada dasi, terkapar atau memang sengaja dibuang karena tak begitu dimengerti: sejak jaman kolonial, simbol-simbol jadi awal dan alasan untuk berperang, kini dikenakan, sepertinya akrab dengan kekalahan
ada piring, diatasnya ada beberapa lembar adonan tepung yang mengering, untuk hidangan beberapa hari kedepan, kini tinggal beberapa lembar. Ada kenangan, tentang menu favorit diatas meja makan yang kini hilang satu persatu dimakan keadaan.
ada harapan, tak lagi menganggap mimpi sebagai hal yang menakutkan
ada sarang laba-laba, menggantung penuh misteri tanpa penghuni
ada setumpuk catatan, sisa pertengkaran: Do'a, keluh kesah, amarah dan umpatan.
ada senyum (milikmu) membayang bikin suasana lebih tenang
ada bendera, terlipat rapi diatas almari, sekedar jadi bumbu penyedap nasionalisme yang sering terlupa
ada imaji, nanti, ketika aku mati jasadku hilang tak ada yang mengenang, hanya lewat sajakku ini, orang jadi mengerti: namamu tak pernah letih kucari-cari
About Me
- Yoehan Rianto Prasetyo
- seorang guru, peminum kopi, pembaca buku yang suka berjalan kaki
Anda pengunjung ke:
Thursday, December 27, 2012
Friday, November 30, 2012
suka-suka kamu
ini aku
boleh kau bakar hingga jadi abu
atau kita bisa duduk tenang
berbicara tentang yang patut dibicarakan
boleh kau sayat hingga berdarah-darah
atau kita bisa bercengkrama
nikmati kehangatan yang ada
boleh kau injak hingga rata dengan tanah
atau kita bisa bersantai di pantai
sembari nyalakan unggun sama-sama,
kalau kau suka
nanti kita juga bisa main halma
boleh kau hujat hingga benar-benar hina
atau kita bisa saling tukar sajak
pada hari paling istimewa
ini aku
manusia yang sama
atau memang kau ingin?
Sebagaimana yang lain ingini?
Aku jadi sampah yang tak layak,
tempat segala umpatan-hinaan
dan kecurigaan
serta tuduhan yang tak mendasar?
SILAHKAN SAJA
...
... ...
... ... ...
"merdeka"
boleh kau bakar hingga jadi abu
atau kita bisa duduk tenang
berbicara tentang yang patut dibicarakan
boleh kau sayat hingga berdarah-darah
atau kita bisa bercengkrama
nikmati kehangatan yang ada
boleh kau injak hingga rata dengan tanah
atau kita bisa bersantai di pantai
sembari nyalakan unggun sama-sama,
kalau kau suka
nanti kita juga bisa main halma
boleh kau hujat hingga benar-benar hina
atau kita bisa saling tukar sajak
pada hari paling istimewa
ini aku
manusia yang sama
atau memang kau ingin?
Sebagaimana yang lain ingini?
Aku jadi sampah yang tak layak,
tempat segala umpatan-hinaan
dan kecurigaan
serta tuduhan yang tak mendasar?
SILAHKAN SAJA
...
... ...
... ... ...
"merdeka"
Monday, November 26, 2012
yang patah ini hatiku
I
yang patah ini hatiku
menggelepar dalam sunyi
kenyataan memang perlunya buat dilawan
tapi malah tambah hancur
jadi tempat segala dikubur:
caci maki
juga kecemburuan yang sepi
kata orang "patah tumbuh hilang berganti"
tapi tetap saja terkurung sunyi
dan... siapa juga yang peduli
biar kurawat sendiri
hingga nanti
ketika ia harus kembali
tentu, kepada Ilahi Robbi
II
yang patah ini hatiku
tiada yang tahu
mulut kubiarkan membisu
sembari nonton tingkahmu
~ah, sepertinya aku pernah cemburu
biarlah
nanti juga muncul episod yang baru:
tentang kau
atau
aku harus nulis judul sajak yang baru
III
sekali ini kudapati
kidung sunyi dari dalam hati
sakit ini jadi milik sendiri
kuyakini itu
sambil kata
"Tuhan tidak bersalah akan ini"
sebab
yang patah ini hatiku
biar kurawat sendiri
kalau sudah pulih
aku kembalikan
kepada Tuhan
IV
yang patah ini hatiku
demikian berkali-kali
entah kapan berhenti
yang patah ini hatiku
menggelepar dalam sunyi
kenyataan memang perlunya buat dilawan
tapi malah tambah hancur
jadi tempat segala dikubur:
caci maki
juga kecemburuan yang sepi
kata orang "patah tumbuh hilang berganti"
tapi tetap saja terkurung sunyi
dan... siapa juga yang peduli
biar kurawat sendiri
hingga nanti
ketika ia harus kembali
tentu, kepada Ilahi Robbi
II
yang patah ini hatiku
tiada yang tahu
mulut kubiarkan membisu
sembari nonton tingkahmu
~ah, sepertinya aku pernah cemburu
biarlah
nanti juga muncul episod yang baru:
tentang kau
atau
aku harus nulis judul sajak yang baru
III
sekali ini kudapati
kidung sunyi dari dalam hati
sakit ini jadi milik sendiri
kuyakini itu
sambil kata
"Tuhan tidak bersalah akan ini"
sebab
yang patah ini hatiku
biar kurawat sendiri
kalau sudah pulih
aku kembalikan
kepada Tuhan
IV
yang patah ini hatiku
demikian berkali-kali
entah kapan berhenti
Sunday, November 25, 2012
obrolan pada suatu malam: tentang kemanusiaan
pada malam,
meraba ketabahan
rayakan kesabaran
tafsirkan kemanusiaan:
meraba ketabahan
rayakan kesabaran
tafsirkan kemanusiaan:
dari tanah,
tanah
yang kau ludahi
kau injak dan kau kotori
tanah
tempat segala tumbuh-berawal
juga jadi tempat
nanti
ketika raga kembali ditanam
tanah
yang kau ludahi
kau injak dan kau kotori
tanah
tempat segala tumbuh-berawal
juga jadi tempat
nanti
ketika raga kembali ditanam
Thursday, November 22, 2012
Kepada cahaya
mendung sayang
rintik hujan juga tak henti
tadi
hangat sebentar
lalu mendung berarak datang
aku masih disini
kau cahaya
hangat menyapa
kau bintang
berpijar untuk sang malam
kau mentari
hadirkan yang terang-nyata
tetaplah terang
agar dunia tiada gelap-beku
jangan datang,
(jika) bersamaku
kau redup-hilang
tetaplah
benderang
tetaplah jadi penerang
~penuntun langkah
agar tak hilang arah
mendung sayang
rintik hujan juga tiada henti
aku masih disini,
berpikir:
setelah cahaya
entah apa
...
... ...
... ... ...
"merdeka!"
(kepada Cahaya, dariku: seorang lelaki bermata kabut)
rintik hujan juga tak henti
tadi
hangat sebentar
lalu mendung berarak datang
aku masih disini
kau cahaya
hangat menyapa
kau bintang
berpijar untuk sang malam
kau mentari
hadirkan yang terang-nyata
tetaplah terang
agar dunia tiada gelap-beku
jangan datang,
(jika) bersamaku
kau redup-hilang
tetaplah
benderang
tetaplah jadi penerang
~penuntun langkah
agar tak hilang arah
mendung sayang
rintik hujan juga tiada henti
aku masih disini,
berpikir:
setelah cahaya
entah apa
...
... ...
... ... ...
"merdeka!"
(kepada Cahaya, dariku: seorang lelaki bermata kabut)
Tuesday, November 20, 2012
obrolan tentang keadaan (kita... materialist)
mungkin sekedar keadaan
tidak pernah sekalipun
~dari awal jumpa yang lalu,
kita bentangkan pikiran
menantang kenyataan
hampir selalu tentang keadaan
yang mempengaruhi pikiran
sedang harapan redup-hambar
tanpa pernah ada kemauan
untuk melawan
kemana perginya gagasan?
Segala mengalir seakan tanpa kesadaran,
atau hanya sekedar ketakutan:
ragu untuk mampu mengatasi keadaan
tidak pernah sekalipun
~dari awal jumpa yang lalu,
kita bentangkan pikiran
menantang kenyataan
hampir selalu tentang keadaan
yang mempengaruhi pikiran
sedang harapan redup-hambar
tanpa pernah ada kemauan
untuk melawan
kemana perginya gagasan?
Segala mengalir seakan tanpa kesadaran,
atau hanya sekedar ketakutan:
ragu untuk mampu mengatasi keadaan
Monday, November 19, 2012
obrolan
selarut ini kita bertemu diatas tanah merdeka
hampir tanpa kedaulatan kita bentangkan cita dan harapan
kau sampirkan surbanmu sekenanya
sangat sederhana kita maknai gelapnya malam
kita memang jalanan
jelata yang bukan rongsokan
tetes hujan pertama tadi milik bersama
hingga nanti,
ketika ia mengisi gelas-cangkir
yang entah milik siapa
kita kenangkan malam ini
Tan Malaka
H.M Misbach
juga Marsinah
hadirkan seluruhnya
juga dengan Hatta, Sjahrir dan H. Agus salim
jangan lupa ajak orator kita
Soekarno
lalu kita berbincang lama-lama
sambil nunggu
kabut datang gantikan duka
sebab hujan sudah mulai reda
kabut datang
kita menghambur-hilang
sebab, esok pagi kita musti kembali
berbaur dengan debu
diantara para tertindas
menyobek catatan-catatan sejarah
biar akrab melekat diotak mereka
kau pakai surbanmu sekenanya
kepadamu kuberikan nada
dan syair penuh harapan
nanti kita nyanyi sama-sama
ketika Indonesia benar-benar telah merdeka
hampir tanpa kedaulatan kita bentangkan cita dan harapan
kau sampirkan surbanmu sekenanya
sangat sederhana kita maknai gelapnya malam
kita memang jalanan
jelata yang bukan rongsokan
tetes hujan pertama tadi milik bersama
hingga nanti,
ketika ia mengisi gelas-cangkir
yang entah milik siapa
kita kenangkan malam ini
Tan Malaka
H.M Misbach
juga Marsinah
hadirkan seluruhnya
juga dengan Hatta, Sjahrir dan H. Agus salim
jangan lupa ajak orator kita
Soekarno
lalu kita berbincang lama-lama
sambil nunggu
kabut datang gantikan duka
sebab hujan sudah mulai reda
kabut datang
kita menghambur-hilang
sebab, esok pagi kita musti kembali
berbaur dengan debu
diantara para tertindas
menyobek catatan-catatan sejarah
biar akrab melekat diotak mereka
kau pakai surbanmu sekenanya
kepadamu kuberikan nada
dan syair penuh harapan
nanti kita nyanyi sama-sama
ketika Indonesia benar-benar telah merdeka
Tuesday, October 23, 2012
ucap merdeka
bagaimana bisa kau ucap merdeka
sedang penindasan masih jelas terpelihara?
Untuk apa kau ucap merdeka
ketika ketimpangan sosial jadi cerita wajar
dan tontonan yang layak jual?
Atas dasar apa kau ucap merdeka
sedang ketergantungan masih membelenggu?
Atau
baiknya, kita ucap merdeka
bagai sumpah-serapah untuk mereka yang serakah
kita ucap merdeka
untuk jadi semboyan juang pembebasan
atau...
kita ucapkan "merdeka"
untuk sekedar mengisi waktu senggang
yang tersisa diantara ketertindasan
"MERDEKA!"
sedang penindasan masih jelas terpelihara?
Untuk apa kau ucap merdeka
ketika ketimpangan sosial jadi cerita wajar
dan tontonan yang layak jual?
Atas dasar apa kau ucap merdeka
sedang ketergantungan masih membelenggu?
Atau
baiknya, kita ucap merdeka
bagai sumpah-serapah untuk mereka yang serakah
kita ucap merdeka
untuk jadi semboyan juang pembebasan
atau...
kita ucapkan "merdeka"
untuk sekedar mengisi waktu senggang
yang tersisa diantara ketertindasan
"MERDEKA!"
Saturday, October 13, 2012
merah yang sama III
harus kepada siapa aku alamatkan
segenap kebingungan dan tanya yang lama tak terjawab?
Mata ini mengikuti
segaris jalan
dimana kau terlihat melenggang
pergi, tinggalkan lelaki ini
menyendiri mendendangkan shalawat
lalu turut mengalir
pada arah yang tak sama
merahmu berkibar di kota yang kini kau tingal
merahku berkibar, tadi sempat menyambut
hadirmu
kini, merahku kembali sendiri
berkibar sepi diantara riuh pestanya kota
nyanyikan syair perjuangan dalam kesendirian
lelaki ini
turut mengalir pergi
pada arah yang tak sama
segenap kebingungan dan tanya yang lama tak terjawab?
Mata ini mengikuti
segaris jalan
dimana kau terlihat melenggang
pergi, tinggalkan lelaki ini
menyendiri mendendangkan shalawat
lalu turut mengalir
pada arah yang tak sama
merahmu berkibar di kota yang kini kau tingal
merahku berkibar, tadi sempat menyambut
hadirmu
kini, merahku kembali sendiri
berkibar sepi diantara riuh pestanya kota
nyanyikan syair perjuangan dalam kesendirian
lelaki ini
turut mengalir pergi
pada arah yang tak sama
merah yang sama II
semoga ada kesempatan,
buat jumpa,
sekali lagi
sekedar menyambung
perdebatan kita
semoga berlanjut
canda-gurau kita
salam merdeka,
kepada sekuntum bunga
jadi cahaya bangsa
merahku
sebagaimana merahmu
buat jumpa,
sekali lagi
sekedar menyambung
perdebatan kita
semoga berlanjut
canda-gurau kita
salam merdeka,
kepada sekuntum bunga
jadi cahaya bangsa
merahku
sebagaimana merahmu
merah yang sama
sore,
angin jadi tak tenang
sayang
langit jadi cerah-biru
sekali tak ingin
kau telantarkan hati
dalam sepi
~berkali-kali,
inilah yang terjadi
selalu saja
kesimpulan mengambang
diakhir pertemuan
meski tegas warna yang ada
kau dan aku
sama merah
angin jadi tak tenang
sayang
langit jadi cerah-biru
sekali tak ingin
kau telantarkan hati
dalam sepi
~berkali-kali,
inilah yang terjadi
selalu saja
kesimpulan mengambang
diakhir pertemuan
meski tegas warna yang ada
kau dan aku
sama merah
Wednesday, September 26, 2012
aku rindu manusia
apalah yang kau impikan?
Segala tak lagi samar
dibiarkan dan jadi wajar
padahal, kurang ajar
kebangsaan?
Atas nama persaudaraan yang entah
atau atas nama koalisi
atau rekanan atau apalah...
lupakan,
lupakanlah kebangsaan
sebab ketimpangan lebih menguntungkan
kemanusiaan?
Apalagi, enyahkan saja
selagi keterasingan tak lagi sebagai wabah
karena wajar saja
Darwinis sosial lebih berarti
daripada Ketuhanan Yang Maha Esa,
persaingan adalah yang utama
sekedar untuk bertahan hidup
atau mempertahankan harga diri
hingga lupa akan jati diri
persaingan adalah wajar
hingga ketimpangan dirasa perlu
ada dan dipelihara
jalanan jadi kurang ajar
sama seperti didalam pagar
tabiat hedon adalah gambar
sama kurang wajar
atau
otakku
yang memang
kurang wajar?
Aku rindu
ketemu manusia
Segala tak lagi samar
dibiarkan dan jadi wajar
padahal, kurang ajar
kebangsaan?
Atas nama persaudaraan yang entah
atau atas nama koalisi
atau rekanan atau apalah...
lupakan,
lupakanlah kebangsaan
sebab ketimpangan lebih menguntungkan
kemanusiaan?
Apalagi, enyahkan saja
selagi keterasingan tak lagi sebagai wabah
karena wajar saja
Darwinis sosial lebih berarti
daripada Ketuhanan Yang Maha Esa,
persaingan adalah yang utama
sekedar untuk bertahan hidup
atau mempertahankan harga diri
hingga lupa akan jati diri
persaingan adalah wajar
hingga ketimpangan dirasa perlu
ada dan dipelihara
jalanan jadi kurang ajar
sama seperti didalam pagar
tabiat hedon adalah gambar
sama kurang wajar
atau
otakku
yang memang
kurang wajar?
Aku rindu
ketemu manusia
Friday, September 21, 2012
kemarin tentang suatu saat
kemarin itu
ku sulut sebatang
lalu,
mulai menghimpun kata
ada kerinduan mengendap
tak pernah terjawab
tentang suatu saat:
sejenak,
luangkan waktu
sekedar bercakap
menjawab setiap tanya
tentang hari ini, kemarin
dan sebelumnya
tentang arti tatapan mata
dan senyuman
atau
tentang sesudah kerinduan
atau entah apa
lalu, kembali bernyanyi
tembang patah hati
ku sulut sebatang
lalu,
mulai menghimpun kata
ada kerinduan mengendap
tak pernah terjawab
tentang suatu saat:
sejenak,
luangkan waktu
sekedar bercakap
menjawab setiap tanya
tentang hari ini, kemarin
dan sebelumnya
tentang arti tatapan mata
dan senyuman
atau
tentang sesudah kerinduan
atau entah apa
lalu, kembali bernyanyi
tembang patah hati
Wednesday, September 19, 2012
Kiri seksi
jalanan jadi kurang ajar
sama seperti didalam pagar
tabiat hedon adalah gambar
sama kurang wajar
...................................................................................
ada banyak mata diangkasa
kira-kira siapa yang punya
juga dengan telinga,
sepertinya telinga yang gerah
merekam tiap-tiap gerak
panggung sandiwara
jadi penuh curiga
aku,
tertawa
aku,
seperti menjelma
jadi Ernesto Guevara
diawasi bak narapidana politik
atau penyakit masyarakat lainnya
ya, penyakit bagi kemapanan,
masyarakat yang mapan
bermanja-manja dalam kebodohan.
Jadi Tan Malaka
senantiasa menghujat
imperialisme yang serakah
baiklah,
kita ulang saja
masa kanak-kanak
berlagak jadi mafia
lalu detektif-detektifan
silahkan saja
ambil posisi sebagai mafia
gagah-keren sebab punya peran utama
tapi, dalam hati aku berkata:
kiri lebih seksi
sama seperti didalam pagar
tabiat hedon adalah gambar
sama kurang wajar
...................................................................................
ada banyak mata diangkasa
kira-kira siapa yang punya
juga dengan telinga,
sepertinya telinga yang gerah
merekam tiap-tiap gerak
panggung sandiwara
jadi penuh curiga
aku,
tertawa
aku,
seperti menjelma
jadi Ernesto Guevara
diawasi bak narapidana politik
atau penyakit masyarakat lainnya
ya, penyakit bagi kemapanan,
masyarakat yang mapan
bermanja-manja dalam kebodohan.
Jadi Tan Malaka
senantiasa menghujat
imperialisme yang serakah
baiklah,
kita ulang saja
masa kanak-kanak
berlagak jadi mafia
lalu detektif-detektifan
silahkan saja
ambil posisi sebagai mafia
gagah-keren sebab punya peran utama
tapi, dalam hati aku berkata:
kiri lebih seksi
Tuesday, September 18, 2012
pingin seperti rajawali
jalanan jadi kurang ajar
sama seperti didalam pagar
tabiat hedon adalah gambar
sama kurang wajar
.............................. .............................. .......................
sama seperti didalam pagar
tabiat hedon adalah gambar
sama kurang wajar
..............................
sekali ini
kepingin nikmati imaji
lepas-bebas dari realitas dan idealitas
kedua ini jika ketemu jadi perdebatan kosong
tidak ada yang ideal dalam kenyataan,
katanya "semua harus serba adaptasi"
padahal omongan ini juga merupakan ide, gagasan
omong kosong bukan?
sekali ini
kepingin nikmati imaji
terbang tinggi seperti rajawali
kepingin nikmati imaji
lepas-bebas dari realitas dan idealitas
kedua ini jika ketemu jadi perdebatan kosong
tidak ada yang ideal dalam kenyataan,
katanya "semua harus serba adaptasi"
padahal omongan ini juga merupakan ide, gagasan
omong kosong bukan?
sekali ini
kepingin nikmati imaji
terbang tinggi seperti rajawali
Thursday, September 13, 2012
Nisan sang penyaksi
jalanan jadi kurang ajar
sama seperti didalam pagar
tabiat hedon adalah gambar
sama kurang wajar
.............................. .............................. .......................
sama seperti didalam pagar
tabiat hedon adalah gambar
sama kurang wajar
..............................
ada kesepakatan diam
sembunyi dibalik gerik-tingkah
diamati, jadi tontonan
sekalian direkam jadi sajak:
adalah obrolan kacau kekanak-kanakkan
menyelinap
diantara hiruk-tawa dan canda anak-anak
didengar-direkam jadi sajak
nanti dipahat pada batu pualam
lalu jadi nisan:
tanda pernah terlibat dalam kesaksian
sembunyi dibalik gerik-tingkah
diamati, jadi tontonan
sekalian direkam jadi sajak:
adalah obrolan kacau kekanak-kanakkan
menyelinap
diantara hiruk-tawa dan canda anak-anak
didengar-direkam jadi sajak
nanti dipahat pada batu pualam
lalu jadi nisan:
tanda pernah terlibat dalam kesaksian
Wajah
kita
datang berwajah-wajah, hanya untuk sekedar mengenal satu sama lain,
nanti juga kita kembalikan, tanpa tangis tanpa senyuman.
jadi, jangan hanya mabuk dan terkapar diatas ranjang, sembari merencanakan wajah apa yang nanti kita kenakan. Wajahmu, wajahku atau wajah-wajah lain yang menghias wajah-wajah ini.
mengingat barisan do'a menghadapkan wajah kepada Tuhan Pencipta seluruh langit dan bumi dengan penuh kepasrahan, memohon petunjuk kepada Yang berhak mengampuni segala dosa.
"wajjahtu wajhiya lilladzii fatharassamaawaati wal ardh hanifammusliman wa maa anaa minal musyrikiina..."
jadi, jangan hanya mabuk dan terkapar diatas ranjang, sembari merencanakan wajah apa yang nanti kita kenakan. Wajahmu, wajahku atau wajah-wajah lain yang menghias wajah-wajah ini.
mengingat barisan do'a menghadapkan wajah kepada Tuhan Pencipta seluruh langit dan bumi dengan penuh kepasrahan, memohon petunjuk kepada Yang berhak mengampuni segala dosa.
"wajjahtu wajhiya lilladzii fatharassamaawaati wal ardh hanifammusliman wa maa anaa minal musyrikiina..."
Friday, August 31, 2012
Tangis dan hujan
Rintiknya jatuh menghapus segala yang gersang
sekali ini kutemui
tingkah jujur yang mengalir
basahi rumput-dedaunan
diserap akar dan kehidupan
sebelum menuang
dalam gelas-cangkir kita
ada sepatah tanya
terapung dipermainkan angin
lalu kita mulai
cari jawab
lewat ranting-ranting sungai
sebelum haus menyudahinya
apa yang mesti ditangisi dari hujan?
Jati diri Indonesia
Berpikir:
tentang nasionalisme yang mengendap dalam cangkir kedaulatan
atau hanya sekedar jadi benteng kemapanan
tanpa ada upaya perjuangan bagi rakyat jelata
tentang nasionalisme yang mengendap dalam cangkir kedaulatan
atau hanya sekedar jadi benteng kemapanan
tanpa ada upaya perjuangan bagi rakyat jelata
dan
kebangsaan itu kembali ditempa, di atas tanah merdeka
membaca lagi sila kelima
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
~cita-cita bangsa,
atau harus
mendaur ulang rasa kebangsaan
berangkat dari awal
yang benar-benar awal
dimana mula kebangsaan dinyatakan:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
kebangsaan itu kembali ditempa, di atas tanah merdeka
membaca lagi sila kelima
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
~cita-cita bangsa,
atau harus
mendaur ulang rasa kebangsaan
berangkat dari awal
yang benar-benar awal
dimana mula kebangsaan dinyatakan:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
dimana Soekarno pun pernah bilang:
“Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada ‘menselijkheid’. Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan, begitulah Gandhi berkata,
Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami sebut: sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah demokrasi yang kami sebutkan: sosio-demokrasi”.
..............................
“Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.” (Soekarno, 1964).
..............................
“Nasionalisme Eropa ialah suatu nasionalisme yang bersifat menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, dan nasionalisme semacam itu akhirnya pastilah binasa,”
..............................
tentu,
nasionalisme
yang memberi kemanusiaan didalam setiap jiwa
bukan sekedar kebanggan semu
nasionalisme
yang memberi cinta kepada setiap jiwa
hingga mau-tanpa ragu memperjuangkan
perbaikan hidup bagi sesama.
Merdeka.
Wednesday, July 18, 2012
Kujamah kenangan
kujamah kenangan
ada berpadu rasa:
cemburu
mendapatimu di rembulan
hati jadinya hingar
pada senja terdahulu
kita bertemu
bergurau sebab satu hal yang lucu
adalah senyummu
mengapung bersama mbulan
suatu saat
akan kuingat
~sekali lagi
dimana dapat
kucumbu bayangmu
ada berpadu rasa:
cemburu
mendapatimu di rembulan
hati jadinya hingar
pada senja terdahulu
kita bertemu
bergurau sebab satu hal yang lucu
adalah senyummu
mengapung bersama mbulan
suatu saat
akan kuingat
~sekali lagi
dimana dapat
kucumbu bayangmu
Sunday, June 17, 2012
Yang ada dalam hati pada sabtu malam, 16 bulan Juni 2012
Menghindar dari kepalsuan
adalah terbangun pada malam
tunduk-akrab pada sebentuk kehadiran
yang tak hilang, pun 'tika siang
~hanya saja para pengkhotbah gemar beretorika
dan
'tika siang pula
rakus-serakah jadi gemar tebar fitnah
pada malam
yang bukan hanya milik para bintang
bukan pula wilayah berkuasanya keheningan
jadi awal akrab-kepatuhan pada sebentuk kehadiran
kesejatian yang kerab terlupakan
sebentuk kehadiran:
jawaban segala resah dan kesah
(terkadang saja, atau malah seringnya
hanya disadari sebagai dongeng belaka)
... berkenalan dulu,
aku,
bukanlah wali atau nabi
ustadpun bukan, pun tidak sakti
dosaku masih banyak dan akan makin banyak
sebab aku goblok dalam ketololanku
aku bukan manusia suci pilihan
sebagaimana para nabi dan wali
aku masih goblok
sebagaimana kegoblokkanku
untuk terus menambah dosa
seperti ketika~maaf bercerita:
pada suatu peristiwa
mungkin akan kuingat sepanjang masa
dimana kutemui ketidak adilan
dan kejamnya realitas sosial-asmara
betapa kejam aku diperlakukan
hingga tanpa sadar
entah, mungkin lantaran marah-kebingungan
kukatakan saja:
aku bersumpah
kutunggu mereka dineraka
"astaga!"
siksa api neraka yang tak terbayangkan
tiadalah mungkin sanggup ku terima,
betapa bodohnya
dan
masih juga kucari keadilan:
mempertanyakan keadilan ditiap-tiap do'a
yang kunyanyikan siang-malam
padahal sudah seharusnya aku sadar
kepada Yang Maha Adil aku senantiasa bersandar:
Ya Allah
hanya kepadaMulah aku memohon
hanya kepadaMulah aku berlindung
Kaulah yang berkuasa atas hidup dan matiku
Ya Allah, ampunilah aku
aku memohon kepadaMu
ketika orang-orang berebut kuasa
banyak yang hilang arah
fitnah jadi senjata
hidup jadi penuh tipu daya
hanya kepadaMulah Ya Allah
kuharap tuntunan melangkah
Ya Allah
anugerahkanlah ikhlas-ketabahan
jika memang pahit-getir yang kusandang
dari sikap-perlakuan mereka yang kejam
adalah ketetapan
aku tunduk-pasrah
jika itu adalah keadilan-Mu
harapku adalah kemudahan dari-Mu
Pada malam
yang telah biasa kukenal
'tika penghancuran akhlak jadi legal-lumrah
dan kesesatan ramai diharapkan
kesesatan disambut riang gembira
sebagai keberhasilan yang (dianggap) nyata
ijinkanlah,
ijinkanlah aku bertanya-tanya dari atas sajadah
adalah terbangun pada malam
tunduk-akrab pada sebentuk kehadiran
yang tak hilang, pun 'tika siang
~hanya saja para pengkhotbah gemar beretorika
dan
'tika siang pula
rakus-serakah jadi gemar tebar fitnah
pada malam
yang bukan hanya milik para bintang
bukan pula wilayah berkuasanya keheningan
jadi awal akrab-kepatuhan pada sebentuk kehadiran
kesejatian yang kerab terlupakan
sebentuk kehadiran:
jawaban segala resah dan kesah
(terkadang saja, atau malah seringnya
hanya disadari sebagai dongeng belaka)
... berkenalan dulu,
aku,
bukanlah wali atau nabi
ustadpun bukan, pun tidak sakti
dosaku masih banyak dan akan makin banyak
sebab aku goblok dalam ketololanku
aku bukan manusia suci pilihan
sebagaimana para nabi dan wali
aku masih goblok
sebagaimana kegoblokkanku
untuk terus menambah dosa
seperti ketika~maaf bercerita:
pada suatu peristiwa
mungkin akan kuingat sepanjang masa
dimana kutemui ketidak adilan
dan kejamnya realitas sosial-asmara
betapa kejam aku diperlakukan
hingga tanpa sadar
entah, mungkin lantaran marah-kebingungan
kukatakan saja:
aku bersumpah
kutunggu mereka dineraka
"astaga!"
siksa api neraka yang tak terbayangkan
tiadalah mungkin sanggup ku terima,
betapa bodohnya
dan
masih juga kucari keadilan:
mempertanyakan keadilan ditiap-tiap do'a
yang kunyanyikan siang-malam
padahal sudah seharusnya aku sadar
kepada Yang Maha Adil aku senantiasa bersandar:
Ya Allah
hanya kepadaMulah aku memohon
hanya kepadaMulah aku berlindung
Kaulah yang berkuasa atas hidup dan matiku
Ya Allah, ampunilah aku
aku memohon kepadaMu
ketika orang-orang berebut kuasa
banyak yang hilang arah
fitnah jadi senjata
hidup jadi penuh tipu daya
hanya kepadaMulah Ya Allah
kuharap tuntunan melangkah
Ya Allah
anugerahkanlah ikhlas-ketabahan
jika memang pahit-getir yang kusandang
dari sikap-perlakuan mereka yang kejam
adalah ketetapan
aku tunduk-pasrah
jika itu adalah keadilan-Mu
harapku adalah kemudahan dari-Mu
Pada malam
yang telah biasa kukenal
'tika penghancuran akhlak jadi legal-lumrah
dan kesesatan ramai diharapkan
kesesatan disambut riang gembira
sebagai keberhasilan yang (dianggap) nyata
ijinkanlah,
ijinkanlah aku bertanya-tanya dari atas sajadah
Tuesday, June 12, 2012
sajak dihari selasa, tanggal 12 Juni 2012
daun,
sehelai runtuh
mendung jenuh
nunggu petir belum juga hadir
kepada yang hilang ingin dikenang
kulantunkan nyanyi sembari ingat
sebentuk senyum sapa yang ramah
hatimu
harapku dulu, tempat berteduh
tempat bersemayam kalimat-kalimat rayu
kini, tak lagi ruang tersisa
~coba pahami:
kutemui kini
diriku sendiri-menyendiri
diluar pagar harapan berkibar
larut dengan irama juang jalanan
daun, sehelai saja yang runtuh
ikhlas korbankan diri
demi tanah pertiwi
biar subur dan rakyat makmur
sehelai runtuh
mendung jenuh
nunggu petir belum juga hadir
kepada yang hilang ingin dikenang
kulantunkan nyanyi sembari ingat
sebentuk senyum sapa yang ramah
hatimu
harapku dulu, tempat berteduh
tempat bersemayam kalimat-kalimat rayu
kini, tak lagi ruang tersisa
~coba pahami:
kutemui kini
diriku sendiri-menyendiri
diluar pagar harapan berkibar
larut dengan irama juang jalanan
daun, sehelai saja yang runtuh
ikhlas korbankan diri
demi tanah pertiwi
biar subur dan rakyat makmur
Tuesday, June 5, 2012
kembali jadi saksi
berpikir...
setiap hari memandangi orang yang kehilangan jati diri
mendengar tentang murahnya harga diri,
atau bahkan gratis sama sekali
kenyataan lebih absurd dari mimpi dan prasangka,
inilah drama parodi badut-badut "hipokrit"
kawan,
kita saksikan
nanti kita ceritakan-pertanyakan
tentu
dihadapan Tuhan
setiap hari memandangi orang yang kehilangan jati diri
mendengar tentang murahnya harga diri,
atau bahkan gratis sama sekali
kenyataan lebih absurd dari mimpi dan prasangka,
inilah drama parodi badut-badut "hipokrit"
kawan,
kita saksikan
nanti kita ceritakan-pertanyakan
tentu
dihadapan Tuhan
Tuesday, May 22, 2012
lebih baik
akan jadi lebih baik
demikian
kau tumpahkan segenap benci untukku
bukan rindu
tak ada alasan
sebab tak ada yang dapat dijelaskan
-terima kenyataan
begitupun
akan jadi lebih baik
curahkan segala asmara
kepada yang senantiasa setia menerima
aku...
biar,
tiada patut rasa menerima
dalam wujud kesendirian
tiada kesepian
masih ada do'a
lalu kucoba bahagia
dibawah kibaran bendera yang sama
merdeka
Saturday, April 28, 2012
Bosan diantara keramaian dan tidak ada yang ingin ku kenang
tak ada yang dapat dan ingin kukenang
ini negeri ilalang, sebentar juga~kurasa akan hilang
beranjak lewat setapak
dari Parangtritis, Kute lalu Balekambang
dari Pasar Turi hingga Klewer
malas aku kenang
tak nyaman rasa hati meski rindu menggenang
sudahlah,
malam ini kopi ku habis tinggal ampas
dan masih juga berpikir
tentang kesadaran yang tak wajar
kesadaran yang memberi selintas batas
dengan mereka 'yang pada umumnya'
masih di tepi jalan
memandangi roda-roda lari berkejaran
sayang-sayang malas kukenang
bayang mengambang
perlahan ingin kutinggalkan
disini, ditepi jalan
membaca Pram dan derita buangan
lalu bergumam: aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
roda-roda masih lari berkejaran
jalanan jadi ramai oleh lalu-lalang
membuang pandang sekedar tak ingin mengenang
menunggu kabar dari Siberia dan Palestina
semoga masih ada semangat juang dan kemanusiaan
akupun rindu kemerdekaan
sebagaimana aku merindu tentang keadilan
tapi, mau bagaimana lagi
senyatanya hidup hanya kujumpai permainan
ah, terlalu lama bergumam
pikiran melayang di awang-awang
hingga aku lupa:
jalan untuk pulang
ini negeri ilalang, sebentar juga~kurasa akan hilang
beranjak lewat setapak
dari Parangtritis, Kute lalu Balekambang
dari Pasar Turi hingga Klewer
malas aku kenang
tak nyaman rasa hati meski rindu menggenang
sudahlah,
malam ini kopi ku habis tinggal ampas
dan masih juga berpikir
tentang kesadaran yang tak wajar
kesadaran yang memberi selintas batas
dengan mereka 'yang pada umumnya'
masih di tepi jalan
memandangi roda-roda lari berkejaran
sayang-sayang malas kukenang
bayang mengambang
perlahan ingin kutinggalkan
disini, ditepi jalan
membaca Pram dan derita buangan
lalu bergumam: aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
roda-roda masih lari berkejaran
jalanan jadi ramai oleh lalu-lalang
membuang pandang sekedar tak ingin mengenang
menunggu kabar dari Siberia dan Palestina
semoga masih ada semangat juang dan kemanusiaan
akupun rindu kemerdekaan
sebagaimana aku merindu tentang keadilan
tapi, mau bagaimana lagi
senyatanya hidup hanya kujumpai permainan
ah, terlalu lama bergumam
pikiran melayang di awang-awang
hingga aku lupa:
jalan untuk pulang
Wednesday, April 25, 2012
Ya sudah
Air jernih mengalir
ya tiada mengapa
sejuk angin berhembus
ya biar
purnama melambung pelan-perlahan
tak resah sebab karenanya malam jadi indah,
seindah rasa yang dulu (pernah) datang
~kini; redup, hilang
ya tiada mengapa,
biar kubawa diam
masih juga menunggu puncak malam
diiring nada lewat tarian jemari
coba (ku)nikmati (ke)sepian ini
hanya sendiri
diantara segala yang berlalu
ya tiada mengapa
jembatan kayu jadi saksi bisu
langkah(ku) kian ragu
sedang didepan sana sang saka
berkibar malu-malu
"tersalamkan kedaulatan penuh persahabatan
kepada seluruh bangsa di dunia:
kami, ya Indonesia, masih ada"
setapak jalan jadi persemaian kuncup-kuncup bunga bangsa
ya, bangsa, bangsa yang besar
guguran daun cemara
bikin subur tanah air yang entah milik siapa
ya sudah
hampir malam buta
sepi semakin menjadi
ya sudah
biar nikmat setiap duka
(ku)titip rindu-cemburu dalam do'a
dan kata-kata ikut berlalu
ya sudah
masih tersisa kata sekedarnya saja
sekedar untuk nanti
untuk nyatakan
malam melambat
(ke)sepian semakin rekat tersemat
ya sudah
tiada mengapa
kesendirian adalah kehadiran
(pinus dan cemara seakan jadi pilar-pilar yang tegar diantara keheningan malam, sepasang sepatu lusuh berdebu jadi tambah letih untuk selalu menjauh dari kerlip lampu-lampu yang menyala satu persatu menyambut malam. Meja kayu dan kursi batu, secangkir kopi hangat tawarkan aroma tuk sekedar hiasi rindu, lalu unggun perlahan padam, isyaratkan tuk selalu diam dalam kesendirian. Ya sudah, semoga saja tersampaikan salam segenap rindu~sedang langkah semakin ragu)
ya tiada mengapa
sejuk angin berhembus
ya biar
purnama melambung pelan-perlahan
tak resah sebab karenanya malam jadi indah,
seindah rasa yang dulu (pernah) datang
~kini; redup, hilang
ya tiada mengapa,
biar kubawa diam
masih juga menunggu puncak malam
diiring nada lewat tarian jemari
coba (ku)nikmati (ke)sepian ini
hanya sendiri
diantara segala yang berlalu
ya tiada mengapa
jembatan kayu jadi saksi bisu
langkah(ku) kian ragu
sedang didepan sana sang saka
berkibar malu-malu
"tersalamkan kedaulatan penuh persahabatan
kepada seluruh bangsa di dunia:
kami, ya Indonesia, masih ada"
setapak jalan jadi persemaian kuncup-kuncup bunga bangsa
ya, bangsa, bangsa yang besar
guguran daun cemara
bikin subur tanah air yang entah milik siapa
ya sudah
hampir malam buta
sepi semakin menjadi
ya sudah
biar nikmat setiap duka
(ku)titip rindu-cemburu dalam do'a
dan kata-kata ikut berlalu
ya sudah
masih tersisa kata sekedarnya saja
sekedar untuk nanti
untuk nyatakan
malam melambat
(ke)sepian semakin rekat tersemat
ya sudah
tiada mengapa
kesendirian adalah kehadiran
(pinus dan cemara seakan jadi pilar-pilar yang tegar diantara keheningan malam, sepasang sepatu lusuh berdebu jadi tambah letih untuk selalu menjauh dari kerlip lampu-lampu yang menyala satu persatu menyambut malam. Meja kayu dan kursi batu, secangkir kopi hangat tawarkan aroma tuk sekedar hiasi rindu, lalu unggun perlahan padam, isyaratkan tuk selalu diam dalam kesendirian. Ya sudah, semoga saja tersampaikan salam segenap rindu~sedang langkah semakin ragu)
Wednesday, April 18, 2012
patah
yang patah, entah
hilang arah
nyanyian cinta jadi resah
~tetap saja terdengar:
ya, resah
jari jemari tetap menari
memetik nada
meski mendesah gamang
-------------------------------------------------------------------------------------------
yang patah, entah
hati lelah pikiran pecah
ya patah
tak bernada hanya suara
ah, ikhlas, ya tanpa batas
hilang arah
nyanyian cinta jadi resah
~tetap saja terdengar:
ya, resah
jari jemari tetap menari
memetik nada
meski mendesah gamang
-------------------------------------------------------------------------------------------
yang patah, entah
hati lelah pikiran pecah
ya patah
tak bernada hanya suara
ah, ikhlas, ya tanpa batas
Thursday, March 22, 2012
Diam-diam
Seseorang sembunyikan sesuatu
padahal aku tahu
Seseorang seperti menabur benih di atas ladangku
entah
akan tumbuh mawar atau benalu
andai aku tahu
Seseorang menyelipkan senyum dalam lamunanku
diam-diam akupun mulai merayu
Friday, March 9, 2012
Ku Pandangi kota itu, kota milikmu: Malang
akhirnya,
sampai juga langkah kita
pada 'suatu ketika'
suatu ketika yang tak pernah kita nantikan
suatu ketika yang telah ku duga
beginilah adanya:
kau gembalakan waktu
sedang aku tetap menghimpun kata
gerimis perlahan reda
surau-surau di kaki gunung bershalawat
dan anak-anak bertafakur
~sebentar lagi kabut turun,
jadi semacam tradisi menyambut sang gelap
disaat seperti ini,
seperti biasa, kita dapat pandangi
reranting-dahan yang basah
sambil menghirupi tanda kehadiran malam
ingin sekali aku menyendiri
diam mengawasi mentari yang enggan tenggelam
sedang jalanan kotamu bersiap dalam pesta cahaya
demikian, kebiasaan yang ada di kotamu
kita sama tahu
kotamu yang diam menyimpan banyak kisah
tentang kita,
tentang deru jalanan
tentang kibaran bendera
tentang perjuangan hidup
tentang desingan peluru dan gelegar meriam
sejarah, kotamu diam
inilah 'suatu ketika'
dimana kita tak lagi memiliki
tiap-tiap harapan yang pernah kita impikan
beginilah adanya,
mungkin juga yang terbaik
tiada kata yang dapat kuucap
tidak ada alasan dapat kuungkap
hanya aku harus ikhlas
biar kucerita sebaris sejarah,
di depan sana
kotamu yang diam
pernah jadi wilayah perebutan,
benteng terakhir dari kedaulatan selembar bendera
yang baru dikibarkan
senantiasa kubaca pergolakan dalam sejarah
didepan itu kotamu
tempat sejarah bergolak
kota itu milikmu
kusaksikan dari lereng gunung,
dari setapak
bekas lintasan gerilya
(kubayang senyummu
bukan tatapan tajam penuh permusuhan)
gelap segera datang menghimpun bintang
~masih kunanti pijar merah di utara,
dimana rindu masih mengapung di angkasa
kotamu, awal kisah bermula
sampai juga langkah kita
pada 'suatu ketika'
suatu ketika yang tak pernah kita nantikan
suatu ketika yang telah ku duga
beginilah adanya:
kau gembalakan waktu
sedang aku tetap menghimpun kata
gerimis perlahan reda
surau-surau di kaki gunung bershalawat
dan anak-anak bertafakur
~sebentar lagi kabut turun,
jadi semacam tradisi menyambut sang gelap
disaat seperti ini,
seperti biasa, kita dapat pandangi
reranting-dahan yang basah
sambil menghirupi tanda kehadiran malam
ingin sekali aku menyendiri
diam mengawasi mentari yang enggan tenggelam
sedang jalanan kotamu bersiap dalam pesta cahaya
demikian, kebiasaan yang ada di kotamu
kita sama tahu
kotamu yang diam menyimpan banyak kisah
tentang kita,
tentang deru jalanan
tentang kibaran bendera
tentang perjuangan hidup
tentang desingan peluru dan gelegar meriam
sejarah, kotamu diam
inilah 'suatu ketika'
dimana kita tak lagi memiliki
tiap-tiap harapan yang pernah kita impikan
beginilah adanya,
mungkin juga yang terbaik
tiada kata yang dapat kuucap
tidak ada alasan dapat kuungkap
hanya aku harus ikhlas
biar kucerita sebaris sejarah,
di depan sana
kotamu yang diam
pernah jadi wilayah perebutan,
benteng terakhir dari kedaulatan selembar bendera
yang baru dikibarkan
senantiasa kubaca pergolakan dalam sejarah
didepan itu kotamu
tempat sejarah bergolak
kota itu milikmu
kusaksikan dari lereng gunung,
dari setapak
bekas lintasan gerilya
(kubayang senyummu
bukan tatapan tajam penuh permusuhan)
gelap segera datang menghimpun bintang
~masih kunanti pijar merah di utara,
dimana rindu masih mengapung di angkasa
kotamu, awal kisah bermula
Wednesday, March 7, 2012
Mewah belum tentu istimewa
Memang bukan semangat saya untuk selalu berfoya-foya, tapi terkadang
ada juga keinginan untuk mencoba, minimal menikmati beberapa hal mewah,
semisal rokok Dji Sam Soe premium yang lebih dikenal dengan istilah
'reffil' atau 'nyruput' kopi luwak yang konon katanya punya kelas
tersendiri di Eropa sana~jangankan di Eropa, di tanah air saja seakan
jadi minuman khas para raja dengan harga yang seperti itu.
Meskipun pikiran saya memberontak dengan gagasan "tidak hanya para raja saja yang dapat menikmati keistimewaan dalam alam demokrasi" tapi kenyataan toh punya cerita lain, dan saya harus bersepakat dengan kenyataan. Jelata dalam sejarahnya selalu saja berada dalam bentuknya yang susah tanpa keistimewaan.
Kopi luwak per 100 gramnya bisa didapat dengan ongkos dua ratus ribu, sedang untuk Dji Sam Soe 'reffil' dengan harga sekitaran tiga belas ribu perbungkus, hal semacam ini sudah terlanjur mewah buat orang seperti saya yang biasanya juga menikmati segalanya dengan 'ala kadarnya'. Toh saya pun harus selalu berusaha menjadi orang yang beriman, saya dapati dari buku "Ikhlas Tanpa Batas" terbitan Zaman bahwasannya iman itu terdiri dari "separonya itu sabar dan separo yang lain adalah syukur".
Beruntung atau mungkin kebetulan saya dapat menikmati keduanya secara bersamaan, jadi semacam obat rindu untuk menikmati kemewahan ditengah kesempatan yang semakin sempit ini. Bahagia juga rasanya, sembari berharap dalam hati semoga kelak dapat terulang kembali hal yang sedemikian.
Ceritanya begini, karena kadung pinginnya menikmati hidup saya beli saja rokok Dji Sam Soe premium dengan sedikit uang honor bulan ketiga ditahun 2012 ini, ya sepulang kerja saya langsung menuju kios rokok dengan harapan yang berlebih untuk segera menikmati, setelah itu saya langsung pulang, waktu itu lagi "nggak pingin yang lain" hanya ingin bersantai di rumah dengan menghisap 'reffil'.
Belum sempat membuka bungkusnya sudah ditawari satu sasetan kopi bubuk oleh adik saya, bungkusnya dari kertas karton bergambar biji kopi dan seekor "luwak!", terkejut juga hati ini mendapatinya, terbayang pula sedap aromanya.
Sambil nunggu air mendidih saya sulut sebatang sam soe reffil, khas sensasinya meruang dalam sanubari para penikmat kretek seperti saya. Berselang kemudian setelah saya racik kopi luwak, saya duduk menyendiri di kamar, sedikit mencicipi kopi luwak yang sebelumnya 'menggeber' aroma khas dari cangkir saya. Nikmat, serasa menghadirkan surga kedalam kamar saya, inilah raja sehari pikir saya.
Ada keinginan untuk coba menikmati secara bersamaan, tidak akan saya sia-siakan hak istimewa yang kali ini saya dapatkan, hisap sam soe reffilnya bersambung dengan 'nyruput' kopi luwak. Rusak, sensasi kretek sekaligus aroma kopi hilang, tidak ada yang istimewa jadinya. Lewat begitu saja.
Saya coba lagi, tetap saja tidak ada yang istimewa. Selanjutnya saya pikir lebih baik dilakukan dengan cara bergantian, sensasi kenikmatan juga belum kembali, tetap sama, tidak ada yang istimewa.
Sadar saya seketika, percobaan pesta demokrasi telah menemui kegagalan dalam diri saya, sensasi kenikmatan kretek yang diwakili sam soe reffil dengan sensasi kenikmatan kopi luwak saling bertabrakan, tidak ada kesepakatan, masing-masing pihak berusaha untuk mendominasi tanpa ada rasa gotong royong dan asas musyawarah mufakat. Pun saya pikir memang~jika kembali pada keseharusan, demokrasi itu dibangun dengan kegotong royongan, bukan dengan upaya saling mendominasi dan saling jegal, jika itu terjadi maka rusaklah bangunan demokrasi itu.
Demikian dari pengalaman menikmati sensasi rokok kretek dan kopi luwak saya temukan bahwasannya segala yang mewah itu belum tentu istimewa, bisa jadi malah merusak nikmat keistimewaan itu sendiri. Salam.
Meskipun pikiran saya memberontak dengan gagasan "tidak hanya para raja saja yang dapat menikmati keistimewaan dalam alam demokrasi" tapi kenyataan toh punya cerita lain, dan saya harus bersepakat dengan kenyataan. Jelata dalam sejarahnya selalu saja berada dalam bentuknya yang susah tanpa keistimewaan.
Kopi luwak per 100 gramnya bisa didapat dengan ongkos dua ratus ribu, sedang untuk Dji Sam Soe 'reffil' dengan harga sekitaran tiga belas ribu perbungkus, hal semacam ini sudah terlanjur mewah buat orang seperti saya yang biasanya juga menikmati segalanya dengan 'ala kadarnya'. Toh saya pun harus selalu berusaha menjadi orang yang beriman, saya dapati dari buku "Ikhlas Tanpa Batas" terbitan Zaman bahwasannya iman itu terdiri dari "separonya itu sabar dan separo yang lain adalah syukur".
Beruntung atau mungkin kebetulan saya dapat menikmati keduanya secara bersamaan, jadi semacam obat rindu untuk menikmati kemewahan ditengah kesempatan yang semakin sempit ini. Bahagia juga rasanya, sembari berharap dalam hati semoga kelak dapat terulang kembali hal yang sedemikian.
Ceritanya begini, karena kadung pinginnya menikmati hidup saya beli saja rokok Dji Sam Soe premium dengan sedikit uang honor bulan ketiga ditahun 2012 ini, ya sepulang kerja saya langsung menuju kios rokok dengan harapan yang berlebih untuk segera menikmati, setelah itu saya langsung pulang, waktu itu lagi "nggak pingin yang lain" hanya ingin bersantai di rumah dengan menghisap 'reffil'.
Belum sempat membuka bungkusnya sudah ditawari satu sasetan kopi bubuk oleh adik saya, bungkusnya dari kertas karton bergambar biji kopi dan seekor "luwak!", terkejut juga hati ini mendapatinya, terbayang pula sedap aromanya.
Sambil nunggu air mendidih saya sulut sebatang sam soe reffil, khas sensasinya meruang dalam sanubari para penikmat kretek seperti saya. Berselang kemudian setelah saya racik kopi luwak, saya duduk menyendiri di kamar, sedikit mencicipi kopi luwak yang sebelumnya 'menggeber' aroma khas dari cangkir saya. Nikmat, serasa menghadirkan surga kedalam kamar saya, inilah raja sehari pikir saya.
Ada keinginan untuk coba menikmati secara bersamaan, tidak akan saya sia-siakan hak istimewa yang kali ini saya dapatkan, hisap sam soe reffilnya bersambung dengan 'nyruput' kopi luwak. Rusak, sensasi kretek sekaligus aroma kopi hilang, tidak ada yang istimewa jadinya. Lewat begitu saja.
Saya coba lagi, tetap saja tidak ada yang istimewa. Selanjutnya saya pikir lebih baik dilakukan dengan cara bergantian, sensasi kenikmatan juga belum kembali, tetap sama, tidak ada yang istimewa.
Sadar saya seketika, percobaan pesta demokrasi telah menemui kegagalan dalam diri saya, sensasi kenikmatan kretek yang diwakili sam soe reffil dengan sensasi kenikmatan kopi luwak saling bertabrakan, tidak ada kesepakatan, masing-masing pihak berusaha untuk mendominasi tanpa ada rasa gotong royong dan asas musyawarah mufakat. Pun saya pikir memang~jika kembali pada keseharusan, demokrasi itu dibangun dengan kegotong royongan, bukan dengan upaya saling mendominasi dan saling jegal, jika itu terjadi maka rusaklah bangunan demokrasi itu.
Demikian dari pengalaman menikmati sensasi rokok kretek dan kopi luwak saya temukan bahwasannya segala yang mewah itu belum tentu istimewa, bisa jadi malah merusak nikmat keistimewaan itu sendiri. Salam.
Tuesday, March 6, 2012
ingatlah, nanti kau akan ceritakan
gerimis
turun perlahan
mengiring sang kelam untuk datang
ada nyanyian tak sanggup ku dengar
alunannya tersendat oleh keraguan
ada suasana
tak ingin 'tuk kau lupa:
ingat-ingatlah segala perlakuan
segala yang tak ingin kukenang
ingat-ingatlah
bagaimana kuterjemahkan pedih
ingat-ingatlah,
dimana dapat kutemukan kembali
rangkai peristiwa sebagai sejarah
sedang kau tengah bersandiwara
ingatlah
hingga nanti,
nanti, ketika kau sematkan kembali
tiap jengkal peristiwa
lewat serangkai bunga,
serangkai bunga yang kau hiaskan
pada makam dimana jasadku tertanam
ingat-ingatlah segala perlakuan
hingga dapat kau ceritakan
di hadapan nisan
sedang hidup mengajariku:
tiada keadilan
semata permainan
turun perlahan
mengiring sang kelam untuk datang
ada nyanyian tak sanggup ku dengar
alunannya tersendat oleh keraguan
ada suasana
tak ingin 'tuk kau lupa:
ingat-ingatlah segala perlakuan
segala yang tak ingin kukenang
ingat-ingatlah
bagaimana kuterjemahkan pedih
ingat-ingatlah,
dimana dapat kutemukan kembali
rangkai peristiwa sebagai sejarah
sedang kau tengah bersandiwara
ingatlah
hingga nanti,
nanti, ketika kau sematkan kembali
tiap jengkal peristiwa
lewat serangkai bunga,
serangkai bunga yang kau hiaskan
pada makam dimana jasadku tertanam
ingat-ingatlah segala perlakuan
hingga dapat kau ceritakan
di hadapan nisan
sedang hidup mengajariku:
tiada keadilan
semata permainan
Thursday, February 23, 2012
sajak yang belum kutemukan judulnya
tanpa curiga
dan tak perlu lagi peduli
segala prasangka dan cibir-caci
[kurasa: biarkan saja mereka,
dengan pandangan mereka
(dan kehidupan:
berjalan apa adanya)
biarkan: mereka bercermin
kepada kita]
kawan, kita sedang melaju
dengan kecepatan penuh
diatas lintasan hidup
dan tak perlu lagi peduli
segala prasangka dan cibir-caci
[kurasa: biarkan saja mereka,
dengan pandangan mereka
(dan kehidupan:
berjalan apa adanya)
biarkan: mereka bercermin
kepada kita]
kawan, kita sedang melaju
dengan kecepatan penuh
diatas lintasan hidup
dariku tentang kau dan rock n'roll
(I)
hujan turun dengan deras
ketika rock n'roll dimainkan
muak!
cangkir-cangkir retak
menghujam lantai marmer
dan ku temukan diriku: marah
(II)
masih terdengar hentakkannya
rock n'roll
merobek sepi
kita turut bernyanyi
kita tunggu waktu
semenit atau lebih
tak masalah
akan tetap kita tunggu
waktu yang tepat
sudah diujung lagu
giliran kau yang merayu
aku atur dulu nafasku
diam sejenak-hening
lalu tibalah
"Paradise City" dinyanyikan
kita berhambur di lantai dansa
sebatang kretek kita bersama
sulut kretekmu kawan
selama cangkir-cangkir diam
dan angin yang dingin memeluk hidup tanpa mimpi
terkadang saja
kita sanggup bayangkan
kenikmatan hari depan
namun kembali
kita harus berlari diantara sesaknya hari
-salam juang pujangga merdeka, di hatimu suara derita, maka teriakkan!-
Saturday, January 21, 2012
Renungan Kerja
Akhir-akhir
ini saya sering mendapati keluhan orang, entah memang sengaja diceritakan atau
ketika mencuri dengar pembicaraan orang, keluhannya umum tapi ‘urgent’ yaitu masalah pekerjaan, saya
kata umum sebab inilah permasalahan pada umumnya orang-orang dan memang dari
jaman saya sekolah, kebingungan orang selalu saja berputar pada masalah
pencarian rejeki ataupun jodoh.
Dua
tema inilah yang kerap jadi persoalan yang sangat mungkin dibawa-bawa disetiap
do’a permohonan kepada Sang Pencipta. Semoga saja Tuhan tidak bosan mendengar
permohonan yang sebenarnya adalah urusan rahasia milikNya.
Terlepas
dari itu semua, pada dasarnya memang telah terjadi pendangkalan makna yang
bukan hanya menyangkut rejeki dan jodoh, tapi bahkan (mungkin) juga agama, atau
bahkan Tuhan pun telah didangkalkan? Iya atau tidak, kita bahas lain waktu,
harus ada kesiapan moral untuk menulisnya, cukuplah kini tentnag rejeki. Untuk
inipun harus didangkalkan dulu biar tidak terlalu ‘muluk-muluk’ atau “terlalu
idealis”.
Rejeki
menjadi dangkal maknanya ketika dibatasi lingkupnya, ketika faham materialism menyediakan
ruang sempit tentang orientasi finansial, dan rejeki berputar-putar pada
permasalahan kerja/pekerjaan, sedangkan kerja/pekerjaan sendiri juga telah
mengalami pendangkalan makna.
Hakikatnya
kerja memanglah untuk mencukupi kebutuhan hidup, manusia mengolah alam atau mengerjakan
alam untuk kemudian dapat mereka manfaatkan, contoh gampangnya ya bertani,
mengolah alam menjadi lahan pertanian yang hasilnya tentu untuk kebutuhan
makan. Lebih jauh dari itu. Pekerjaan, ialah kegiatan khas manusia yang
merupakan makhluk ganda yang aneh, disatu sisi sebagai makhluk alami
sebagaimana binatang yang membutuhkan alam untuk hidup sekaligus disisi lain
manusia dihadapkan dengan alam sebagai sesuatu yang asing~alam harus diolah
dulu, lebih dari itu harus menyesuaikan alam dengan kebutuhan-kebutuhannya.
Bagi
Karl Marx, kerja/pekerjaan adalah suatu proses yang menghasilkan, lebih jauh,
berikut pandangan Marx tentang bagaimana pekerjaan membenarkan diri manusia dan
hakikat sosial manusia.
“Andaikata
kita berproduksi sebagai manusia (artinya, secara tidak terasing):
masing-masing dari kita dalam produksinya membenarkan diri sendiri dan sesama secara
ganda. Aku dalam produksiku mengobjektifkan individualitasku, kekhasanku, maka
waktu melakukan kegiatan kunikmati… dalam memandang objek, kegembiraan
individual bahwa aku mengetahui kepribadianku sebagai kekuatan objektif yang
dapat dilihat secara inderawi, tidak dapat diragukan. Dalam nikmatmu atau
pemakaianmu atas objekku aku langsung menikmati kesadaran bahwa dalam
pekerjaanku aku memenuhi kebutuhan sebagai manusia dan karena menciptakan objek
yang sesuai dengan kebutuhan manusia lain, aku menjadi perantara antara engkau
dan umat manusia, jadi bahwa aku dibenarkan dalam pikiranmu maupun dalam
cintamu, bahwa dalam ungkapan hidup individualku aku langsung menciptakan
ungkapan hidupmu, jadi bahwa dalam kegiatan individualku aku langsung
membenarkan dan merealisasikan hakikatku yang benar, kemanusiaanku,
kesosialanku”1
Marx
juga memandang bentuk keterasingan manusia dari pekerjaannya adalah ketika
manusia tidak memiliki hasil pekerjaannya tersebut, gambaran kasarnya sudah
terlalu banyak di Indonesia, sebagaimana buruh pabrik sepatu yang memproduksi
sepatu untuk kemudian dijual baik di negeri sendiri maupun di luar negeri
dengan merk tertentu yang ‘made in’ luar negeri. Atau produksi-produksi
lainnya, toh bangsa kita yang memproduksi tanpa ada “alih teknologi” (maaf sedikit
sartire). Manusia menjadi terasing
dari dirinya karena ia terasing dari pekerjaannya, makna pekerjaan disini jadi
semata untuk bertahan hidup, inilah bentuk keterasingan menurut Karl Marx, dimana
manusia sama sekali tergantung kepada para pemilik alat produksi, bahkan di
Indonesia banyak yang tergantung pada pemilik ‘brand’.
Dari
sini dapat dipahami pendangkalan makna rejeki yang hanya terbatas pada suatu
lingkup makna saja, yaitu orientasi finansial. Kiranya, kita pun tidak hanya
membatasi maknanya hanya sampai disitu. Ada cerita ketika saya berjualan buku
ke pesantren-pesantren di Singosari, bersama seorang teman senasib
seperjuangan, Wahyu Nugroho, suatu ketika ada pesanan buku lewat SMS dari
seorang ustad, tidak banyak, hanya dua judul dan karena masih berupa usaha
rintisan maka mau tidak mau harus diantar dua buku itu. Muncul kesadaran ketika
sedang ngobrol disebuah warung kopi di pasar Singosari, dimana memang laba dari
hasil penjualan dua judul buku tadi hanya cukup buat ongkos ngopi dan beberapa ‘gorengan’, tapi dari ‘jelajah pesantren’
ini pula kami mendapat banyak masukkan ilmu.
Lebih jauh lagi, tentang etos kerja yang
diajarkan dalam Islam, ada dua syarat yang menjadi ukuran bekerja dengan benar
dalam Islam: pertama, benar dari aspek niatnya dan kedua dari aspek
pelaksanaannya. Tentu, niat yang baik agar tidak menjadi beban bagi orang lain,
dan tentunya dengan cara yang baik pula, bukan dengan mencuri, merampok bahkan
korupsi.
Dalam pandangan Islam, ada dua masalah yang
perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pekerjaan (tahsilul amal). Pertama, pekerjaan itu disebut ‘amalan masru’ (pekerjaan yang dibenarkan oleh
syariat). Meskipun dilakukan dengan ikhlas, tetapi pekerjaan itu mencuri maka
tidak dianggap benar menurut syara’. Kedua, pekerjaan itu tidak sampai
mengganggu tugas-tugas yang diwajibkan oleh Allah seperti shalat dan puasa.2
Dan bukankah
rejeki tak semata berupa materi? Dalam hal ini, sebagaimana kisah saya bersama
teman saya, ilmupun juga rejeki (ngg’perlu mondok untuk menyerap ilmu dari para
ustad, dan untuk hal ini saya wajib bersyukur). Lebih dari itu, senantiasa
untuk diusahakan memaknai kerja sebagai ibadah, kerja bukan untuk siapapun dan
bukan untuk apapun melainkan untuk Allah. Pun juga ada baiknya untuk tidak
memanfaatkan hal ini demi mengkerdilkan atau bahkan menelikung pekerja,
misalnya ketika suatu perusahaan tidak mau membayar upah lebih kepada
pekerjanya, perusahaan menyarankan pekerjanya untuk mensyukuri apa yang telah
mereka peroleh.
Sebagaimana yang dikatakan dalam
Al-Quran: Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup,
dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi
rezeki kepadanya. (QS. al-Hijr
(15) : 20)
(1)
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionis (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2001) hlm. 94
(2)
M. Ainul Yaqin, Nilai-nilai Ibadah Dalam Bekerja
(Malang: Buletin Imamah edisi: XV/Shafar/1433 H.)
(3)
Al Quran, Surah Al-Hijr (15):20
Saturday, January 14, 2012
sajak tentang do'a ketika hujan
hujan ini,
nanti juga selalu terkenang
tentang kilat dan guntur
tentang genangan dan gumpalan mendung
tentang dinginnya udara yang basah
tentang rintiknya
tentang riuh pesta pelajar, rayakan: bel tanda pulang
sedang hujan menghadang
ada hati yang sepi
seperti ruang kosong dan usang
do'a menggema didasarnya
harap anugerah iklas-ketabahan
memanglah,
jika hidup tak lagi beri arti
biar
sepasang kaki mengembara
cari makna
lebih dekat pada Sang Pencipta
nanti juga selalu terkenang
tentang kilat dan guntur
tentang genangan dan gumpalan mendung
tentang dinginnya udara yang basah
tentang rintiknya
tentang riuh pesta pelajar, rayakan: bel tanda pulang
sedang hujan menghadang
ada hati yang sepi
seperti ruang kosong dan usang
do'a menggema didasarnya
harap anugerah iklas-ketabahan
memanglah,
jika hidup tak lagi beri arti
biar
sepasang kaki mengembara
cari makna
lebih dekat pada Sang Pencipta
Subscribe to:
Posts (Atom)